BANJIR GUGATAN DI KPU

Oleh: Radhar Tribaskoro
The BRAIN Institute

Beberapa hari lalu, Dedi Sitorus, anggota parlemen dari PDI Perjuang, meradang dalam sidang. Katanya, ia sangat malu dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia 2024. “Inilah pemilu terburuk yang pernah ada,” tandasnya. Dedi menyoroti 309 dari 545 pilkada yang digugat ke Mahkamah Konstitusi. Diantaranya ada yang berakhir dengan vonis Pemungutan Suara Ulang (PSU), dan itu berarti belanja baru lagi. Sangat menyusahkan di tengah tekanan fiskal yang dihadapi oleh pemerintah sekarang ini. Begitu berang Dedi sehingga ia menyarankan semua anggota komisi mundur bersama sebagai bentuk pertanggung-jawaban.

Sebagai mantan komisioner KPU Jawa Barat 2004-2009, saya ikut terpukul oleh fakta yang diungkap oleh Dedi Sitorus. Prof.Dr. Nazaruddin Syamsudin, Ketua KPU 2003-2009, pernah menyatakan bahwa KPU adalah “ibu demokrasi”, karena ialah yang melahirkan para pemimpin bangsa.  Peran mulia ini telah dihancurkan dengan hilangnya kepercayaan publik atas penyelenggaraan pemilu. Apa sebenarnya terjadi?

Kualitas Pemilu

Pemilu di Indonesia, sebuah ritual demokrasi yang seharusnya menentukan nasib bangsa melalui suara rakyat, kini hampir 60% keputusannya diambil oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bukan di meja perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ibarat pertandingan sepak bola di mana wasit lebih sibuk menentukan pemenang di ruang video assistant referee (VAR) daripada di lapangan, pemilu kita lebih banyak ditentukan di ruang sidang ketimbang di bilik suara.

Hasil ini sangat kontras mengingat, misalnya, pemilu di Jerman kemaren. Pemungutan suara itu dilakukan hari minggu, dan pada hari senin sudah muncul perkiraan pemenang. Semua menyambutnya dengan emosi yang beragam. CDU yang menjadi pemenang menyambut dengan kalem, “Terbukti langkah kami benar.” Sementara FDP yang suaranya anjlok, dengan sedih mengatakan, “Kami harus menemukan kembali kaki kami.” Pemilu belum selesai padahal, penghitungan suara sedang berjalan. Walau hasil sementara baru mewakili sebagian suara, hasil tidak akan banyak berubah. Pemilu yang sukses itu ditandai oleh predictability yang tinggi. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Prof. Nasaruddin, pemilu ditandai oleh input yang tidak pasti, namun hasilnya haruslah pasti.

Sekarang, apa yang pasti kalau sebagian besar hasil kerja KPU digugat ke Mahkamah Konstitusi?

Enam kali Indonesia menyelenggarakan pemilu pasca-reformasi, tetapi hanya pemilu pertama yang bisa dianggap sukses. Mengapa? Karena jumlah sengketa pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sampai ke MK saat itu masih dapat dihitung dengan jari. Namun, semakin ke sini, semakin jelas bahwa KPU bukanlah lembaga yang belajar dari pengalaman. Kinerja mereka yang seharusnya meningkat justru stagnan dalam ketidakmampuan memperbaiki diri. Protes publik? Tidak ada gunanya. Kritik akademisi? Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Seolah-olah mereka bekerja dalam ruang hampa di mana suara rakyat hanyalah gangguan latar belakang.

Salah satu elemen yang terus-menerus menjadi sumber masalah adalah sistem penghitungan suara elektronik. Berulang kali sistem ini menuai kritik, berulang kali pula ia tetap digunakan dengan cara yang sama. Seolah-olah teknologi yang katanya mempermudah justru menjadi alat untuk membingungkan publik. Ketika publik bertanya, “Di mana transparansi?”, KPU dengan santainya menjawab dengan jargon teknokratis yang lebih membingungkan daripada menjelaskan. Sebagaimana dicatat oleh Hadiz (2020), “Institusi demokrasi di Indonesia sering kali berfungsi lebih sebagai alat legitimasi daripada sebagai mekanisme akuntabilitas.” Jika pemilu adalah mekanisme demokrasi, maka KPU adalah birokrasi yang tampaknya hanya peduli pada rutinitas, bukan substansi.

Ketidakpercayaan terhadap KPU kini bukan hanya berasal dari kalangan oposisi atau pihak yang kalah dalam pemilu. Ini adalah fenomena yang meluas. Dari tahun ke tahun, gugatan hasil pemilu membanjiri MK seperti banjir tahunan di Jakarta—selalu terjadi, selalu merugikan, dan selalu dikeluhkan, tetapi tetap dibiarkan. Fakta bahwa KPU tidak mengubah satu inci pun cara mereka bekerja, bahkan setelah bertubi-tubi dikritik, adalah bukti nyata bahwa mereka beroperasi dengan prinsip “asal jalan”.

