MATERI KULIAH ONLINE
UNIOL 4.0 Diponorogo
Senin, 24 Februari 2025
Diasuh oleh: Prof. Pierre Suteki
———————————————
Retret Kepala Daerah Baru: Mampukah Mendulang Peningkatan Kualitas Kepemimpinan Negeri Karut-marut?
Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati
I. PENGANTAR
Masih ingat retret Kabinet Merah Putih pada 24-27 Oktober 2024? Retret tersebut digelar di Akademi Militer (Akmil) Magelang dan dihadiri langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, beserta jajaran kabinet, bertujuan untuk memperkuat soliditas kabinet demi membangun Indonesia yang lebih maju.
Kini, retret kembali digelar. Setelah dilantik serentak oleh presiden pada 20 Februari 2025, 505 kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) mengikuti retret di Akmil Magelang pada 21-28 Februari 2025. Retret kepala daerah dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Besaran biaya akomodasi, konsumsi, dan seragam retret untuk setiap kepala daerah sebesar Rp2.750.000 per hari. Total sekitar Rp 11,1 miliar, belum termasuk biaya lainnya (tempo.co, 17/2/2025).
Di tengah kebijakan efisiensi anggaran ala rezim Prabowo yang berdampak pada pemangkasan anggaran banyak lembaga pemerintahan maupun daerah hingga potensi menurunnya kualitas pelayanan publik, retret kepala daerah wajar jadi sorotan. Dengan biaya APBN tak sedikit, banyak kalangan mempertanyakan signifikasi pengaruh terhadap kinerja mereka memimpin daerah.
II. PERMASALAHAN
Untuk mendedah di balik retret kepala daerah yang baru dilantik oleh presiden, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pembekalan kepala daerah baru?
2. Mampukah retret menjadi sarana peningkatan kualitas kepemimpinan kepala daerah?
3. Bagaimana strategi Islam membentuk pemimpin yang mampu menjalankan amanah dalam meriayah rakyat?
III. PEMBAHASAN
A. Konsep Pembekalan Kepala Daerah Baru
Menilik pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), retret didefinisikan sebagai khalwat mengundurkan diri dari dunia ramah untuk mencari ketenangan batin. Sebenarnya, istilah retret lebih sering digunakan dalam konteks agama Kristen dan Katolik.
Dikutip dari buku Tuhan Mencintaimu yang ditulis oleh Markus Marlon, retret berasal dari kata Latin retrahere, yang berarti menarik diri ke dalam suasana tenang. Dalam bahasa Prancis disebut retraite, dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai retreat. Retret adalah waktu khusus yang disisihkan untuk memperdalam kehidupan rohani dengan menjauhkan diri dari kesibukan sehari-hari.
Adapun dalam konteks pemerintahan, retret mengacu pada kegiatan orientasi, pembekalan, dan pelatihan yang diberikan kepada pejabat terpilih, seperti kepala daerah dan menteri, setelah mereka resmi dilantik. Retret bertujuan untuk membekali para pemimpin dengan pemahaman mendalam tentang tugas dan tanggung jawab mereka, serta membangun sinergi dalam menjalankan roda pemerintahan (detik.com, 21/2/2025).
Dikutip dari liputan6.com (21/2/2025), tujuan utama retret kepala daerah adalah untuk menyelaraskan visi antara pemerintah pusat dan daerah serta memberikan pembekalan kepada kepala daerah terpilih. Retret mencakup berbagai jenis kegiatan yang dirancang untuk memberikan pembekalan komprehensif, antara lain:
Pertama, pembekalan materi meliputi visi dan misi pemerintahan, tugas dan fungsi kepala daerah, serta pengelolaan anggaran yang diajarkan oleh KPK, BPK, BPKP, dan kepolisian.
Kedua, diskusi dan dialog. Forum diskusi untuk membahas isu-isu penting terkait pemerintahan dan pembangunan daerah.
Ketiga, kegiatan pembangun keakraban. Kegiatan yang dirancang untuk membangun keakraban dan kerja sama antarkepala daerah.
Keempat, presentasi dari tokoh nasional. Pembicara meliputi Presiden Prabowo, menteri Kabinet Merah Putih, dan tokoh nasional lainnya.
Harapan terhadap retret ini antara lain; pertama, menjadi kesempatan bagi kepala daerah untuk saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Mereka dapat belajar dari praktik baik daerah lain dan membangun jejaring kerja sama yang lebih kuat.
Kedua, dengan adanya arahan langsung dari pemerintah pusat, diharapkan kepala daerah dapat menjalankan tugasnya dengan lebih terarah dan terukur.
