Pembina Gaung Perempuan, Detti Artsanti: Nasib Buruh Perempuan di Tengah Gelombang Penutupan Pabrik
JAKARTASATU.COM– Gelombang penutupan pabrik yang terjadi belakangan ini telah membawa dampak besar bagi kehidupan para buruh, terutama buruh perempuan. Dengan jumlah yang signifikan di sektor manufaktur, buruh perempuan menghadapi tantangan berat ketika kehilangan pekerjaan. Situasi ini tidak hanya mengancam kestabilan ekonomi keluarga, tetapi juga memperburuk kerentanan sosial yang mereka hadapi.
Jakartasatu.com pada Sabtu 1 Maret 2025 lakukan wawancara Ketua Yayasan ’98 Peduli yang juga Pembina Gaung Perempuan, Detti Artsanti. Ia sampaikan pandangannya mengenai dampak gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap buruh perempuan di Indonesia.
Gelombang PHK di Industri Manufaktur
Dikemukakan Detti Artsanti dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pabrik besar di Indonesia mengalami dan akan mengalami penutupan yang berdampak luas bagi tenaga kerja. Beberapa di antaranya adalah PT Sritex, PT Sanken, PT Yamaha, dan PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI). Penutupan pabrik-pabrik ini menyebabkan ribuan buruh kehilangan pekerjaan, termasuk buruh perempuan yang selama ini menggantungkan hidupnya di sektor manufaktur.
Dampak Berlapis bagi Buruh Perempuan
Menurut Detti Artsanti, buruh perempuan menghadapi dampak yang lebih kompleks dibandingkan buruh laki-laki.
“Ketika pabrik tutup, perempuan tidak hanya kehilangan penghasilan, tetapi juga menghadapi beban ganda dalam rumah tangga. Banyak dari mereka adalah pencari nafkah utama, dan tanpa jaminan sosial yang memadai, mereka jatuh ke dalam jurang kemiskinan,” jelasnya.
Selain kehilangan sumber pendapatan kata Detti, buruh perempuan juga kerap dihadapkan pada minimnya peluang kerja baru. Sektor industri yang mereka geluti biasanya memiliki keterampilan spesifik yang sulit dialihkan ke sektor lain.
“Banyak buruh perempuan yang bekerja di sektor tekstil, garmen, dan elektronik. Ketika industri ini mengalami krisis, mereka tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk beralih ke pekerjaan lain,” tambah Detti.
Rentan Terhadap Eksploitasi di Sektor Informal
Ketika pekerjaan formal semakin sulit ditemukan, buruh perempuan sering kali terpaksa masuk ke sektor informal dengan kondisi kerja yang jauh lebih rentan.
“Kita melihat peningkatan jumlah perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga, buruh harian lepas, atau bahkan menjadi korban eksploitasi tenaga kerja dengan upah di bawah standar,” ungkap Detti.
Selain itu lanjut Detti, ada juga tantangan psikologis yang muncul akibat kehilangan pekerjaan. Banyak buruh perempuan mengalami tekanan mental akibat ketidakpastian ekonomi, tanggung jawab keluarga, serta stigma sosial yang melekat pada perempuan yang kehilangan pekerjaan.
Perlunya Kebijakan yang Lebih Responsif
Melihat kondisi ini, Detti menekankan pentingnya kebijakan pemerintah yang lebih responsif terhadap nasib buruh perempuan.
“Kami mendesak pemerintah untuk memperkuat perlindungan sosial bagi buruh perempuan yang kehilangan pekerjaan. Ini bisa berupa jaminan sosial yang lebih luas, pelatihan keterampilan baru, hingga dukungan finansial bagi mereka yang ingin berwirausaha,” paparnya.
Detti juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam memberikan solusi jangka panjang.
“Organisasi seperti Gaung Perempuan terus berupaya memberikan pendampingan hukum dan advokasi bagi buruh perempuan. Namun, ini harus didukung oleh kebijakan yang konkret dan berkelanjutan,” tegasnya.
Peluang Peningkatan Pendidikan bagi Buruh Perempuan
Detti Arsamti menegaskan selain perlindungan sosial, pemerintah dan sektor pengusaha juga memiliki peran penting dalam memberikan peluang bagi buruh perempuan untuk meningkatkan pendidikan mereka. Banyak buruh perempuan yang hanya memiliki pendidikan dasar atau menengah, sehingga sulit untuk beradaptasi dengan perubahan industri yang semakin maju.
“Pemerintah perlu mendorong program pendidikan dan pelatihan keterampilan yang lebih inklusif, seperti program beasiswa untuk buruh perempuan, kursus keterampilan digital, atau pendidikan vokasi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja,” tegas Detti.
Sektor pengusaha juga bisa berperan dengan memberikan kesempatan bagi buruh perempuan untuk mengikuti pelatihan kerja, baik sebelum maupun setelah mereka kehilangan pekerjaan.
“Jika perusahaan dapat menyediakan program peningkatan keterampilan bagi pekerja mereka, maka buruh perempuan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dan berkembang di dunia kerja yang berubah cepat,” tambahnya.
Mendorong Kemandirian Ekonomi
Sebagai solusi jangka panjang, Detti mendorong buruh perempuan untuk wirausaha dan ekonomi kreatif.
“Harus sudah mulai mempertimbangkan wirausaha dan sektor ekonomi kreatif sebagai alternatif untuk bertahan dan bangkit di tengah situasi sulit ini,” katanya.
“Dengan kondisi yang semakin tidak menentu, diperlukan langkah konkret dan keberpihakan nyata untuk melindungi hak-hak buruh perempuan. Jika tidak segera diatasi, dampak dari penutupan pabrik ini bisa meluas dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi di Indonesia,” Detti menandaskan (Yoss)