BEBAS BIAYA KULIAH / ATAU MAKAN DI SEKOLAH ?
Analisa Penalaran Konstitusi

Al Ghozali Wulakada
Kritikus Hukum Sosial dan Politik |
Dosen Filsafat Hukum Universitas Slamet Riyadi

UUD RI 1945 Pasal 31 (1) warga negara memiliki hak sekolah/atau kuliah, ayat (2) sekolah/kuliah merupakan kewajiban warga (umur belajar/kuliah), ayat (3) pemerintah berkewajiban menyediakan penyelenggaraan sekolah/kuliah. UUD RI 1945 Pasal 27 (2) warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dengan standar kemanusiaan. Kebijakan makan bergisi di sekolah itu termasuk lingkup hak sosial ekonomi bukan lingkup hak pendidikan. Memasukan urusan makan ke sekolah itu memasukan urusan sosial ekonomi ke ranah pendidikan. Demikian anti nalar pertama.

Penyebutan Program Makan Bergizi Gratis (PMG) itu sangat menyalahi dan menciderai kedaulatan hak warga karena uang yang digunakan untuk program itu adalah milik rakyat, bukan sumbangan sosial. Para siswa itu makan dari belanja anggaran negara, maka tidak layak disebut gratis. Kata “gratis” mencerminkan tradisi feonalistic.  Pemerintah sebaiknya merubah penyebutan tersebut dengan kalimat yang lebih memanusiakan seperti dimaksud Pasal 31 ayat (3). Demikian anti nalar  ke-dua.

Program makan di sekolah itu tidak bisa diukur keberhasilnnya kecuali rasa kenyang. Argumentasi bahwa makan di sekolah bisa mencerdaskan anak itu sekedar assuming, tidak bisa menjadi argumentasi yang general. Tetapi ada fakta menarik tentang data pendidikan bahwa tahun 2024 terdapat 3,7 lulusan SMU/sederajat. 1,9 juta (49%) bisa melanjutnya tetapi hampir 80 % dari mereka membayar sendiri. 1,7 juta lulusan tidak melanjutkan kuliah ke jenjang S1/Diploma/Politeknik.   Faktor utamanya karena biaya kuliah yang sangat mahal, padahal seharusnya mereka tidak perlu membayar karena hak. Demikian anti nalar ke-tiga.

Simulasi perbandingan dalam hal konsentrasi kebijakan anggaran, jika negara menyediakan 6 juta  per semester x 3.7 juta siswa lulusan SMU / sederajat  setiap tahun selama 8 semester maka  total dana yang diperlukan adalah Rp177,6 triliun. Perbandingan dengan biaya makan siang di sekolah dalam satu tahun, 44.420.000 (siswa) x Rp. 10.000 (harga makanan) x 20 hari (aktif) x 9 bulan (aktif)  = Rp79,956 triliun x 4 tahun (masa aktif kuliah) = Rp319,824 triliun. Kesimpulan, biaya 4 tahun makan siang gratis setara dengan biaya kuliah gratis kurang lebih 7 juta anak Indonesia. Demikian anti nalar ke-empat.

Nalar konstitusi itu semakna dengan nalar hak dasar warga negara, nalar konstitusi juga bisa dianggap algoritme moral konstitusi. Angka-angka tersebut di atas menunjukan bahwa program makan di sekolah itu tidak bernalar konstitusi. Evaluasi dan rasionalisasi sukses tidaknya program itu dengan melakukan perbandingan terhadap dua aspek : Pertama, perbandingan aspek pendidikan yaitu jika masih ada lulusan SMU/sederjat yang masih membayar sendiri uang kuliah, berarti program makan siang patut dianggap gagal. Kedua, jika masih terdapat orang tua menganggur, tidak memiliki penghidupan yang layak, hidup dalam kekurangan dan kemiskinan hingga tidak mencukupi kebutuhan makanan yang layak bagi keluarganya, berarti program makan siang patut dianggap gagal.

Program ini masih penuh dengan muatan politik untuk penuntasan janji Prabowo Gibran dalam kampanye 2024 yang pada saat ini tampak sekali dipaksakan. APBN 2025 mematok belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun. Khusus untuk anggaran pendidikan ditetapkan sebanyak Rp724,2 triliun alias 20 persen. Jika nilai tersebut tidak berdampak pada bebas biaya sekolah dan/kuliah maka semakna penyimpangan substansi sekaligus gagalnya program makan siang di sekolah.