Ketiga, kepala daerah dapat memahami lebih dalam mengenai misi Asta Cita presiden, yang akan memberikan arahan strategis dalam menjalankan pemerintahan di daerah masing-masing.
Keempat, pembekalan mengenai efisiensi anggaran dari Menteri Keuangan penting untuk memastikan penggunaan anggaran yang tepat sasaran dan berdampak positif bagi masyarakat.
Demikianlah beberapa hal penting seputar konsep pembekalan kepala daerah baru. Retret bisa dinilai sebagai upaya peningkatan kualitas kepemimpinan daerah. Namun demikian, rakyat masih menghendaki bukti nyata dari upaya tersebut. Apakah retret sekadar program “kosmetik” atau betul-betul sebagai sarana riayah rakyat yang lebih baik.
B. Kemampuan Retret Sebagai Sarana Peningkatan Kualitas Kepemimpinan Kepala Daerah
Penyelenggaraan retret kepala daerah di tengah efisiensi anggaran, wajar bila memicu polemik. Tanpa prolog yang jelas, terutama mengenai outcome (kemanfaatan) dan impact (perubahan) yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, retret hanya menciptakan kesan militeristik dan menjadi upaya resentralisasi daerah di bawah kewenangan pemerintah pusat seperti era Orde Baru.
Meski ada sisi positif dari retret kepala daerah seperti membangun kesadaran tentang bela negara, visi pemerintahan, serta semangat disiplin yang dapat ditimba dari militer, namun hal tersebut tidak mampu menghapus kesan negatif yang muncul. Dirangkum dari jawapos.com (19/2/2025), Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Ghaliya Putri Sjafrina menyebut, retret kepala daerah seharusnya ditiadakan. Sebab, kegiatan itu tidak berkaitan langsung dengan kepentingan publik seperti sektor pelayanan pendidikan, hukum, dan hak asasi manusia (HAM).
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan. Menurutnya, kegiatan itu tidak sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran. Apalagi, penguatan kapasitas kepala daerah sejatinya bisa dilakukan berdasar zona, tidak perlu mengumpulkan seluruh kepala daerah.
Sementara Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman menilai, jika tujuan retret untuk sinkronisasi pembangunan pusat dan daerah, persoalannya tidak cukup diselesaikan melalui pembekalan. Sebab, persoalannya ada pada regulasi dan ego sektoral. Misalnya, ketidakharmonisan antara ketentuan di UU Pemda dan UU sektoral tertentu.
Terlepas dari kritikan soal seremonial di tengah pemangkasan anggaran dan upaya sentralisasi kekuasaan pusat, perlu juga dipertanyakan kemampuan retret sebagai sarana peningkatan kualitas kepemimpinan kepala daerah.
Retret mungkin bisa menjadi modal kesiapan teknis kepala daerah memimpin, namun sebagai ajang meningkatkan kualitas kepemimpinan tentu tak bisa diharapkan dari retret ini. Ada persoalan lebih mendasar yang turut membentuk pola kepemimpinan yaitu soal sistem politik yang dijalankan.
Pemimpin dan sistem politik (pemerintahan) tentu tak bisa dipisahkan. Pemimpin menjalankan pemerintahan, dan sistem politik berpengaruh terhadap pola kepemimpinan. Penerapan demokrasi yang berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan dan kekuasaan), serta kelindannya dengan penerapan kapitalisme di bidang ekonomi serta liberalisme pada aspek sosial budaya, terbukti mengantarkan kepala daerah pada tindak korupsi, suap, kongkalingkong dengan oligarki, dan penyelewengan lainnya.
Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data Kejaksaan dan Kepolisian. ICW mencatat, sepanjang tahun 2010–Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum.
Sudah menjadi rahasia umum, pemicu maraknya korupsi kepala daerah salah satunya karena tingginya biaya politik. ICW mencatat (2018), mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal yakni, politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20–100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode (antikorupsi.org, 7/2/2022).
Kasus korupsi kepala daerah yang banyak dan terus berulang menjadi indikasi bahwa akar penyebab itu bukan sekadar kemampuan individual memimpin. Tetapi ada persoalan sistemis yaitu cacat bawaan yang dimiliki oleh sistem politik hasil kompromi manusia.
Maka bila sistem politiklah yang memiliki andil besar dalam kerusakan kepemimpinan, tentu ini tak bisa diselesaikan hanya dengan retret. Tapi butuh perubahan kondisi perpolitikan secara mendasar dan menyeluruh. Dengan kata lain, butuh adanya perubahan sistem politik. Sanggupkah?
