Hizbullah Indonesia:
SAATNYA MELAWAN PRABOWO (5): Kisah Danantara, Produk Oplosan BUMN-BUMN Yang Selalu Menjadi Sapi Perah Para Rezim Gombal… (1)
Sri-Bintang Pamungkas
Pasca peluncuran Danantara (dan Bank Emas), nilai Rupiah menjadi jeblok: dari 15.900 menjadi 16.000; terus 16.200… sekarang 16.580; bahkan sebelumnya sudah menyentuh 16.700, dan akan menjadi 17.000 Rp/$… Kejatuhan Rupiah, seperti yang saya bilang berulang-ulang tidak bisa dihindarkan karena trend-nya memang naik terus… Kenapa?! Ada 3 sebab: (1) ketidakpercayaan kepada kemampuan Rezim (baca: ada Maling, Korupsi, dan lain-lain); (2) kebijakan keuangan dan pembangunan yang masih terus dipegang kelompok Mafia Berkeley (baca: Sri Mulyani dan kawan-kawannya); dan (3) fundamental Ekonomi Industri yang tidak pernah digarap dengan baik sejak pasca Krismon 1997/98 (baca: Neraca Pembayaran).
Ketika BJ Habibie berhasil menurunkan Rp/$ dari puncak Krismon 17.000-an menjadi 6.500-an, intinya masyarakat, terutama Cina-cina Konglomerat, menaruh kepercayaan kepada Habibie. Upaya Asing (baca: George Soros, dll) menarik Dollar keluar disengaja berhenti, karena tujuan menjatuhkan Soeharto accomplished. Dollar dibawa kembali masuk RI, tapi tidak semuanya. Mereka masih ragu pula akan dampak dipisahkannya BI dari Kementerian Keuangan. Nilai Rupiah tidak kembali ke angka 2.250 seperti sebelum krisis. Sebagian besar Dollar masih parkir di Luar Negeri sampai sekarang…
Ketika banyolan-banyolan Gus Dur kembali meresahkan perpolitikan Indonesia, Rupiah kembali jatuh nangkring di 10.000-an; ketika Megawati menjuali Aset-aset Negara dan merusak Industri Strategis; disusul oleh SBY yang menjuali Sumur-sumur Migas kepada AS dan Cina, Indonesia keluar dari OPEC, Tanah-Air digadaikan 99 tahun, ada korupsi Bank Century 6.7 trilyun… tidak pelak lagi Rupiah terjerembab ke 12 sampai 14.000 Rp/$.
Dalam 10 tahun masa Jokowi, dengan korupsi-korupsinya, jebakan-jebakannya, tipuan-tipuannya, kroni-kroninya, Cina-cina Oligarkinya, dan investasi-investasinya yang ugal-ugalan…, kita semua tahu Rupiah terus terjun mencapai 14 sampai 16.000 Rp/$. Kepercayaan kepada Rezim, dalam artian yang luas, menjadi unsur penting dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah (dan lain-lain)…
Dunia tidak percaya kepada Rezim Wowok duplikat Wiwik sekarang… Sekalipun disertai dengan rasa bangga luar biasa, dengan mata berapi-api dan mulut berbusa-busa serta kepalan tangan menggebu-gebu, Drakula Wowok mengumumkan pembentukan Danantara. Yaitu, sebuah badan usaha Penimbun Dana Untuk Investasi dan Lain-lain. Usai pidatonya yang menggelegar itu, ditandatanganilah Undang-Undang tentang pembentukan Danantara: Set-set-set…dengan begitu mudahnya! Busyet!!! Betul-betul Murid Wiwik yang Cerdas, Cerdik, dan Licin… serta Tidak Waras!
