“Retret”,  Jumbo Korupsi dan Kritik Polisi

Catatan : Imam Wahyudi
Jurnalis Senior Bandung

AGENDA retret kepala daerah,  diwarnai korupsi jumbo Pertamina dan Bayar, Bayar, Bayar grup musik Sukatani. Pun fluktuasi harga bahan pokok, yang menanjak — memasuki bulan Ramadhan.

Putaran akhir retret yang mengusik opini sebagai “antiklimaks”. Dengan kehadiran dua mantan presiden hingga “pembekalan” Gibran dalam kapasitas wapres. Tak ingin membahas lebih lanjut, publik pun maklum dan mengalirkan opini kritis.

Penulis memilih berfantasi di jalanan korupsi bernilai fantastis dan spasi kreasi seni (yang mestinya bebas hambatan). Salah satunya, korupsi jumbo Rp 193,7 triliunan (prakiraan sementara) di PT Pertamina Patra Niaga. Anak perusahaan Pertamina, dalam bidang perdagangan olahan minyak bumi.

Tak hendak mengurai lebih jauh soal korupsi super edan itu. Saking edannya, tak perlu membandingkan berapa kilometer jalan tol bisa dibuat. Alih-alih berjuta rumah rakyat layak huni, yang harus kembali sebatas mimpi.

Terkait retret yang melibatkan kepala daerah se-Indonesia, dipastikan menjadi bahan obrolan atau sekadar diskusi. Betapa tidak, sejumlah nilai rupiah yang dikorupsi — sedekat membandingkan dengan volume APBD di setiap provinsi hingga kabupaten/kota.

Dalam hitungan daerah klaster atas, nilai korupsi Rp 193,7 triliun itu — setara dengan 6 – 7 volume APBD tingkat provinsi. Volume yang rerata menurun dibanding tahun anggaran sebelumnya. Menoleh APBD Provinsi Jawa Barat yang “hanya” kisaran Rp 30 triliun., dengan covered area begitu luas dan kompleks.

Pemisalan lain di tingkat pemerintahan kabupaten/kota, jelas lebih signifikan. Kota Bandung yang pada tahun anggaran 2025, nilai APBD “hanya” menyundul Rp 8 triliun. Dengan asumsi itu, maka nilai korupsi anak perusahaan Pertamina — mencapai minimal 24 kali APBD tingkat kabupaten/provinsi. Eeedaan tenan.

Bencana tsunami korupsi yang bagai tak pernah berhenti, sejatinya menjadi peringatan dini. Barangkali di sisi itu urgensi retret. Setiap kepala daerah tak perlu lagi berfikir tentang “balik modal” eks pilkada. Meski tak ada jaminan, kecuali lips service alias basa-basi semata.
***
BAB lirik lagu Bayar, Bayar, Bayar tak semata kritik terhadap institusi polisi. Lontaran kritik grup Sukatani, hendaknya dibaca meliputi semua sistem kelola pemerintahan — lewat kebijakan dan implementasi.

Kreasi seni sebagai fenomena sosial. Bentuk kepedulian yang berbalut kritik. Lahir dari semangat civil society yang berlaku sukarela. Adalah masyarakat yang terorganisasikan secara beradab. Ia memiliki peranan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konteks inilah, bahwa kepala daerah harus membuka diri terhadap saran dan kritik warga. Bahkan hendaknya membangun “alun-alun demokrasi” dan membuka ruang dialog bagi petunjuk arah pembangunan daerah.
***
SELEPAS agenda sepekan di kampus Akmil Magelang, para kepala daerah sudah harus terjun ke medan pengabdian yang sesungguhnya. Selama sepekan pula tertunda berperan sebagai pamong daerah.

Kembali ke daerah masing-masing, bersamaan dengan hari pertama bulan puasa Ramadhan. Praktis dihadapkan pada kondisi kenaikan harga-harga bahan pokok. Bersamaan dengan sikon ekonomi rakyat yang sedang tidak baik-baik saja.

Tantangan untuk senantiasa mampu mengendalikan harga yang bagai tradisi jelang Ramadhan dan lebaran. Hasil pendadaran retret berbasis koordinasi dan sinerji antara pusat dan daerah, kiranya menuai solusi kekinian. Harga sembako yang terjangkau, hendaknya tak sebatas halo-halo.***

*) jurnalis senior di bandung