IST

Misteri “Bayar Bayar Bayar” Band Sukatani, Intimidasi Memicu Viralitas

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono*
Di era disrupsi digital yang tak lagi terkendali saat ini, upaya mengekang kebebasan itu ibarat mencoba mengunci angin —-makin dipaksa, justru makin lepas. Mantra-mantra modern “Makin dicekal, makin terkenal”, “makin dilarang, makin berkembang”, “makin dibredel makin viral” terasa kian relevan.
Lihat saja dengan apa yang terjadi pada kasus Band Sukatani dengan lagu kontroversial mereka, “Bayar Bayar Bayar”. Karena lirik lagunya yang keras dan vulgar menghina oknum polisi, tiba-tiba mereka melakukan langkah-langkah penghapusan konten dan permintaan maaf kepada pihak polisi. Namun aksi permohonan maaf dari pihak band ini justru memicu rasa ingin tahu publik sehingga lagu itu justru makin dicari dan menyebar bak virus yang sulit dihentikan, serta menumbuhkan empati keberpihakan publik kepada mereka.
Drama Intimidasi dalam Panggung Digital
Bayangkan sebuah adegan yang layaknya pertunjukan teater modern: aparat beraksi dengan segala formalitas, menghapus video dan konten secara sistematis, seolah-olah ingin menutup tirai pertunjukan. Namun, alih-alih menggelapkan layar, tindakan tersebut justru menambah daya tarik pertunjukan itu. Efek yang muncul, mirip dengan fenomena yang dikenal sebagai Streisand Effect, menunjukkan bahwa upaya menyembunyikan informasi sering kali justru membuatnya semakin diminati. Dengan demikian, tindakan penghapusan yang diambil bisa dianggap sebagai bumbu tambahan yang secara tidak sengaja justru meracik popularitas.
Manusia secara alami memiliki rasa penasaran yang kuat terhadap hal-hal yang dilarang. Fenomena ini menjelaskan mengapa, meskipun lagu tersebut ditarik dari peredaran, banyak orang yang justru mencari dan mendengarkannya dengan lebih sporadis. Bukankah hal ini menyerupai ironi klasik ang menyatakan bahwa larangan justru menjadi magnet bagi keingintahuan? Dimana dibalik semua itu, terdapat sebuah pelajaran penting bahwa pendekatan represif justru bisa berbalik merugikan, dengan mengubah sebuah isu krusial menjadi perbincangan hangat di dunia maya.
Mengubah Paradigma Intimidasi Menjadi Kolaborasi
Daripada terus menerus mengandalkan metode intimidasi yang rentan memicu reaksi publik, sudah saatnya mempertimbangkan strategi komunikasi yang lebih cerdas dan konstruktif. Beberapa alternatif solusi yang layak dipertimbangkan meliputi:
Pertama, Dialog Terbuka dan Kolaboratif. Alih-alih menutup diri, institusi dapat membuka ruang dialog dengan para kreator dan pelaku seni. Misalnya, mengundang Band Sukatani untuk berdiskusi secara terbuka mengenai isi lagu mereka dan peran serta tanggapan aparat, sehingga tercipta narasi yang lebih jernih dan transparan.
Kedua, Pendekatan Soft Power. Dalam konteks komunikasi modern, nilai kejujuran dan keterbukaan jauh lebih efektif dibandingkan dengan intimidasi. Kampanye yang mengusung semangat keadilan dan kebebasan berekspresi, didukung dengan narasi yang humanis, dapat membangun kembali kepercayaan masyarakat kepada lembaga penegak hukum.
Ketiga, Optimalisasi Media Digital. Menggunakan media sosial dan teknologi digital secara kreatif dapat menjadi jembatan yang efektif antara aparat dan masyarakat. Konten-konten inovatif yang menyampaikan pesan secara ringan namun mendalam, misalnya melalui diskusi interaktif atau kolaborasi dengan influencer, bisa mereduksi ketegangan dan mengalihkan fokus dari konflik ke penyelesaian bersama.
Pada akhirnya, harus disadari bahwa kebebasan berekspresi bukanlah sesuatu yang bisa dikekang dengan sensor dan intimidasi. Justru, pendekatan yang mengutamakan dialog, transparansi, dan sedikit bumbu humor dapat mengubah setiap krisis menjadi peluang untuk pembelajaran bersama. Sebuah institusi yang memilih untuk mendengarkan dan berkolaborasi, alih-alih hanya mengedepankan kekuatan, akan menemukan bahwa reputasinya justru semakin kuat dan dihormati.
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, marilah kita sambut sebuah paradigma baru—di mana setiap suara, meskipun kontroversial, dapat menjadi bagian dari simfoni demokrasi yang harmonis. Tabik. []
*) Storyteller, Analis Seni Komersial dan Pencitraan