Danantara mestinya berbentuk Persero; jadi juga berupa BUMN. Karena aset-asetnya “diambil” dari BUMN-BUMN, entah dengan cara “membeli”, “meminjam” atau “merampok” masih tidak jelas. Dan tidak jelas pula pertanggungjawabannya, karena BUMN-BUMN itu sesungguhnya milik Rakyat: ada modal dari Negara, dan menguasai hajat hidup orang banyak. Awalnya ada 7 (tujuh) BUMN yang “dipaksa” bergabung ke dalam Super Holding BUMN tersebut… Sekarang bermaksud “mencaplok” semua BUMN pada akhir Maret menjadi 47 yang ikut bergabung…
Kata BUMN pertamakali disebut di jaman Pak Harto saat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) 12/69, yaitu untuk badan usaha dengan modal pemerintah/Negara minimal 51%. PP ini diubah menjadi PP 24/72, di mana ada Persero (yaitu BUMN), dan Perum (Perusahaan Umum). Dengan terbitnya UU No. 1/95 tentang Perseroan Terbatas (PT), kedua PP itu dicabut dan diperbaiki melalui PP 12/98. Untuk pertamakali diterbitkan UU No. 19/2003 tentang BUMN oleh Megawati, dengan pelaksanaannya lewat PP 45/2005. Dengan demikian, Danantara sebenarnya adalah hasil oplosan dari berbagai bangun usaha BUMN dari sejak 1969, di jaman Pak Harto mulai berkuasa. Demikian pula UU No. 1/2025 tentang Danantara adalah hasil oplosan dari berbagai perundang-undangan dari sejak jaman Presiden Soeharto.
Banyak orang bilang, bahwa Danareksa itu meniru-niru super holding Temasek seperti yang ada di Singapur. Pikiran tentang Temasek itu pernah dibawa oleh Tanri Abeng sewaktu menjadi Menteri BUMN di jaman Presiden Habibie (1998-99). Tetapi dengan berbagai pertimbangan, pikiran itu ditolak. Tentu Singapur tidak bisa disamakan dengan Indonesia. Mengelilingi Pulau Singapur tentu bisa dilakukan dalam sehari… tidak demikian dengan Indonesia. Bertahun-tahun Bank Mandiri, BNI dan BRI sampai sekarang masih belum bisa menyalurkan akses kreditnya ke seluruh wilayah dan pelosok Indonesia… untuk Rakyat Kecil…
Lalu sekarang tiba-tiba aset-aset mereka dipangkas, entah separuh atau seluruhnya, oleh ambisi tak rasional yang baru sebatas wacana… dan dari Rezim Drakula… dengan balatentara Mumi Hidupnya. Rakyat sebagai Pemilik Aset pun tidak tahu-menahu, apalagi diajak bicara… Ada orang Wowok yang menyebut Danantara sebagai sovereign wealth fund (SWF) dengan maksud menarik aset-aset lebih besar, termasuk asing juga. Sekalipun, masih belum jelas apakah BUMN-BUMN yang menyusunnya nanti masih “merdeka” (sovereign) beroperasi sesuai dengan amanat perundang-undangan yang membentuknya.
Untuk usaha Bank, lebih dari 90% dari asetnya adalah pinjaman dari para nasabah. Maka patut saja, para nasabah Bank BUMN menjadi khawatir simpanannya ikut “dirampok” Rezim dan tidak bisa ditagih kembali, seperti pernah terjadi pada Bank Bali dan Bank Century. Karena itu, pantas saja masyarakat mulai menarik uangnya dari ketiga Bank-bank BUMN Nasional kita itu untuk disimpan di tempat yang lebih aman… Dan ini jelas sebuah petaka besar bagi Dunia Perbankan Nasional kita yang semakin tidak berperan di negeri sendiri…
Memang di jaman Pak Harto sendiri BUMN-BUMN selalu dijadikan Sapi Perah manakala Negara sedang kesulitan mendapatkan Dollar, antara lain dan terutama, pada saat Neraca Pembayaran menunjukkan angka negatip; sehingga khawatir nilai Rupiah jatuh. Pada jaman Menteri Keuangan Soemarlin, BUMN-BUMN ditodong dengan “Gebrakan Soemarlin” untuk menyerahkan simpanan Dollarnya. Meskipun begitu, tetap saja Rupiah jatuh beberapa kali lewat devaluasi Rupiah yang diumumkan sendiri oleh Menkeu, antara lain, dari 1.100 pada 1980 menjadi 2.200 Rp/$ pada 1997.
(berlanjut)