EDITORIAL JAKARTASATU.COM: WARTAWAN INI KECEWA & KELUAR DARI KOMPAS
PADA peluncuran buku wartaan 3 zaman yaitu Jus Soema di Pradja, dengan judul buku Jus Soema di Pradja, Sang Jurnalis Pembakar Semangat karya Aendra Medita yang resmi luncurkan dirilis di MULA Galeria Citos, Jakarta Selatan, tepat dengan ulang tahun Bang Jus Soema di Pradja ke 78 tahun, 14 Februari 2025.
Jus memang dikenal dikenal kritis terhadap pemerintah setelah keluar dari Kompas pada 1978. Namun dalam konteks Editorial kali ini kami melihat bahwa Jus yang masih tetap aktif dalam berbagai aksi sosial dan politik, meski memautuskan sudah tak lagi menulis sebagai wartawan ini berkisah bahwa saat ini ia lebih baik bicara atawa ngomong saja di publik diskusi dan di Podcast.
Pada peluncuran buku “Jus Soema di Pradja, Sang Jurnalis Pembakar Semangat” karya Aendra Medita dihadiri oleh banyak tokoh senior aktivis dan sejumlah tokoh penting bangsa antara lain kawan Jus di Harian Indonesia Raya, kawan Jus di masa KOMPAS. Antara lain sekadar menyebut ada Chaidir Makarim (wartawan senior di Harian Indonesia Raya), Zacky Anwar Makarim (kawan saat SMP bang Jus), dr Gumilar Kartsasatsimiata, Rum Ali (wartawan senior), Sri Bintang Pamungkas (politikus senior), tokoh PMB dan aktivis ITB Andi Sahrandi, Syahganda Naigolan (aktivis senior), Dr Memet Hakim (pengamta sosial asal Bandung), PAskah Irianto (aktivis senior), Adhi Masardi (aktivis senior), Uten Sutendy, Albert Kuhon, Lucas Luwarso, Hersubeno Arief, Nasihin Masha, Tjahja Gunawan, Pryantono Oemar, (Jurnalis senior), dan ada Ananda Sukarlan (Pianis Dunia), dll.
Peluncuran buku Jus Soema di Pradja, Sang Jurnalis Pembakar Semangat menandai pentingnya warisan intelektual Jus Soema di Pradja dalam sejarah jurnalistik Indonesia.
Buku ini menyoroti perannya sebagai jurnalis kritis yang berani menentang kekuasaan, terutama setelah keluar dari Kompas pada 1978. Kehadiran banyak tokoh senior dalam acara ini menunjukkan bahwa sosok Jus masih memiliki pengaruh besar dalam dunia pers dan aktivis. Buku ini diharapk=jab akan bisa menjadi referensi penting bagi jurnalis muda tentang idealisme dan perjuangan di dunia media. Ia bercerita masa itu di media dan juga saat ini media mainstream yang bobrok sat ini.
Ada yang menarik, dalam buku ini dimana yang mengangkat perjalanan Jus Soema di Pradja, mantan wartawan Indonesia Raya dan Kompas ini menyarakn mudur karen Kecewa adanya perjanjian-perjanjian yang mengikat kebebasan Pers. Berikut lampirannya yang ada di halaman buku hal 40-45:
Jakarta, 13 Februari 1978
Kepada Yth, Pemimpin Redaksi harian Kompas
Saudara Jacob Oetama
Di Jakarta
Dengan hormat Pertama kali saya ingin menyampaikan rasa prihatin saya pribadi dengan pembreidelan harian Kompas baru-baru ini. Untuk kedua kalinya saya mengalami pembreidelan surat kabar tempat saya bekerja sebagai wartawan. Yang pertama sebagai saudara ketahui adalah harian “Indonesia Raya” yang oleh pemerintah telah dicabut SIT-nya Bersama sejumlah surat kabar lainnya, setelah peristiwa Malari di tahun 1974.
Setiap penutupan surat kabar oleh pemerintah tentu menimbulkan rasa prihatin dalam diri setiap wartawan yang mencintai profesinya dan yang mencoba mengembangkan dirinya sebagai wartawan professional yang sesungguhnya. Akan tetapi keprihatinan yang lebih mendalam dengan ditutupnya surat kabar Kompas baru baru ini.
Ditambah dengan rasa kecewa yang sangat, setelah saya mengetahui bahwa harian harian dibreidel di Jakarta tanpa kecuali termasuk harian Kompas, telah diizinkan terbit Kembali, setelah saudara saudara pemimpin redaksi, termasuk saudara Jacob Oetama, menandatangani dua pernyataan yang hakekatnya telah membuat harian harian tersebut kehilangan landasannya yang sebenarnya untuk dapat berfungsi sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Sebagai wartawan muda yang berhasrat besar hendak mengembangkan diri menjadi seorang wartawan professional dalam arti sebaik-baiknya, saya dengan hati duka, kini tidak lagi melihat sesuatu ruang atau iklim, dimana kita dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kita sebagai wartawan yang bertanggung jawab harus berfungsi untuk keselamatan masyarakat dan bangsa kita.
