Indonesia Memasuki Abad Kedua Kemerdekaan Detti Arsanti: Gelapnya Masa Depan Demokrasi
JAKARTASATU.COM— Memasuki abad kedua kemerdekaannya, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan demokrasi dan keadilan sosial. Demonstrasi mahasiswa dan gerakan #IndonesiaGelap yang merebak di berbagai kota mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap arah kepemimpinan saat ini.
Demikian disampaikan dalam wawancara melalui telepon, Detti Artsanti, Ketua Yayasan ’98 Peduli , yang juga merupakan aktivis ’98, Ahad 23/2/2025.
Detti Arsanti mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi demokrasi di Indonesia yang semakin tergerus.
“Reformasi yang kita perjuangkan pada 1998 bertujuan untuk membangun demokrasi yang kuat, transparan, dan berkeadilan. Namun, demokrasi yang dulu diperjuangkan kini menghadapi tantangan besar: oligarki yang menguat, pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan kelompok dibanding rakyat, serta kebijakan yang semakin jauh dari semangat reformasi,” kata Detti Arsanti.
“Hari ini, mahasiswa turun ke jalan bukan tanpa alasan” imbuhnya.
Ketimpangan Sosial dan Ekonomi yang Meningkat
Ketua Yayasan ’98 Peduli ini menilai kemerdekaan seharusnya membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Namun, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar.
“Sumber daya alam dikuasai oleh korporasi besar, sementara masyarakat kecil terus berjuang dengan biaya hidup yang semakin tinggi. Buruh masih diperas dengan upah rendah, dan pembangunan sering kali berarti perampasan tanah dan eksploitasi tenaga kerja,” ungkapnya.
Krisis Lingkungan yang Mengancam Masa Depan
Selain demokrasi dan ekonomi, lingkungan juga menghadapi ancaman besar. Hutan yang gundul, pencemaran yang merajalela, serta eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan mengancam generasi mendatang.
“Jika kita terus mengabaikan dampak ekologis, anak cucu kita hanya akan mewarisi negeri yang tandus dan penuh krisis,” Detti menandaskan.
100 Hari Kepemimpinan Prabowo: Harapan atau Ancaman?
Detti juga menyoroti arah kepemimpinan Presiden Prabowo yang dianggap semakin mempersempit ruang demokrasi dan memperbesar kesenjangan sosial. Sejumlah kebijakan yang menjadi sorotan dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo meliputi:
1. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) – Pemerintah sempat mengumumkan rencana kenaikan PPN menjadi 12%, yang kemudian dibatalkan setelah gelombang protes dari masyarakat.
2. Kasus Korupsi dan Penegakan Hukum – KPK dan Kejaksaan Agung mengungkap berbagai kasus korupsi, tetapi penegakan hukum masih diragukan keberpihakannya terhadap rakyat.
3. Perluasan Peran Militer dalam Pemerintahan – Prabowo memperluas keterlibatan militer dalam proyek-proyek pemerintah, memicu kekhawatiran akan meningkatnya dominasi militer dalam politik sipil.
4. Kontroversi Penunjukan Utusan Khusus Presiden – Kebijakan ini menuai kritik terkait efektivitas dan urgensinya dalam pemerintahan.
5. Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah juga menjadi sorotan, karena dikhawatirkan akan semakin melemahkan daya tanggap negara dalam melindungi hak-hak masyarakat, khususnya perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Lanjutnya, meskipun menghadapi berbagai kritik, Prabowo masih memiliki tingkat persetujuan publik yang tinggi, terutama karena implementasi cepat program makanan gratis bagi siswa dan ibu hamil. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi program ini masih perlu diperbaiki dalam mekanisme pendistribusiannya.
“Jangan sampai kebijakan ini hanya bersifat populis daripada solusi jangka panjang dalam mengatasi masalah gizi. Selain itu, tanpa pengawasan yang ketat, ada risiko program ini justru menjadi ladang korupsi dan tidak tepat sasaran,” tutur Detti.
Harapan yang Masih Ada
Meski situasi tampak semakin gelap, Detti tetap optimistis bahwa perubahan masih mungkin terjadi.
” Rakyat masih memiliki suara untuk menuntut keadilan, masih ada ruang bagi gerakan sosial untuk mendorong perubahan, dan masih ada individu-individu yang berani melawan ketidakadilan. Indonesia akan memasuki abad kedua kemerdekaannya, dan masa depan negeri ini bergantung pada keberanian kita untuk bersuara, bertindak, dan memperjuangkan keadilan bagi semua,” terang Detti.
“Maka, apakah kita akan membiarkan kegelapan semakin menelan negeri ini, atau kita akan menyalakan kembali cahaya perjuangan demi masa depan yang lebih baik? Waktunya kini, sebelum semuanya terlambat,” pungkasnya. (Yoss)