Risalah Politik Idiom
Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni-penulis.
Politik cenderung menjadi dayaguna sebagaimana bertujuan. Bisa juga menjadi manfaat, pada pesona gigantiknya. Mencapai objek ketika subjek menyebut kata itu. Maka lahirlah perburuan cita-cita secara terbuka menuju perseteruan, persaingan, pergolakan, pengkhianatan, intimidasi, hipokrisi, hanya karena satu kata itu; politik, di arena pertempuran membasmi sang koruptor-semakin sakti berkelit, berubah menjadi bayang-bayang kupu-kupu beterbangan, lantas menyirna. Jreng!
Bisa juga politik sebagai sebuah keputusan istilah demi pencapaian tujuan politisnya, sekaligus melumpuhkan pembidik target pesaing demi daya juang, dari suatu pengembangan daya pikir pada sikap pilihan politiknya. Bersifat personal atau kelompok menuju publiknya. Tak aneh pada satu bentuk istilah kata itu; politik-tergantung dari sisi mana melihatnya. Menjadi relatif. Menjadi manfaat, atau pun menjadikannya alat bantu pencapaian misi khusus perdamaian, misalnya, berfungsi sebagai pereda penyakit konflik kepentingan.
Peperangan, kadang menjadi pilihan alternatif antar isme berpolitik, menjadi permainan percaturan politik idiom, bagai aksara terbaca ataupun jungkir balik, seakan-akan dunia dibuat kiamat sesaat oleh kata istilah bersifat politis. Lantas transformasi kata politik, menentukan titik didih perjalanan individual maupun kelompok menuju massa pilihannya di ranah independensi; aku, kekinian. Perang di benua lain, kebrutalan di benua sana, makar di sebuah negeri atas angin, invasi militer di negeri jauh bak kisah dunia dongeng. Hingga chaos politik seolah-olah mengandung kebenaran dari tujuan filosofisnya.
Lantas ambang batas ketika zaman terus berlari, politik eksistensi harkat kehidupan mengekor kemana tujuan hidup bergerak, seolah-olah pergerakan politik bagai mesin penentu nasib sejak nol, hingga batas tujuan gerakan kelompok ataupun individu. Perang meletus dalam suatu kisah kehidupan makhluk pelakunya. Seakan-akan tidak ada kasih, tidak ada cinta, sang politik mungkin saja ngeloyor ke lain hati, kala waktu lebih memberi kenyamanan bergerak menuju idealisme pilihannya. Bukankah juga relatif, kala lampu neon mati tak memberi penerangan untuk jalannya memilih kenyamanan persinggahannya. Wajah politik kembali adaptif mencipta paranoia mencapai kepentingan, bisa aklamasi kelompok atau pun individual. Menuju label atas nama kebenaran di satu sisi gelap atau pun terang di sisi sebaliknya. Senjata menjadi penentu kematian dalam satu kisah peperangan dari zaman ke zaman, dimulai sejak kaum nomaden, monarki hingga negara modern terkini sekalipun, demi mencapai kepentingan kultural politik melingkupinya.
Kisah berlanjut laiknya provokasi mendarat di antara situasi hidup. Makhluk sosial kehilangan keseimbangan daya rasional. Ketika titik api menjadi bara, letupan, ledakan besar, kembali hadir arus deras multi-informasi, terkadang pula disebut reformasi meski kerugian atau pun keuntungan tetap ada di semua pihak. Pintu atas nama terbuka pada ego makhluk hidup. Perubahan politik kuasa usaha, bagaikan singa si raja hutan menerkam kelinci. Kemenangan heroisme di balik pakaian kepalsuan setelah menerkam si lemah membuncah menjadi euforia berkibaran. Isme monorel seakan-akan menjadi episode baru tak terbantahkan ketika massal menghendaki politik perubahan, kembali memamah biak. Namun sang politik tak lagi mampu melepas berjuta anak panah ke target tujuan, akibat busur sang pemanah rapuh oleh waktu, bagai kisah kasih tak sampai panah Arjuna tak mampu membidik sasaran dari atas kereta kudanya. Sebab para raksasa hadir lebih awal di luar sangka sang waktu.
Meskipun ranah seni kultus politik idiom, hampir serupa karakternya dari zaman ke zaman. Hanya dikemas berbeda label teknologi di era berjalan paralel bersama inovasi kultural, dalam gala hipnosis daya watak serentak daya pikir. Para filsuf menulis titik balik, logika, bermain pada imajinasi, pada garis merah teori pengembangan analisis, bergulir di mazhab-mazhab, di ruang sangkala. Mungkin pula menjadi misteri di luar strategi rasional sekaligus irasional. Peperangan; persaingan konsep pemikiran tinggal menunggu waktu tempuh, siapa cepat tiba ditujuan. Maka siklus neopolitik lanjutan menunggu waktu di ruang-ruang kesempatan meski tak secepat waktu menerkam zaman.
Mungkin saja perilaku kultural kehidupan masih saling menyapa meski neopolitik bersaing menuju puncak gunung bersalju. Berkembang seiring zamannya dilingkup teknologi serentak sains di era zaman terus bergulir mencipta inovasi manfaat menyertainya. Jika hal kultural edukatif tetap dalam ranah komitmen untuk rakyat sebuah negara; sebaiknya sang kuasa usaha mau mendengarkan suara rakyat, tapi tak sekadar basa-basi; bertujuan meredam suara tanda tanya dari rakyat, meski sesungguhnya sekadar mengingatkan sang kuasa usaha ha ha ha, agar tak sewenang-wenang mencapuri segala urusan dapur tetangga.
Malu loh ditegur anak sendiri lewat demonstrasi demi kesejahteraan rakyat, guna mencapai kemaslahatan bersama, menyatukan komitmen Kebangsaan, di arena simpang siur bayang-bayang memudar ganyang koruptor agaknya perlahan menjauh ke tepian sunyi, semoga akhirnya tak sirna. Salam cinta dari negeri nyiur melambai.
***
Jakartasatu Indonesia, February 20, 2025.