Saya menyadari adanya dalil untuk membenarkan keadaan keadaan sepertiini, yakni untuk mengelakkan kehancuran perusahaan dan hilangnya sumber nafkah sekian ratus karyawan atau sekian ribu keluarga yang mendapat nafkah mereka dari penjualan suratkabar Yang menjadi pertanyaan bagi saya sebagai wartawan muda yang masih ingin belajar dari wartawan wartawan senior di republik kita ini adalah bagaimana persepsi saudara Jacob Oetama mengenai nasib beberapa ratus karyawan dalam hubungan fungsi pers berjuang?
Sejauh mana kita letakkan pers berjuang, dihubungkan dengan urutan prioritas kita? Mungkin saya lebih menempatkan pers berjuang ketimbang nasib beberapa ratus karyawan itu. Katakan saja ada perbedaan kita dalam persepsi yang mungkin terjadi, karena lebih matang dan bijjaksananya serta lebih politisnya saudara Jacob Oetama sebagai pemimpn redaksi Kompas melihatnya, dibandingkan dengan saya yang mungkin terlalu lurus menilai fungsi pers berjuang.
Tidakkah suratkabar harus berfungsi untuk nilai nilai yang lebih besar dan jika fungsi komunikasinya dipasung maka sebenarnya surat kabar tidak berfungsi lagi sebagai alat komunikasi yang baik? Tidakkah perusahaan suratkabar bukan merupakan satu usaha untuk menjadi sumber nafkah saja?
Tidakkah lebih baik misalnya perusahaan perusahaan penerbitan merubah sifat usahanya, jika ingin tetap memberi nafkah pada karyawannya, dari pada harus melepaskan fungsi dan tanggung-jawabnya yang sebenarnya sebagai surat kabar?
Penanda-tanganan kedua pernyataan tersebut oleh para pemimpinredaksi surat kabar yang baru baru ini di breidel, bagi saya mengandung komplikasi seakan para pemimpinsurat kabar tersebut mengakui telah melanggar sendiri kodeetik jurnalistik Indonesia, dan telah melakukan pula segala rupa penyimpangan dari tugas dan tanggung jawab pers Indonesia sendiri, dan dengan demikian telah menghukum dirisendiri. Perbuatan serupa ini menurut hemat saya telah menghancurkan martabat pers Indonesia. Dimana kita letakkan kode etik jurnalistik Indonesia pada saat ini?
Pertanyaan-pertanyaan serupa inilah yang bertubi-tubi mengganggu hati Nurani saya, dan hal ini tidak dapat saya damaikan dengan bisikkan hati Nurani saya, hingga dengan sangat menyesal, dan rasa pilu hari yang dalam saya Bersama ini menyampaikan permohonan berhenti sebagai wartawan harian “Kompas”.
Tidaklupa saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya pada saudara sebagai pemimpin redaksi harian “Kompas” yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk bekerja di harian ini, setelah harian “Indonesia Raya” dimana saya bekerja dahulu, di cabut surat isin terbitnya diawal tahun 1974 Saya mendoakan semoga diatas kuburan pers Indonesia yang bebas akan dapat tumbuh kembali pohonkebebasan pers yang sebenarnya, yang memungkinkan kita semua berfungsi Kembali dan memikul tanggung-jawab kita dengan kemuliaan profesionalisme sumbangan yang berarti pada perkembangan bangsa dan negara kita secara positif dan konstruktif. Wassalam
Jus Soema di Pradja
Tembusan Pemimpin Umum: P.K. Ojong
Membaca tulisan surat pengunduran diri Jus membuat kita merasa jiwa idelaisme Jus yang tangguh dan mempunyai sikap tegas adalah jiwa patriot sang jurnalis.
Tentunya ini sangat jarang ada pada zaman itu apalagi kini.
Tulisan tahun 1978 pengunduran diri tersebut adalah tulisan dengan menggunakan mesin ketik oleh Jus. Seorang tokoh pers seperti Jus ini adalah orang yang langka. Sikapnya yang kuat dan menjaga wibawa yang bermartabat. Jadi saat ini bisa diungkap sebagai catatan sejarah dan patut kiranya dilihat sebagai cermin bagi para jurnalis masa kini.
Apapun pandangannya, yang jelas inilah yang bisa kami sampaikan sebagai ungkapan salut kepada Jus dan menjadi kenangan penting ketika Jus Soema di Pradja memutuskan keluar dari KOMPAS dan tidak menulis lagi sampai sekarang. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa hanya Jus satu satunya orang yang berani keluar dari Kompas pada zaman itu, dimana saat itu merupakan masa jaya-jayanya Kompas sehingga karyawannya dalam satu tahun bisa menerima 16 bulan gaji. Dahsyat…
Dapat dikatakan karena kecewa karena wartawan karena lebih matang dan bijaksananya serta lebih politisnya saudara Jacob Oetama sebagai pemimpn redaksi Kompas melihatnya, dibandingkan dengan saya yang mungkin terlalu lurus menilai fungsi pers berjuang.
Tidakkah suratkabar harus berfungsi untuk nilai nilai yang lebih besar dan jika fungsi komunikasinya dipasung maka sebenarnya surat kabar tidak berfungsi lagi sebagai alat komunikasi yang baik?
Tidakkah lebih baik misalnya perusahaan perusahaan penerbitan merubah sifat usahanya, jika ingin tetap memberi nafkah pada karyawannya, dari pada harus melepaskan fungsi dan tanggung-jawabnya yang sebenarnya sebagai pejuang pers. Nah bagaimana? Tabik..!!!***