“Mekanisme pemilu di Indonesia adalah cermin dari stagnasi demokrasi itu sendiri,” tulis Mietzner (2018), yang menunjukkan bahwa reformasi pemilu lebih banyak terjadi dalam ranah prosedural dibandingkan dalam peningkatan kepercayaan publik. Dengan kata lain, aturan boleh berubah, sistem boleh diperbarui, tetapi mentalitas penyelenggara pemilu tetap sama—menghindari introspeksi dan bertahan dengan metode usang.

Faktor Perusak Kepercayaan

Kepercayaan terhadap penyelenggaraan pemilu di Indonesia semakin terkikis oleh berbagai faktor yang berulang kali terjadi tanpa ada perbaikan berarti:

1. Manipulasi Data dan Penghitungan Suara. KPU kerap dituding melakukan kesalahan dalam rekapitulasi suara yang berujung pada ketidakpercayaan publik. Banyak kasus di mana selisih angka di tingkat TPS, kecamatan, hingga pusat menimbulkan pertanyaan tentang kejujuran sistem pemilu.

2. Ketidaktransparanan dalam Sistem Elektronik. Sejak diterapkannya sistem penghitungan suara berbasis elektronik, banyak pihak mempertanyakan akurasi dan transparansinya. Bukannya meningkatkan kepercayaan, sistem ini justru kerap menjadi sumber polemik akibat sulitnya akses publik untuk melakukan verifikasi independen.

3. Politik Uang dan Intervensi Elite Politik. Pemilu di Indonesia sering kali bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga soal siapa yang memiliki modal paling besar. Politik uang masih menjadi praktik yang lazim terjadi, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Tidak adanya tindakan tegas terhadap praktik ini membuat publik semakin skeptis terhadap integritas pemilu.

Ketidakberpihakan Penyelenggara Pemilu. KPU dan Bawaslu, yang seharusnya menjadi pengawal netral demokrasi, justru kerap dituduh berpihak pada kelompok tertentu. Keputusan yang inkonsisten dan kurangnya respons terhadap dugaan pelanggaran membuat kredibilitas mereka dipertanyakan.

Peran Mahkamah Konstitusi yang Kian Menentukan MK kini lebih berperan sebagai “penyelenggara bayangan” pemilu dibandingkan sekadar pengadil sengketa. Fakta bahwa begitu banyak keputusan pemilu ditentukan di meja hijau menunjukkan bahwa mekanisme pemilu kita belum cukup kuat untuk menghasilkan hasil yang sah secara langsung.

Langkah Perbaikan

Mengembalikan kepercayaan terhadap penyelenggaraan pemilu di Indonesia memerlukan perubahan sistemik dan perubahan mentalitas di dalam institusi penyelenggara pemilu. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

1. Meningkatkan Transparansi dalam Penghitungan Suara. Semua tahapan penghitungan suara harus dapat diakses dan diverifikasi oleh publik secara real-time, termasuk dengan mekanisme audit independen yang dapat diikuti oleh masyarakat dan pihak ketiga.
Evaluasi dan Reformasi Sistem Elektronik Sistem pemilu berbasis elektronik harus diperiksa ulang secara menyeluruh dengan melibatkan pakar independen, bukan hanya teknisi KPU sendiri. Kelemahan yang telah berulang kali menjadi sumber perdebatan harus segera ditangani.

2. Penguatan Pengawasan terhadap Politik Uang. Dibutuhkan aturan lebih ketat dan penegakan hukum yang lebih berani terhadap praktik politik uang, termasuk dengan memberlakukan sanksi diskualifikasi bagi peserta pemilu yang terbukti menggunakan metode ini.

3. Menjamin Independensi KPU dan Bawaslu. KPU dan Bawaslu harus benar-benar independen dan bebas dari pengaruh partai politik atau pemerintah. Proses pemilihan anggota KPU dan Bawaslu perlu lebih transparan serta diawasi oleh lembaga independen.

4. Berkurangnya Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menentukan Hasil Pemilu. Jika mekanisme pemilu sudah berjalan dengan benar dan transparan, seharusnya sengketa pemilu di MK bisa diminimalisir. MK hanya perlu menangani kasus luar biasa, bukan menjadi penentu utama hasil pemilu.

Lepas dari itu, ada persoalan yang muncul akibat kebijakan pemilu serentak. KPU dan KPUD memiliki masa kerja 5 tahun. Lembaga itu juga telah memiliki pegawai tetap di seluruh Indonesia. Pertanyaannya, apa yang mereka kerjakan setelah musim pemilu berakhir. Apakah lima tahun kedepan negara harus membayar gaji, tunjangan dan biaya operasional ribuan orang tanpa pekerjaan jelas?

Pada akhirnya, apa yang bisa kita harapkan dari KPU? Jika sejarah menjadi petunjuk, maka jawabannya adalah: lebih banyak sengketa, lebih banyak keputusan di MK, dan lebih sedikit rasa percaya terhadap demokrasi elektoral kita. Demokrasi bukan hanya soal menggelar pemilu, tetapi soal memastikan bahwa pemilu dijalankan dengan integritas. Dan sayangnya, integritas tampaknya bukan bagian dari sistem yang KPU pertahankan mati-matian.===

Cimahi, 2 Maret 2025