C. Strategi Islam Membentuk Pemimpin Amanah dalam Meriayah Rakyat
Bila sistem demokrasi sekuler kapitalistik terbukti gagal membentuk pemimpin yang amanah dalam meriayah rakyat, alternatif apa yang bisa dijalankan kalau bukan sistem politik yang bersumber dari kehendak Allah SWT, sebagai satu-satunya pencipta sekaligus pengatur manusia, alam semesta, dan kehidupan? Sebagai agama sekaligus ideologi, Islam memiliki perangkat sistem politik.
Berikut strategi Islam membentuk pemimpin amanah dalam meriayah rakyat. Pertama, Islam memahamkan bahwa kepemimpinan (dalam konteks bernegara) adalah amanah untuk mengurus rakyat. Bukan kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri.
Kedua, pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada Hari Kiamat, apakah mereka telah mengurus mereka dengan baik atau tidak.
Rasulullah SAW bersabda, “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Ketiga, mengurusi kemaslahatan rakyat yang menjadi amanah pemimpin harus sesuai tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya (syariah Islam). Merujuk pada syariah Islam dalam mengurus semua urusan rakyat adalah wajib.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah) (QS. an-Nisa’: 59).
Keempat, pemimpin Muslim tidak tunduk pada kehendak kaum kafir dan kaum munafik. Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu menuruti kaum kafir dan kaum munafik itu. Janganlah kamu menghiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pelindung” (QS. al-Ahzab: 48).
Kelima, menjadikan tugas untuk menasihati rakyat sebagai tanggung jawab pemimpin. Pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah setelah beliau, para pemimpinlah (khalifah/kepala negara, wali/gubernur, amil/walikota/bupati, panglima tentara) yang setiap Jumat berkhutbah menyampaikan nasihat takwa kepada kaum Muslim. Mereka bertugas menjaga rakyat agar tetap dalam jalur takwa, yakni berjalan sesuai syariah Allah SWT agar Dia meridhai mereka.
Keenam, ulama bertugas membimbing umat dan para pemimpin di jalan Allah SWT. Ulama harus memastikan pelaksanaan syariah Allah SWT di muka bumi karena mereka pewaris para nabi. “Sungguh ulama adalah pewaris para Nabi” (HR. Bukhari).
Ketujuh, kaum Muslim harus melakukan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa. Mereka pun wajib mendorong penguasa untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Kedelapan, memberikan sanksi bagi pemimpin yang tidak amanah (berkhianat). Dalam pemerintahan Islam, ada peradilan khusus yang memeriksa indikasi penyimpangan pejabat dan menetapkan hukuman padanya yaitu mahkamah madzalim.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kepemimpinan yang amanah hanyalah kepemimpinan yang didasarkan pada syariat Islam. Dengan kata lain, pemimpin yang amanah hanyalah yang benar-benar menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam mengurus semua urusan rakyatnya. Tanpa syariat Islam, sebagaimana yang terjadi saat ini, khususnya di negeri ini, mustahil para pemimpin bisa amanah dalam mengurus rakyat mereka.
Cukuplah sabda Rasulullah SAW berikut sebagai pengingat, “Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada hari kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan haq dan menunaikan amanah itu yang menjadi kewajibannya” (HR. Muslim).
IV. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis mengajukan kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep pembekalan kepala daerah baru dikenal dengan retret, bertujuan untuk menyelaraskan visi pemerintah pusat dan daerah, serta memberikan pembekalan kepada kepala daerah terpilih. Retret mencakup jenis kegiatan untuk memberikan pembekalan secara komprehensif.
2. Retret mungkin bisa menjadi modal kesiapan teknis kepala daerah memimpin, namun sebagai ajang meningkatkan kualitas kepemimpinan tentu tak bisa dari retret ini. Mengingat ada sistem politik saat ini yang memiliki andil besar dalam kerusakan kepemimpinan. Ini tak bisa diselesaikan dengan retret, tapi butuh perubahan perpolitikan secara mendasar dan menyeluruh.
3. Strategi Islam membentuk pemimpin yang amanah dalam meriayah rakyat yaitu; memahami kepemimpinan adalah amanah untuk mengurusi rakyat, kelak dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, kepemimpinan harus sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, serta pemimpin Muslim tidak tunduk pada kehendak kaum kafir dan munafik. Selain itu, bertugas menasihati rakyat, ada ulama yang membimbing umat dan para pemimpin agar syariat terlaksana, kaum Muslim juga menjalankan amar makruf nahi mungkar, serta adanya sanksi bagi pemimpin yang berkhianat atau menyimpang.
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst