Ramadan, Syawal, dan Kekhilafan: Potret Kompak Dua Kementerian yang Blunder
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
“Kesalahan adalah jembatan menuju kebijaksanaan. Jika kau tak pernah keliru, barangkali kau tak pernah belajar.” – Socrates
Ada satu hal yang belakangan ini menari-nari di linimasa media sosial kita: sebuah “kekompakan” yang aneh bin ajaib dari dua kementerian sekaligus—Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Kebudayaan. Bukan kompak soal program unggulan atau prestasi mentereng yang bikin bangga, melainkan kompak salah posting ucapan selamat berpuasa dengan label “1 Syawal.” Sepele memang, tapi efeknya bak menabuh kendang di tengah malam—kaget, bikin deg-degan, dan berpotensi memancing amarah (atau tawa) netizen.

Babak Pertama: Hilal, Isbat, dan Syawal yang Meleset
Semua bermula ketika pemerintah melalui Kemenag resmi menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025. Informasi ini sebenarnya sudah super jelas, bak cahaya purnama di malam cerah. Hilal telah terlihat dari Aceh hingga Jayapura. Sidang isbat pun mengetuk palu. Masyarakat bersukacita, menyiapkan diri menunaikan ibadah puasa.
Eh, di sinilah drama dimulai. Alih-alih mengunggah ucapan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1 Ramadhan 1446 H,” akun Instagram Kemenag justru dengan gagah berani menuliskan “1 Syawal 1446 H jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025.” Gambarnya pun jelas: desain megah berlatar motif islami dengan tulisan “1 Syawal” yang mencolok. Sementara di bagian caption, tertulis “Selamat menunaikan ibadah puasa 1 Ramadhan.” Bagaikan menonton pertunjukan teater absurd: aktor bilang A, teks bilang B.
Teori disonansi kognitif dari Leon Festinger pun terasa relevan. Dalam disonansi kognitif, seseorang (atau dalam hal ini, sebuah institusi) memegang dua kepercayaan yang saling bertentangan—seperti menyambut Ramadhan tetapi malah menyebut Syawal. Alhasil, terjadilah ketegangan mental yang bikin geleng-geleng. Netizen pun memanfaatkan celah ini untuk menggelitik.
Babak Kedua: Kementerian Kebudayaan Tak Mau Kalah
Layaknya sahabat sejati yang saling bahu-membahu, Kementerian Kebudayaan pun tidak mau ketinggalan pamer kekhilafan. Akun resmi mereka mengunggah ucapan serupa—ucapan selamat menunaikan ibadah puasa, tapi di desain visualnya tertera “1 Syawal.” Bahkan, foto sang Menteri Kebudayaan, Dr. Fadli Zon, M.Sc, terpampang dengan gagah, seolah sedang menyambut Idul Fitri di tengah aroma opor ayam dan nastar nanas.
Entah apa yang terjadi di balik layar. Mungkin, seperti yang dikatakan Friedrich Nietzsche, “Ada banyak hal yang kita sembunyikan di balik tawa, termasuk rasa malu.” Apakah ini murni kesalahan tim desain? Atau salah satu staf admin medsos yang terjepit deadline? Yang pasti, “kekompakan” dua kementerian ini menuai reaksi gemuruh di jagat maya.

Netizen: Teraweh atau Takbiran?
Salah satu keunikan masyarakat digital Indonesia adalah kemampuannya mengolah setiap kesalahan pemerintah menjadi lawakan segar. Di media sosial X (dulu Twitter), ragam komentar bermunculan. Ada yang nyaris takbiran karena mengira Lebaran sudah tiba, padahal mestinya masih semangat salat Tarawih.
Bahkan, seorang netizen menulis, “Beneran, nih? Hampir aja mau takbiran, bukannya teraweh. Kayaknya admin udah pengen cepet-cepet pulang kampung.” Lainnya menggoda, “Min, kok langsung Syawal sih, puasa sebulan kelamaan, ya?” Kita pun jadi teringat ungkapan pelukis surealis Salvador Dalí: “Have no fear of perfection – you’ll never reach it.” Mungkin dalam konteks ini, ketidaksempurnaan itu lebih mengundang tawa ketimbang murka.
Bagi dua kementerian yang notabene punya tanggung jawab besar—menetapkan kalender keagamaan hingga melestarikan kebudayaan—kesalahan seperti ini memang ibarat slapstick comedy. Lucu buat kita, tapi cukup memalukan bagi mereka. Seolah-olah mereka “meloncati” Ramadhan dan langsung menjemput Syawal.
Dari perspektif komunikasi publik, kesalahan ini dapat menggerus kepercayaan masyarakat. Dalam teori Public Relations modern, setiap pesan resmi yang disampaikan lembaga pemerintah mesti melalui proses quality control berlapis. Kalau sampai kecolongan, publik akan bertanya, “Kalau urusan sepele begini saja bisa salah, bagaimana dengan urusan besar?”
Michel Foucault dalam “The Archaeology of Knowledge” menegaskan, institusi punya kuasa membentuk narasi publik. Bila narasi yang disebarkan keliru, maka kepercayaan pada institusi pun ikut luntur. Blunder semacam ini, meski tampak remeh, bisa jadi “lubang jarum” yang menciptakan pertanyaan lebih besar: Apakah para pengelola media sosial kementerian tidak melakukan verifikasi sebelum unggah?
Fenomena ini membuktikan satu hal: netizen Indonesia sudah paham betul cara membalas kekhilafan resmi dengan satire. Lihat saja bagaimana mereka mengomentari postingan Kemenag dan Kementerian Kebudayaan. Salah satunya menulis, “Minag udah mikirin nastar nanas soalnya,” dan dijawab admin dengan jenaka, “Iya nih, lagi lapar.” Seolah-olah situasi canggung itu menjadi semacam punchline yang makin menambah unsur komedi.
Mengutip Rumi, “Raise your words, not your voice. It is rain that grows flowers, not thunder.” Dalam konteks ini, masyarakat menegur dengan kata-kata lucu, bukan dengan kemarahan membabi buta. Namun tetap saja, kritik pedas tersembunyi di balik candaan.
Apakah kesalahan ini akan mengubah cara kita memandang Kemenag atau Kementerian Kebudayaan? Mungkin tidak serta-merta. Tapi ini jadi pengingat bahwa institusi negara, bagaimanapun, harus berhati-hati dalam setiap pernyataan publiknya. Satu huruf saja bisa menimbulkan tsunami komentar. Satu tanggal saja bisa membikin orang salah paham.
Sebagaimana kata Karl Marx, “History repeats itself, first as tragedy, second as farce.” Kalau kesalahan serupa terus berulang, itu bukan lagi musibah, melainkan lelucon tak berkesudahan. Dan ketika rakyat mulai menganggap pemerintah sebagai lelucon, itulah sinyal gawat: trust deficit bisa menggunung.
