Foto (kiri) "monumen" di Simpang Lima Bandung, dijepret 19 Februari 2025 dan foto "Ketika Sang Saka Cedera" pada 30 Januari 2024._ (foto: iW/jaksat.com).

Selamat Datang Wali Kota Bandung (1),

“Pintu Utama” yang Kini Kusam

Oleh Imam Wahyudi (iW)

AKHIRNYA warga Kota Bandung punya wali kota lagi, setelah lowong selama hampir dua tahun terakhir. Itu sebabnya, bertajuk “Selamat Datang Wali Kota Bandung. Muhammad Farhan dan Erwin resmi menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung periode 2025 – 2030.

Presiden Prabowo melantik secara serentak 961 kepala daerah se-Indonesia di Istana Negara, Kamis kemarin, 20 Februari 2025. Hari bersejarah untuk kali pertama hasil Pilkada Serentak 2024.

Kini, Kota Bandung kembali dipimpin wali kota dan wakil wali kota yang legitimate (sah). Masa dua tahun terakhir, dikendali dua kali penjabat (Pj) Wali Kota. Diwarnai musibah perkara hukum, akibat distorsi sistem kelola pemerintahan.

Sepeninggal Oded Danial yang wafat 10 Desember 2021, jabatan wali kota turun ke wakilnya, Yana Mulyana per 18 April 2023. Dalam kapasitas Wali Kota Bandung, Yana tersandung perkara hukum. Terkait proyek Bandung Smart City. Tak tanggung-tanggung menyeret Kepala dan Sekretaris Dishub, tiga orang pihak swasta, tiga anggota dewan hingga sekda. Mereka tak terhindarkan berurusan dengan KPK dan penjara.

***

CATATAN kelam yang mengawali kepemimpinan Farhan – Erwin sebagai pupuhu Kota Bandung. Farhan pun dalam kesempatan pertama, bertamu ke KPK. berupaya memupus stigma, hingga konsultasi ke KPK. Dalam rangka upaya preventif virus korupsi yang tak ingin terulang terjadi. Mudah-mudahan.

Penulis belum pernah jumpa, sejak akhir November lalu. Usai hasil quick count yang unggul setara 44,31% atau mencapai 523.000 suara dari daftar pemilih tetap (DPT) 1,88 juta jiwa. Sejatinya ingin mengusik harapan garapan Kota Bandung yang praktis minim sentuhan pembangunan. Serentang dua tahun terakhir.

Wali Kota Bandung edisi anyar yang praktis menghadapi setumpuk PR (pekerjaan rumah -pen). Dipastikan, seputar masalah lingkungan berupa sistem kelola sampah, banjir, hingga soal kepadatan lalulintas berkendara. Pun hal dasar bidang pendidikan dan layanan kesehatan.

Di luar bidang layanan publik, penulis ingin mendorong aspek tampilan Kota Bandung yang belakangan terpapar kusam. Nyaris kumuh dalam takaran ibu kota Jawa Barat dan predikat pujian yang menyertainya. Justru tampak di pusaran utama kota. Sejalur pendek Jl. Asia Afrika. Kawasan yang tak terbantah sebagai tapak sejarah (heritage) yang menjadi ikon Kota Bandung.

***

LIHATLAH tampilan Simpang Lima (Prapatan Lima -pen) yang nyaris kusam. Terkesan minim penataan layaknya “pintu gerbang” menuju histori Gedung Merdeka, tempat Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955.

“Monumen” yang lebih mirip gapura Agustusan, kasat mata tampak seadanya. Menggantikan monumen “Dasa Sila” Bandung. Digarap dalam rangka peringatan 60 Tahun KAA pada 2015. “Monumen” yang cuma mengulang tempelan nama negara peserta KAA 1955.

Penulis pernah posting di laman faceBook, bahkan hingga dua kali dengan jeda waktu hampir dua tahun. Bertajuk Ketika Sang Saka Cedera (lihat foto -pen). Pertama pada 17 April 2022, sesuai tapak digital. Bendera merah putih pun diganti baru. Posting kedua, dengan judul sama pada 30 Januari 2024. Kali ini, bendera yang robek pun diturunkan. Tapi tak pernah diganti lagi. Tiang di puncak dibiarkan tanpa kibaran bendera lagi. Di tambah jam di empat sisi atas “monumen” tak berfungsi sebagai penunjuk waktu. Memalukan.

Sungguh tidak mencerminkan keberadaan Kota Bandung yang punya sederet kreator desain ornamen kota. Mirip “kejar tayang” yang dilakukan Ridwan Kamil, wali kota kala itu. Tidak mencerminkan karya arsitektur sekaliber Kota Bandung. Apalagi dalam konteks sebagai kota metropolitan.

Ironisnya, monumen “Dasa Sila Bandung” sebagai simbol KAA yang bersejarah dan mendunia itu — justru dipindahkan ke tempat tak seharusnya. Teronggok di trotoar sisi timur Gedung PLN, meski kali mengapit Jl. Ir. Soekarno (yang diubah dari Jl. Cikapundung Timur -pen) atau di seberang barat Gedung Merdeka. Tak sedap dipandang mata. Kesepian di keramaian. Terpuruk dari kisah sejarah. Cuma jadi alas duduk pengunjung hingga tumbuh ilalang atau gulma yang tak semestinya ada.

Monumen “Dasa Sila Bandung” itu sebaiknya dikembalikan ke pusar Simpang Lima. Mungkin pula, mengaping Gedung Merdeka. Sayangnya tak cukup lahan (leluasa) di gedung utama sejarah Kota Bandung itu. Tak cukup memagnet estetika.

Andai dikembalikan ke tempat asal, kali ini hendaknya dengan tampilan ornamen dalam kesatuan kreasi desain kota. Semisal ditingkahi pilar dua pipa medium stainless steel yang berpangkal dari lima sudut tepian Simpang Lima. Pilar itu menekuk dan mengerucut bertemu di puncak. Secara sederhana, tampak memayungi monumen “Dasa Sila Bandung”.
Terlebih di sudut simpang itu masih berdiri tiga bangunan heritage yang sekali gus perlu dibenahi. (Bersambung).*

– jurnalis senior di bandung.