Wamenaker Benar Rela Kehilangan Jabatan atau Sekadar Omon-Omon?
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
“Saya lebih baik kehilangan jabatan daripada harus melihat kawan-kawan buruh harus dipecat. Saya lebih ikhlas kehilangan jabatan daripada melihat saudara-saudara saya di-PHK. Saya tidak akan pernah ikhlas dan saya tetap di garis depan memperjuangkan nasib ibu-ibu dan bapak-bapak semua,” Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer, 15/11/2024 di depan ribuan karyawan Sritex yang mengikuti istigasah akbar di pabrik PT Sritex, Kabupaten Sukoharjo.
“Manusia tidak dinilai dari janjinya, melainkan dari usahanya menepati janji.” – begitu kita-kira tafsir bebas dari salah satu ucapan Voltaire yang saya ingat.
Sejak kapan sebuah janji jadi semacam mantra suci di negeri ini? Barangkali sejak pertama kali para petinggi kita memahami bahwa mikrofon di depan mulut bisa menyulap kata-kata menjadi tepuk tangan—sementara realitas di belakang panggung bisa dibiarkan menari dengan irama yang berbeda.
Persis seperti yang saya kutip di awal tulisan, belum lama ini, seorang pejabat tinggi, sebut saja Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker), dengan lantang mengucapkan sabda yang sangat heroik, “Lebih baik saya kehilangan jabatan daripada melihat buruh Sritex di-PHK.” Luar biasa, bukan? Nyaris menyaingi adegan drama Shakespeare ketika Romeo bersumpah sanggup menghadapi maut demi Juliet.
Namun, seperti halnya pepatah Jawa “Wong janjine entheng, nglabrake kaya kembang tebu,” kita sering menemukan bahwa janji-janji itu manis hanya di pangkal, sementara kenyataan di ujungnya cenderung pahit.
Karl Marx pernah berkata, “Sejarah berulang pertama kali sebagai tragedi, kedua kalinya sebagai lelucon.” Dan tampaknya kita tengah menonton babak keduanya tersebut, janji pejabat negara menjadi lelucon kolektif saat buruh masih terancam PHK, sementara sang pemilik janji masih duduk manis di kursi empuknya.

Tentu, kita tidak hendak menggugat moralitas seseorang semata-mata dari satu kalimat. Bagaimanapun, menurut Max Weber, “Birokrasi yang ideal seharusnya memiliki tanggung jawab rasional dan etis.” Masalahnya, kita sedang hidup di era digital—era di mana omongan pejabat bukan lagi dongeng yang hilang tertiup angin. Ada tangkapan layar, ada potongan video, ada rekaman suara, dan ada ribuan netizen yang dengan senang hati menjadi ‘arsiparis tidak resmi.’ Kalau dulu, janji bisa ditelan waktu, sekarang janji tak ubahnya jejak kaki di atas semen basah: sekali diucapkan, ia membeku di internet dan siap dikutip ribuan kali.
Lantas, salahkah kalau khalayak menuntut agar mantra itu dibuktikan? Meminjam kata-kata Soren Kierkegaard, “Menjadi manusia berarti mampu bertanggung jawab atas pilihan kata dan perbuatan.” Jika Wamenaker sudah berjanji rela kehilangan jabatannya demi melindungi buruh, maka publik wajar menuntut: “Ini buruh Sritex kabarnya di ambang PHK. Mana aksi heroiknya?” Harus diakui, mengumbar janji itu mudah. Apalagi di panggung yang terang benderang, di mana kamera dan mikrofon berlomba merekam setiap tarikan napas. Namun menepati janji—ah, itu persoalan lain.
Dalam dunia sarkasme dan komedi, Groucho Marx punya petuah jenaka, “These are my principles. If you don’t like them, I have others.” Sepertinya itulah yang sering kita jumpai: ketika janji satu tak sesuai realitas, ada janji lain yang lebih fleksibel. Lebih cair. Lebih bisa disesuaikan dengan angin politik hari ini. Begitu pula dengan potensi PHK massal buruh Sritex. Sudah selayaknya pemangku jabatan tak sekadar menempatkan janji sebagai sekoci pencitraan. Ada ribuan orang yang menunggu kepastian—dan kepastian itu bukanlah sekadar tanda tangan di atas kertas, melainkan aksi konkrit yang menjaga nasi tetap di atas piring mereka.
Menariknya, kita sebagai rakyat sering dipojokkan dengan pertanyaan retoris: “Kamu curiga sekali. Tidak percayakah pada pemerintah?” Kita pun teringat kutipan favorit Michel Foucault tentang kekuasaan yang melekat dalam setiap wacana. Masyarakat seolah tak boleh menuntut lebih, seakan-akan menagih janji sama artinya dengan tak tahu terima kasih. Padahal, menagih janji sejatinya adalah bentuk partisipasi publik dalam mengawasi jalannya roda pemerintahan.
Maka di era serbadigital ini, jangan heran kalau tiap kata yang diucapkan pejabat di ruang publik akan dikutip, dirangkai meme, lalu disodorkan kembali di masa depan. Salahkah? Tentu tidak. Justru ini mekanisme alamiah agar pemimpin tidak terlalu asyik bermain retorika. Dalam bahasa Mahatma Gandhi, “Tindakan kita akan lebih lantang bersuara daripada kata-kata.” Kita tak lagi bisa berharap masyarakat diam sambil membiarkan janji-janji melayang ke angkasa tanpa sempat membumi.
