Jurnalis Positivisme Tidak Mengenal Dan Menolak Kriminalisasi Atas Dasar Kebebasan Pers

Damai Hari Lubis

Jurnalis merupakan profesi terhormat “pilar keempat” bahkan dapat menjelma sebagai pengawas 3 pilar karya adopsi John Locke dan Montesque sebagai sistim hukum positif Tata Negara di NRI (eksekutif, legislatif dan yudikatif), sehingga mutlak tidak simple dipidana, jika profesionalitas, atau nice dalam menjalankan tugas profesi yang hanya melulu sesuai Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers (UU Pers).

Namun, jurnalis niscaya bisa dituntut jika melakukan pelanggaran hukum seperti pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong yang masuk kategori fitnah.

Alasan tidak bisa dipidanakan nya kaum pers, para wartawan dan atau Jurnalis dikarenakan mendapatkan proteksi hukum dalam menjalankan tugasnya. Sehingga karya kerja dari umat jurnalistik  tidak ujug-ujug bisa melalui (proses) pidana, tetapi harus diselesaikan lebih dulu oleh Dewan Pers.

Andai ada pihak yang keberatan atas produk jurnalistik, maka  pihak yang merasa ada ketersinggungan dan yang relevan atas narasi jurnalistik (atau pola kreativitas gambar/graffiti dan atau berita), ada jalurnya, hak tanggap si korban yang sensitif, melalui klarifikasi bantahan atau sanggahan, juga melalui media yang sama atau bersamaan serentak dengan media yang berbeda melalui pola jurnalistik-isme atau via wawancara eksklusif.

Pelanggaran hukum yang bisa dituntut pencemaran nama baik (Pasal 310 tentang penyebaran berita bohong Jo. Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana). Telah diberangus oleh keputusan Mahkamah Konstitusi/ MK final and binding, namun umat pers jangan sembrono, bodoh dan terkecoh, karena terminologi penyebaran berita bohong dan atau pencemaran melalui produk konvensional (mainstream) atau modern (digitalistik) yang menjurus implikasi fitnah (Pasal 311) masih berlaku sebagai daya jerat dari kaum pejabat hedonis, dengan argumentatif ‘norak’, sebagai negara republik yang berdasarkan hukum (rule of the law) dan equal tanpa ada imunitas untuk si teradu atau pelaku (mereka kaum berdasi yang egoistis dan menang dewek) ketika terbukti kebohongan dan pencemaran dengan memenuhi dua alat bukti yang cukup, diduga telah menimbulkan fitnah dan berdampak kerugian nama baik dan keluarga serta jabatan dan atau kerugian bisnis jika pebisnis, yang produk (sumber berita) tersebut ternyata sengaja memang dipalsukan atau diketahui memang palsu namun sengaja digunakan, maka pelaku sekalipun umat pers dapat dituntut dengan pelapor yang harus si korban sendiri tidak atau bukan delegatif (not a delegate), karena merupakan delik aduan dalam bentuk tindak pidana formal, melalui media elektronik (UU ITE Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (1).

Namun, idealnya hak jawab dan hak koreksi (klarifikasi) terlebih yang menganggap dirinya korban adalah pejabat publik, karena berita terhadap para pejabat adalah hak publik atau hak umat pers, atau hak kebebasan menyampaikan pendapat tertulis dan terlebih profesi? Namun tanpa bablas walau tak terkecuali yang menyangkut hal terkait adab sang pejabat publik vide UU.KIP. dalam suasana dan kondisi dimana pun mereka (pejabat publik) berada, karena jabatannya melekat walau berada toilet umum (fasilitas publik) sekalipun.

Namun tetap saja sang pelapor atau penyidik polri harus memiliki dasar hukum prinsip, adanya pengaduan di awal proses hukum dan hasil pengaduan terlebih dulu atas dugaan adanya pelanggaran kode etik melalui putusan dewan pers, bukan sekonyong-konyong melaporkan si teradu ke pihak kepolisian jika dirasa pengadu, berita memuat kerugian dari pada narasi pemberitaan individu umat pers termasuk pertanggungjawaban sosok Pemred, semua harus diinvestigasi oleh dewan etik dan pihak penyidik polri demi hakekat kebenaran materil (materiele waarheid).

Sehingga hak tempuh dan hak jawab dan hak koreksi adalah sebuah hak prinsip yang wajib dilalui dalam makna harus lebih dulu dipenuhi, mengingat  dan menimbang hak jawab atau hak untuk memberikan tanggapan atau sanggahan pada objek berita in casu merupakan bagian daripada norma hukum sesuai asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) Jo. KUHAP jo. UU. PERS.

Terlebih dalam pertemuan antara dua pihak pengadu dan teradu di hadapan sidang dewan pers (dewan etik) sehingga masing-masing pihak menggunakan kesempatan hukum dalam wujud restoratif of justice atau musyawarah perdamaian sebagai saran-saran hukum yang juga bagian daripada hukum positif di tanah air (hukum yang berlaku).

Namun ada pertanyaan yang sulit dijawab bukan sekedar menggelitik adalah PP. (Peraturan Pelaksanaan) daripada UU. Pers?

Apakah si teradu diakui sebagai umat pers? Ketika muncul para youtuber dan kaum emak-emak doyan tik tok-kers, baik bersifat pribadi (komersil atau iseng-iseng berhadiah) atau motif gado-gado atau ala ketoprak bihun, atau sebatas untuk cukup dikenal, sekedar heboh atau motif politik?

Dan ada atau tidaknya IUP Pers yang kini mudah didapat dan atau demokrasi ala acak-acakan.

Nach atas pertanyaan ini silahkan siapa yang dapat menjawab dengan solusi yang nice atau sekedar ember mampir di Gedung di Senayan, Kecamatan Tanah Abang, seberang Pejompongan, Jakarta Pusat.  Sekali lagi dipersilahkan.

Penulis DHL,  adalah pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Nulis iseng, pakai HP butut buatan negara Cina Komunis,  Sabtu medio Februari 25, di minggu tenang di rumah tidak sambil momong cucu. Salam sehat, dan semangat, jangan lupa pura-pura bahagia serta berlagak senyum gembira terkena dampak “efisiensi”.

Akhir tulisan salam hormat klasik jelang Ramadhan bulan yang paling dimuliakan semoga semua yang Imani Ramadhan dapat menjalankan dengan sebaik mungkin, sebelum berangkat ke Sukabumi, atau mudik ke Balik Papan, atau sebelum ke Suka’di’Mandi kan para tetangga dan kerabat karena hendak buru-buru mampir entah berapa lama di Tanah Merah.