WAW-AI
WAW-AI

Gerhana Matahari

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Gelap beranjak menguap, semburat cahaya matahari pagi nampak merah berpendar di sela-sela kabut yang masih lembab. Lampu-lampu jalanan mulai dimatikan. Emak-emak penjual nasi uduk dan lontong sayur mulai menggelar dagangannya di pinggir-pinggir jalan yang dirasa lega. Entah kenapa, pagi di warkop kecil yang letaknya di sudut perbatasan urban itu terasa berat. Udara dingin yang masih enggan pergi seolah membawa kabar tentang kegelapan yang menyelimuti negeri ini. Di meja kayu usang, sekelompok orang marjinal berkumpul, berbincang sambil menyesap kopi pahit, seakan mengimbau kenangan manis yang kini tinggal bayang-bayang.
“Dulu, kita percaya pada ‘macan asia’ itu,” celetuk Pak Darto lirih, namun nadanya penuh tekad. “Kita dihibur dan percaya oleh janji-janji bahwa sang pemimpin akan mengguncang dunia, membuat negara kita bersinar seperti bintang di langit malam. Tapi sekarang… rasanya kok kita seperti disuguhi sandiwara. Janji manis yang dulu itu, kini berubah menjadi kepahitan yang menetes seperti hujan di musim kemarau.”
Mpok Sari, yang duduk di sampingnya, menimpali sambil mengerutkan kening, “Betul, Pak. Harapan kita pada pemimpin baru, ternyata hanyalah bayangan semu dari masa lalu. Seolah presiden baru ini cuma boneka, penari di panggung yang sama dengan sang pendahulu. Dua aktor, satu naskah yang using. Sekilas terasa serupa dengan matahari kembar. Namun Ketika dicermati kok malah lebih parah. Bukan hanya matahari kembar, melainkan gerhana matahri yang menggelapkan seluruh hari-hari.”
“Iya-ya. Negara ini pernah dijanjikan akan terbang tinggi, laiknya elang yang melesat bebas di angkasa. Nyatanya sekarang, kita seolah-olah malah hidup di bawah bayang-bayang matahari yang tertutup gerhana. Kegelapan merayap di setiap sudut dan harapan? Akhirnya, harapan rakyat mulai memudar seperti warna di langit senja,” timpal Kang Joko yang duduk di sudut ruangan seraya menyesap kopi terakhirnya yang tinggal ampas saja.
Suara tawa sarkastis mengiringi Arif, tokoh pemuda kampung yang tak mau kalah turut menimpali, “Mungkin kita harus memberi gelar ‘Asisten Sutradara’ kepada presiden baru ini ya. Soalnya, sandiwara ‘Janji Manis’ yang dipentaskan oleh duo ini sudah terlalu sering ditayangkan. Panggungnya? Ya negeri kita yang kini gelap terselimuti gerhana ini.”
Sontak tawa kecil pecah di antara mereka, namun di balik segala canda yang terlontar itu, tersimpan bongkahan duka yang mendalam. Dialog demi dialog orang-orang pinggiran itu terus mengalir alami, seakan warkop kecil itu menjadi panggung sandiwara kehidupan. Di situlah, realita pahit berpadu dengan metafora yang tajam.
“Dulu kita terpesona dengan bayangan sang ‘macan asia’ yang aumannya dijanjikan akan menggugah dunia. Kini, bayangan itu justru berubah menjadi dua matahari yang saling bergandeng tangan, dan akhirnya menciptakan gerhana yang menggelapkan negeri ini,” ujar Ibu Sari dengan nada haru.
Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Di luar jendela, dunia seakan turut berduka, menatap langit yang redup oleh bayang-bayang kepemimpinan yang telah mengingkari janji kampanye manis. Di tengah kekecewaan, mereka pun menemukan secercah keyakinan; bahwa meskipun hari-hari gelap ini terasa tak berujung, benih perubahan tetap terpatri dalam setiap obrolan yang penuh makna. Setidaknya pada mahasiswa-mahasiswa dari berbagai kampus di seluruh pelosok negeri, yang kini mulai melakukan aksi demonstrasi dengan berani.
Dan begitulah, di bawah gerhana matahari yang menggelapkan harapan negeri, sekelompok orang pinggiran terus menyusun puisi kehidupan melalui dialog-dialog yang jujur, penuh kritik tajam, satir, dan tentu saja canda getir. Mereka sadar bahwa malam yang gelap pun akan berakhir, dan suatu hari nanti, fajar baru akan menyingsing, menerangi negeri yang dulu pernah dijanjikan sebagai tanah tumpah darah harapan. []