Pelantikan Kepala Daerah di Tengah Isu Efisiensi: Antara Seremoni dan Penghematan Anggaran
JAKARTASATU.COM— Pemerintah terus menggaungkan pentingnya efisiensi anggaran dalam reformasi birokrasi dan pengelolaan keuangan negara. Namun, di tengah seruan penghematan belanja negara, kebijakan pelantikan kepala daerah yang tetap diselenggarakan di ibu kota provinsi menuai pertanyaan. Apakah kebijakan ini benar-benar sejalan dengan prinsip efisiensi yang selama ini didorong oleh pemerintah?
Ketua Yayasan ’98 Peduli Detti Artsanti, sekaligus Pembina Gaung Perempuan, ditemui wartawan Jakartasatu.com di Sekretariat Yayasan ’98 Peduli, ia menyoroti kontradiksi antara efisiensi anggaran dan penyelenggaraan seremoni pelantikan kepala daerah yang tetap berlangsung secara terpusat.
Kontradiksi antara Efisiensi dan Seremoni
Detti Artsanti menilai pemerintah berargumen bahwa pelantikan terpusat di ibu kota provinsi dapat menghemat anggaran. Namun, kebijakan ini justru memunculkan ironi, karena tetap membutuhkan biaya besar, terutama untuk transportasi, akomodasi, serta penyelenggaraan acara resmi di lokasi yang jauh dari daerah asal kepala daerah yang dilantik.
“Jika efisiensi benar-benar menjadi tujuan utama, mengapa tidak dilakukan pelantikan secara daring seperti yang diterapkan saat pandemi COVID-19? Ini terbukti lebih hemat, tidak mengurangi legalitas proses, dan memungkinkan kepala daerah langsung bekerja tanpa perlu menghadiri seremoni yang menghabiskan sumber daya,” kata Detti kepada Jakartasatu.com, Sabtu (22/2/2025)
Beban Tambahan bagi Daerah
Selain itu lanjutnya, pelantikan terpusat juga memberikan dampak ekonomi bagi pemerintah daerah. Pejabat yang harus hadir di ibu kota provinsi memerlukan biaya perjalanan dinas, penginapan, dan berbagai kebutuhan lainnya yang secara akumulatif membebani anggaran daerah. Padahal, dana tersebut dapat dialokasikan untuk program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
“Pemindahan pelantikan ke ibu kota provinsi juga mengurangi makna demokrasi dan keterlibatan masyarakat lokal. Masyarakat yang telah memilih pemimpin mereka kehilangan kesempatan untuk menyaksikan langsung prosesi pelantikan di daerah mereka sendiri. Ini menjadikannya seremoni eksklusif yang lebih berorientasi pada pejabat daripada rakyat,” tutur Ketua Yayasan ’98 Peduli ini.
Efisiensi yang Seharusnya Lebih Ditegakkan
Menurut Detti, jika pemerintah ingin benar-benar menerapkan efisiensi, ada beberapa opsi yang bisa dilakukan diantarnya:
Pelantikan Virtual: Mengurangi anggaran perjalanan dinas dan penyelenggaraan acara.
Pelantikan di Daerah: Kepala daerah dilantik di wilayah masing-masing dengan prosesi sederhana di kantor pemerintah setempat.
Penghapusan Seremoni yang Tidak Perlu: Pelantikan tetap dilakukan di ibu kota provinsi tetapi tanpa perayaan berlebihan, cukup dengan sesi penyerahan SK dan sumpah jabatan secara formal.
Konsistensi dalam Kebijakan Publik
Detti mengemukakan pelantikan kepala daerah yang tetap menghabiskan anggaran besar di tengah wacana efisiensi merupakan bentuk inkonsistensi kebijakan. Jika pemerintah benar-benar ingin menghemat pengeluaran negara, harus ada langkah konkret untuk mengurangi pemborosan, bukan sekadar memindahkan seremoni ke lokasi lain tanpa evaluasi yang jelas.
“Pemerintah harus lebih transparan dalam kebijakan anggaran dan berani mereformasi tradisi birokrasi yang boros. Jika efisiensi hanya menjadi wacana tanpa penerapan nyata, kepercayaan publik terhadap komitmen pengelolaan keuangan negara akan terus menurun. Saatnya kebijakan publik berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan sekadar formalitas yang sarat dengan pemborosan,” tegas Detti.
Ia menambahkan, dengan berbagai tantangan dalam pengelolaan keuangan negara, langkah nyata untuk menekan pengeluaran yang tidak perlu harus segera diimplementasikan. Efisiensi bukan sekadar jargon, melainkan komitmen yang harus diwujudkan dalam setiap kebijakan. (Yoss)