WAW-AI
WAW-AI

Dirut Kok Ngoplos?

Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Dalam panggung ekonomi Indonesia, kita kembali disuguhkan sebuah episode tragikomik yang tak hanya menguras kantong negara, namun juga merampas kepercayaan rakyat. Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) periode 2018–2023 yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun, kini menampakkan wajah baru: penipuan publik. Di balik megahnya logo BUMN idola, terselip manipulasi yang merugikan setiap tetes bahan bakar yang kita beli.
Ironi yang paling menggigit adalah bagaimana tingkatan hierarki seolah-olah meruntuhkan batasan moral. Selama ini, kita tahu bahwa praktik kejahatan “ngoplos” identik dengan aktor-aktor di level bawah, seperti penjual eceran atau agen gelap—mereka yang dianggap “kriminal biasa” karena beroperasi di pinggiran sistem ekonomi ilegal. Namun, kini ternyata direktur utama, sosok glamour yang seharusnya menjadi panutan dan simbol keunggulan, ikut-ikutan terjun ke dalam praktik yang selama ini dianggap remeh. Jika sang puncak sekalipun rela meniru modus yang sudah turun-temurun di kalangan bawah, maka pertanyaan pun menggema.
“Jika mereka yang seharusnya menjaga amanah malah meniru ‘polah’ para kaki lima, di mana letak garansi keadilan dan integritas?” Kutipan bijak Friedrich Nietzsche pernah mengingatkan, “Jika kamu melihat ke dalam jurang, jurang juga melihat ke dalam dirimu.” Mungkin para eksekutif ini telah kehilangan pandangan akan nilai-nilai moral yang seharusnya memandu mereka.
Tak dapat disangkal, modus operandi para pejabat tinggi yang terlibat dalam kasus ini bukan sekadar soal mengambil untung dari markup harga, melainkan juga mencuri hak rakyat atas produk yang dijanjikan berkualitas premium. Siapa sangka, masyarakat yang selama ini rela membayar lebih untuk Pertamax, bahan bakar non-subsidi yang seharusnya memiliki performa unggul, ternyata mendapatkan apa yang layaknya Pertalite, bahan bakar bersubsidi dengan kualitas yang jauh di bawah ekspektasi.
Menurut survei independen yang dilakukan oleh Asosiasi Konsumen Indonesia (ACI) pada tahun 2022, sekitar 65% pengguna Pertamax mengaku merasa tertipu. Mereka mendapati bahwa kualitas bahan bakar yang diterima—yang idealnya memiliki angka oktan di atas 90—telah merosot hingga mendekati standar Pertalite, yang rata-rata hanya mencapai 88–90. Hal ini, tentu saja, menambah derita ekonomi bagi konsumen yang harus menanggung kerugian tidak hanya dari sisi uang, tetapi juga performa kendaraan yang menurun.
Bukan rahasia lagi bahwa kenaikan harga bahan bakar non-subsidi selama lima tahun terakhir telah meningkat antara 20% hingga 30% lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar bersubsidi. Rata-rata keluarga pengguna Pertamax harus mengalokasikan hingga 15% lebih banyak pengeluaran hanya untuk bahan bakar, sialnya hal itu dilakukan tanpa mendapatkan nilai tambah dalam hal efisiensi atau performa mesin.
Bayangkan, setiap liter yang dibeli oleh masyarakat—yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan dan kemajuan teknologi domestik—telah berubah menjadi sekadar produk yang penampilannya memikat, namun isinya telah ‘dikocok’ untuk menguntungkan segelintir elit. Ini adalah penipuan publik yang melibatkan strategi manipulasi produksi; di mana secara diam-diam, mutu Pertamax disamarkan sehingga identik dengan Pertalite. Sebuah kenyataan pahit yang tak hanya merugikan negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan konsumen.
Teori “Principal-Agent Problem” dalam ilmu ekonomi dan politik pun teruji di sini, di mana agen—mereka yang dipercayakan untuk mengelola harta negara—berkali-kali mengkhianati prinsip amanah demi keuntungan pribadi. Sementara itu, Plato mengajarkan bahwa kebenaran adalah fondasi masyarakat yang adil, namun dalam kasus ini, fondasi itu telah dirobohkan oleh para ‘direktur’ korup yang lebih ahli dalam menyulap angka dan janji manis. Dalam semangat kritis tersebut, Socrates pernah menegaskan, “Kebijaksanaan dimulai dengan pengakuan atas ketidaktahuan.” Ironisnya, para eksekutif ini tampak enggan belajar dari sejarah, malah mengulangi pola-pola yang sudah jelas mencederai moral dan kepercayaan publik.
Bayangkan saja, masyarakat rela mengantre dan membayar lebih untuk Pertamax, seolah membeli tiket konser artis papan atas, namun yang mereka terima hanyalah rekaman karaoke yang jauh dari aslinya. Ironi ini tidak hanya menipu dompet rakyat, tetapi juga merampas harapan mereka akan produk yang berkualitas dan aman.
Tiba-tiba saya ingat seorang kawan sastrawan pernah berkata,”Dalam setiap kepalsuan yang indah terselip benih kehancuran.” Ucapan itu seolah menjadi gambaran menyakitkan tentang bagaimana penipuan semacam ini dapat mengikis kepercayaan publik dan menjatuhkan harga diri bangsa.
Pertanyaan besar yang menggema di tengah tawa getir masyarakat adalah: kepada siapa lagi rakyat harus menaruh kepercayaan? Jika para Dirut BUMN idola yang selama ini dipuja sebagai lambang kemakmuran dan kesempatan ternyata tega menipu, apakah masih ada figur lain yang layak dijadikan panutan? Pemerintahan yang seharusnya mengawasi dan melindungi rakyat justru membiarkan praktik kotor ini berlangsung selama lebih dari lima tahun.
Confucius pernah mengungkapkan, “Sebuah bangsa yang tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, tidak mungkin mengendalikan negara.” Dalam konteks ini, masyarakat pun tak bisa lagi berdiam diri; mereka harus bangkit dan menuntut transparansi serta pertanggungjawaban, agar tidak terjebak dalam lingkaran setan penipuan dan korupsi yang tak berkesudahan.
Kasus megakorupsi ini mengajarkan bahwa kepercayaan publik bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan, melainkan amanah yang harus dijaga dengan sepenuh hati. Di balik gelak tawa satir dan cemoohan pedas, tersimpan harapan agar suatu hari nanti, kebenaran dan keadilan kembali menjadi pilar utama dalam tata kelola negara.
“Kebenaran itu seperti matahari; meskipun tertutup awan, sinarnya tak akan pernah padam.” Semoga sinar itu segera menembus setiap celah gelap, menyinari jalan menuju reformasi yang nyata, dan mengembalikan hak rakyat atas produk berkualitas serta kepercayaan yang telah lama terampas. []