Pencabutan Pembatalan SHGB Pagar Laut Milik Agung Sedayu: Dampaknya terhadap Kesejahteraan Perempuan Nelayan
JAKARTASATU.COM– Pembina Gaung Perempuan Detti Arsanti menyikapi keputusan pemerintah mencabut pembatalan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Pagar Laut milik pengusaha Sugianto Kusuma atau yang dikenal sebagai Agung Sedayu menimbulkan polemik, khususnya bagi masyarakat nelayan di sekitar wilayah tersebut. Keputusan ini dikhawatirkan semakin memperburuk kondisi sosial-ekonomi perempuan nelayan yang selama ini bergantung pada hasil laut untuk menghidupi keluarga mereka.
Hal tersebut disampaikan dalam wawancara melalui seluller pada Selasa, 25/2/2025
Detti Arsanti mengemukakan perempuan nelayan memiliki peran krusial dalam ekonomi keluarga. Mereka tidak hanya terlibat dalam menangkap ikan tetapi juga dalam pengolahan dan pemasaran hasil laut. Dengan semakin terbatasnya wilayah tangkap akibat perluasan lahan komersial, perempuan nelayan terancam kehilangan akses terhadap sumber daya laut yang berkelanjutan.
Selain itu, berkurangnya hasil tangkapan juga berdampak pada industri rumah tangga yang dikelola perempuan nelayan. Banyak dari mereka yang mengolah hasil laut menjadi produk seperti ikan asin, terasi, dan olahan lainnya yang menjadi sumber pendapatan keluarga. Jika akses laut semakin terbatas, mereka akan kehilangan bahan baku dan peluang usaha.
Selaku pembina Gaung Perempuan, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi perempuan nelayan akibat keputusan ini.
“Pemerintah harus lebih memperhatikan dampak sosial dari kebijakan ini. Perempuan nelayan sudah menghadapi banyak tantangan, mulai dari keterbatasan akses ekonomi hingga beban ganda dalam keluarga. Keputusan ini semakin menambah kesulitan mereka,” kata Pembina Gaung Perempuan Detti Arsanti.
Dampak Ekonomi, Kekerasan Terhadap perempuan nelayan
“Selain dampak ekonomi, pencabutan pembatalan SHGB ini juga berpotensi meningkatkan kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan nelayan. Ketidakstabilan ekonomi sering kali berujung pada meningkatnya stres dalam rumah tangga, yang dalam banyak kasus berkontribusi pada tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” ungkap Detti.
Detti menandaskan perempuan nelayan yang kehilangan mata pencaharian menjadi semakin rentan terhadap eksploitasi dan ketidakberdayaan dalam menghadapi tekanan sosial.
“Ketika sumber penghidupan mereka semakin terbatas, perempuan nelayan tidak hanya menghadapi kesulitan ekonomi tetapi juga ancaman kekerasan yang meningkat. Banyak perempuan yang terpaksa bergantung sepenuhnya pada pasangan mereka, sehingga ruang untuk bernegosiasi dalam rumah tangga semakin sempit dan berpotensi memperburuk kondisi psikososial mereka.” papar Detti.
Detti juga menekankan bahwa perempuan nelayan memiliki hak untuk mendapatkan akses yang adil terhadap sumber daya laut. Ia mengajak berbagai pihak, termasuk pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, untuk memastikan keberlanjutan hidup perempuan nelayan di tengah perubahan kebijakan yang dinilai lebih menguntungkan sektor korporasi.
“Keputusan pencabutan pembatalan SHGB Pagar Laut ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai arah kebijakan pemerintah dalam mengelola sumber daya laut dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Apakah kepentingan ekonomi korporasi akan terus mengalahkan hak-hak rakyat kecil,” pungkasnya. (Yoss)