Skandal Pertamax Rasa Pertalite, Gde Siriana: Direksi Pertamina Sejak 2018 Harus Diperiksa, Erick Thohir Juga Ikut Tanggung Jawab

JAKARTASATU.COM— Kejaksaan Agung mengatakan praktik blending bahan bakar minyak RON 90 (Pertalite) menjadi RON 92 (Pertamax) dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terjadi pada tahun 2018–2023.

Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar untuk merespons adanya isu masih adanya bahan bakar minyak (BBM) oplosan yang beredar di masyarakat. Rabu (26/2/2025).

Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah pejabat sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait pengoplosan BBM Pertamax. Berikut adalah daftar pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka:

1. Riva Siahaan (RS): Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
2. Sani Dinar Saifuddin (SDS): Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
3. Yoki Firnandi (YF): Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
4. Agus Purwono (AP): VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
5. Maya Kusmaya: Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga.
6. Edward Corner: ST FP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.

Selain para pejabat tersebut, Kejaksaan Agung juga menetapkan tiga tersangka dari pihak swasta, yaitu:

1. Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR): Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.

2. Dimas Werhaspati (DW): Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim.
3. Gading Ramadhan Joedo (GRJ): Komisaris PT Jenggala Mar

“Petinggi 3 anak perusahaan Pertamina jadi TSK kasus Pertamax rasa Pertalite, menunjukkan bahwa Pertamina sebagai holding gagal jalankan kewajibannya untuk mengawasi. Kejagung menyatakan pengoplosan sejak 2018 mengindikasikan pembiaran terhadap praktik tersebut. Maka Direksi Pertamina harus diperiksa dan dinonaktifkan demi kelancaran penyidikan. Bahkan pemeriksaan juga terhadap jajaran direksi Pertamina dan anak perusahaannya sejak 2018.” kata Direktur Executif INFUS Gde Siriana saat dihubungi Jakartasatu.com, Kamis (27/2/2025).

“Menteri BUMN Erick Thohir juga harus ikut bertanggung jawab karena tidak mampu mengawasi tata kelola BUMN. Kejahatan di BUMN dalam waktu yang panjang tidak lagi layak dianggap sebagai kejahatan individual, melainkan kejahatan yang sistematis sehingga diperlukan tanggung jawab kelembagaan.”  tambah kandidat doktor ilmu politik ini.

Gde Siriana sebut perlunya audit investigasi aliran uang di kasus tersebut.

“Perlu audit investigatif untuk mencari tahu aliran uangnya dan siapa yang terlibat di eksekutif dan legislatif. Jumlah Rp.200 triliun tidak mungkin dimakan 7-10 orang. Tapi apa Kejaksaan Agung punya keberanian mengusut tuntas sampai ke hulunya? Ini State-corporate crime, sistem yang melakukan kejahatan, aktor-aktor nya aja ganti-ganti,” ia menegaskan.

“Ini adalah skandal besar, tidak saja merugikan negara ratusan triliun, tetapi juga merugikan rakyat secara langsung.” tandas Gde Siriana.

Diketahui, IVOOX.id (26/2/2025) “Kejagung Sebut Praktik Pengoplosan Pertamax Terjadi Sejak 2018”, Praktik isu oplosan, blending bahan bakar minyak RON 90 (Pertalite) menjadi RON 92 (Pertamax) dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terjadi pada tahun 2018–2023.

“Terkait adanya isu oplosan, blending, dan lain sebagainya, untuk penegasan, saya sampaikan bahwa penyidikan perkara ini dilakukan dalam tempus waktu 2018 sampai 2023. Artinya, ini sudah dua tahun yang lalu,” kata Harli di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/2025), dikutip dari Antara.

Ia mengatakan fakta hukum kasus ini adalah dalam kurun waktu 2018-2023, PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembayaran untuk BBM berjenis RON 92, padahal sebenarnya membeli BBM berjenis RON 90 atau lebih rendah, yang kemudian dilakukan blending di storage atau depo untuk diubah menjadi RON 92. Artinya, barang yang datang tidak sesuai dengan harga yang dibayar.

Berdasarkan fakta hukum tersebut, kata Harli, kasus ini terjadi dalam tempus waktu 2018-2023 dan bukan pada saat ini. Terlebih, BBM merupakan barang yang terus diperbarui.

“Fakta hukumnya, kasus ini pada tahun 2018-2023 dan ini sudah selesai. Minyak ini barang habis pakai. Tempus 2018-2023 ini juga sedang kami kaji. Apakah pada 2018 terus berlangsung sampai 2023 atau misalnya sampai tahun berapa dia,” ujarnya.

Harli menegaskan bahwa kabar yang menyebutkan bahwa BBM saat ini adalah hasil oplosan merupakan narasi yang keliru.

“Ini sekarang sudah tahun 2025. Jadi, kalau kami mengikuti juga dari media, apa yang disampaikan oleh pihak Pertamina, saya kira faktanya sudah tepat. Sekarang, (BBM, red) itu sesuai dengan spesifikasi,” ujarnya.

Sebelumnya pada Senin (24/2/2025) malam, Kejagung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terjadi pada tahun 2018–2023.

Mereka adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan Yoki Firnandi (YF) selaku PT Pertamina International Shipping.

Tersangka lainnya, yakni Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Kejagung menyebut bahwa dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan melakukan pembelian BBM berjenis RON 92, padahal sebenarnya membeli BBM berjenis RON 90 atau yang lebih rendah.

BBM tersebut kemudian dilakukan blending di storage atau depo untuk dijadikan RON 92, padahal tindakan tersebut tidak diperbolehkan.

Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) membantah tudingan adanya bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dioplos dengan BBM jenis Pertalite, sekaligus memastikan bahwa Pertamax yang beredar di masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

“Narasi oplosan itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan kejaksaan,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso ketika ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (25/2/2025), dikutip dari Antara.

Menurut Fadjar, terdapat narasi yang keliru ketika memahami pemaparan oleh Kejaksaan Agung.

Fadjar menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan oleh Kejaksaan Agung adalah pembelian RON 90 dan RON 92, bukan terkait adanya oplosan Pertalite menjadi Pertamax.

RON 90 adalah jenis bahan bakar minyak (BBM) yang memiliki nilai oktan sebesar 90. Pada produk Pertamina, RON 90 adalah Pertalite, di sisi lain RON 92 adalah Pertamax.

Dalam kesempatan tersebut, Fadjar menegaskan bahwa produk Pertamax yang sampai ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

Adapun lembaga yang bertugas memeriksa ketepatan spesifikasi dari produk yang beredar di masyarakat adalah Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) yang berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan speknya masing-masing,” ucapnya.

Pernyataan tersebut merespons ramainya pemberitaan ihwal adanya Pertalite yang dioplos untuk menjadi Pertamax. Kabar tersebut merujuk pada pernyataan Kejaksaan Agung soal kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang. (Yoss)