Aendra Medita/ist

ADA peristiwa sangat aneh. Dan absurd soal “ndasmu” adalah ungkapan bernada keras yang pernah diucapkan oleh seorang Presiden. Tak laik dan tak elok.

Pernyataan ini muncul biasanya dalam konteks ketidakpuasannya terhadap pihak-pihak yang lebih mementingkan kepentingan politik daripada kepentingan rakyat. Jika melihat dari sudut pandang komunikasi politik, pernyataan ini bisa dimaknai sebagai ekspresi frustrasi atau strategi untuk menunjukkan ketegasan. Apa benar tegas?

Namun, tentu saja hal ini dampaknya bisa beragam, tergantung pada bagaimana publik dan lawan politik menafsirkannya.

Tapi nampaknya pernyataan seperti ini bukan justru memperkuat citra pemimpin yang tegas, atau malah ungkapan aneh bisa juga merusak wibawa seorang pemimpin?

Komunikasi politik yang baik harus santun, tegas tanpa kasar, berbasis substansi, serta mengedepankan persatuan dan diplomasi. Pemimpin yang bijak adalah yang mampu mengontrol emosinya dan memilih kata-kata dengan baik agar pesannya tersampaikan tanpa menimbulkan polemik yang tidak perlu.

Dalam politik, bahasa yang santun dan beretika tidak hanya mencerminkan kewibawaan, tetapi juga lebih efektif dalam membangun kepercayaan dan stabilitas. Sebaliknya, komunikasi yang kasar cenderung memecah belah dan mengurangi kredibilitas seorang pemimpin.

Maka, dalam setiap situasi, prinsip berkata baik atau diam adalah pedoman yang tepat bagi setiap pemimpin dan tokoh publik.

Sutoyo Abadi dari Koordinator Kajian Politik Merah Putih merespon Pidato Presiden Prabowo Subianto di berbagai kesempatan  masih melayang ke sana ke mari, terperangkap bingkai narasi kosong Ndasmu – Ndasku dalam nafsu kemauanku dan kemauanmu.

“Hilang fokus, tanpa langkah riil, jangan banyak omong, bertindak, berbuat, berpihak dan lindungi  masyarakat lokal ( pribumi ) dari bencana pengusiran dan pemusnahan menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa rezim berjalan adil dan berkelanjutan,” ujar Sutoyo Abadi (Senin, 17 Feb 2025, Jakartasatu.com).

Prabowo Subianto, yang kini pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI dan kini presiden terpilih 2024-2029, sering kali menjadi sorotan dalam politik Indonesia.

Ia memiliki gaya komunikasi yang tegas dan kadang-kadang blak-blakan,  termasuk dalam merespons kritik atau isu politik tertentu. Kalau dikaitkan dengan pernyataan “Politik ndasmu” yang pernah diucapkan  Prabowo juga dikenal dengan respons spontan yang kadang mengejutkan publik.

Bahkan, setelah memenangkan Pilpres 2024, ia menekankan pentingnya persatuan dan meminta semua pihak untuk move on dari rivalitas politik. Politik komunikasi yang kasar memang tidak menarik dan justru bisa menimbulkan polarisasi serta perpecahan di masyarakat. Pemimpin dan tokoh politik seharusnya menerapkan komunikasi yang santun, jelas, dan membangun.

Politik yang  baik seharusnya komunikasi politik aantun dan beretika, menggunakan bahasa yang sopan dan tidak merendahkan pihak lain. Menghindari kata-kata kasar atau emosional yang bisa memancing konflik.

Sikap Jelas dan Tegas Tanpa Menyakitkan adalah bukan berarti kasar. Seorang pemimpin bisa menyampaikan pesan kuat tanpa harus menggunakan kata-kata yang menyakiti atau menyerang pihak lain.

Mengedepankan Substansi, Bukan Sekadar Retorika dan fokus pada solusi dan kebijakan, bukan sekadar retorika yang memancing emosi. Harus membuat informasi yang faktual dan bisa dipertanggungjawabkan. Pemimpin harus mengutamakan Persatuan dan Kebangsaan, menggunakan bahasa yang membangun kebersamaan, bukan memecah belah.

Mampu merangkul berbagai kelompok dengan komunikasi yang inklusif.

Pemimpin juga harus mengedepankan Diplomasi dalam Perbedaan, adanya dialog dengan pihak yang berbeda pandangan tanpa harus menyerang secara personal. Menghormati perbedaan pendapat dengan argumentasi yang logis dan rasional. Pemimpin yang memiliki komunikasi yang baik akan lebih dihormati dan didukung oleh rakyat.

Pertanyaan lanjutanya apakah Prabowo lebih keras, lebih kompromistis, atau justru kombinasi dari pemimpin sebelumnya?

Jika merujuk  pada umat islam tentu tahu ada Hadist yang relevan dengan prinsip komunikasi yang baik adalah, berkata Baik atau Diam Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam Hadis ini menekankan pentingnya berbicara dengan perkataan yang baik, bermanfaat, dan tidak menyakiti orang lain. Jika tidak bisa berkata baik, lebih baik diam.

Larangan Berkata Kasar dan Kotor Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berkata keji dan berbuat keji.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini mengajarkan bahwa perkataan yang kasar, kotor, atau menyakiti hati orang lain tidak disukai Allah dan sebaiknya dihindari.

Perkataan yang Menyatukan dan Menghindari Pertikaian Rasulullah ﷺ bersabda: “Kata-kata yang baik adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Artinya, berbicara dengan baik bukan hanya menunjukkan akhlak yang luhur, tetapi juga menjadi bentuk amal yang bernilai pahala.

Jadi jelas bahwa komunikasi yang baik dalam politik maupun kehidupan sehari-hari harus penuh etika, tidak kasar, dan bertujuan untuk kebaikan.

Dan saya rasa memang pola ini harus bagian masukan juga buat tim komunikasinya presiden, jika perlu adanya Pidato itu dengan teks, kan tak jadi dosa kalau ada teks yang baik demi membangun bangsa yang lebih bermartabat dan untuk kekeuatan nilai luhur negara. Tabik…!!!

*) Analisis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI)

JAKARTA, 18 Februari 2025