ig@sritexindonesia
ig@sritexindonesia

Tsunami PHK Massal di Industri TPT, Janji Kampanye yang PHP

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pailit yang melanda puluhan perusahaan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia mencerminkan persoalan mendasar yang tak kunjung teratasi. Sejumlah nama besar seperti PT Adetex, PT Alanatex, PT Asia Pacific Fiber, PT Chingluh, PT Delta Merlin Tekstil, PT Kusuma Group, PT Ocean Asia Industry, PT Tuntex, dan masih banyak lagi, tercatat harus menutup operasionalnya atau mengurangi ribuan karyawan. Alih-alih menjadi lokomotif penyerapan tenaga kerja, sektor yang dulu berjaya ini kini kian terpuruk.
Padahal, janji kampanye pemerintahan Prabowo—yang mengusung semangat “membuka lapangan kerja besar-besaran”—mencuatkan harapan bagi jutaan pencari kerja. Masyarakat sempat optimis bahwa kebijakan ekonomi baru akan mendorong peningkatan daya saing, memberi insentif investasi, dan memperluas kesempatan kerja. Namun, realitas menunjukkan tren yang jauh berbeda.
Pertama, persaingan global yang kian ketat membuat industri TPT domestik kesulitan berkompetisi dengan produk-produk impor, terutama dari negara-negara yang memiliki efisiensi produksi tinggi seperti Tiongkok, Vietnam, dan Bangladesh. Biaya energi, logistik, dan upah di Indonesia cenderung lebih mahal, sementara inovasi serta produktivitas belum diimbangi oleh modernisasi mesin dan teknologi.
Kedua, kelemahan infrastruktur dan kendala birokrasi masih menjadi pekerjaan rumah yang menghambat arus ekspor-impor. Pelabuhan dan jalur distribusi belum sepenuhnya efisien, sehingga biaya logistik perusahaan TPT melonjak. Padahal, di sektor tekstil yang persaingannya berbasis harga dan kecepatan pengiriman, keterlambatan sedikit saja dapat berakibat fatal.
Ketiga, di pasar domestik, perubahan pola konsumsi dan meningkatnya peran platform digital internasional menuntut kecepatan adaptasi. Banyak perusahaan TPT di Indonesia belum mampu bertransformasi secara menyeluruh menuju e-commerce atau membangun merek lokal yang tangguh. Akibatnya, produk dalam negeri justru tergerus oleh banjirnya barang impor murah dan cepat sampai ke tangan konsumen.
ig@sritexindonesia
ig@sritexindonesia
Akumulasi berbagai faktor ini memicu terjadinya gelombang PHK, penutupan pabrik, hingga status pailit di beberapa perusahaan. Data menunjukkan PHK dalam skala besar—misalnya 2.000 karyawan di PT Chingluh, 2.500 di PT Asia Pacific Fiber, 1.500 di Kusuma Group, 2.500 di Sritex Group, hingga 1.700 di PT Pismatex—menandakan betapa seriusnya dampak yang ditanggung pekerja dan keluarganya.
Dalam konteks inilah, publik mempertanyakan janji pemerintahan Prabowo. Hingga kini, kita belum melihat upaya nyata untuk mengakselerasi pemulihan industri TPT. Justru yang mengemuka adalah kabar mengenai pengangkatan tim sukses ke berbagai posisi strategis: mulai dari kabinet yang diperluas, staf khusus dalam jumlah besar, hingga pembentukan lembaga-lembaga baru yang diisi oleh orang-orang terdekat lingkaran kekuasaan. Tak heran, muncul kesan bahwa “lapangan kerja besar-besaran” hanya terjadi bagi para pendukung politik, bukan bagi masyarakat umum yang amat membutuhkan pekerjaan.
Jika saja pemerintah serius ingin memulihkan industri TPT, mungkin semestinya melakukan beberapa hal berikut:
Pertama, Meningkatkan Daya Saing dan Inovasi. Pemerintah harus menyediakan insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam modernisasi mesin, riset, dan pengembangan produk berorientasi ekspor.
Kedua, Memperbaiki Infrastruktur dan Logistik. Pemerintah harus memastikan jalur distribusi dan sistem kepabeanan lebih efisien, sehingga menekan biaya produksi.
Ketiga, Memperkuat SDM dan Pendidikan Vokasi. Pemerintah harus membangun kolaborasi dengan institusi pendidikan agar tenaga kerja siap menghadapi tuntutan industri modern, mulai dari pemahaman teknologi hingga penguasaan desain yang inovatif.
Keempat, Menggenjot Promosi dan Diplomasi Dagang. Pemerintah harus menjalin perjanjian dagang strategis yang membuka akses pasar baru, serta menggalakkan kampanye produk lokal di kancah global.
Kelima, Memberikan Perlindungan Sosial. Semestinya dalam menghadapi PHK massal, pemerintah harus memastikan adanya jaring pengaman sosial, pelatihan ulang (reskilling), dan bantuan bagi para pekerja terdampak.
Tentu saja langkah-langkah tersebut menuntut komitmen serius, bukan sekadar retorika. Terlebih, pemerintah baru memiliki legitimasi politik yang kuat untuk melakukan gebrakan kebijakan. Namun, saat ini, keberpihakan dan keberanian itu belum sepenuhnya terlihat.
ig@sritexindonesia
ig@sritexindonesia
Menjelang periode pemerintahan yang terus berjalan, sudah semestinya Pemerintahan Prabowo meninjau kembali fokus kebijakan mereka. Alih-alih merayakan kemenangan politik dengan menambah kursi pejabat dan staf, inisiatif nyata untuk menggerakkan industri padat karya—termasuk TPT—harus segera diambil. Tanpa itu, janji kampanye tentang “membuka lapangan kerja besar-besaran” akan terus dipertanyakan kredibilitasnya.
Pada akhirnya, nasib ribuan pekerja yang telah kehilangan mata pencarian menjadi bukti konkret bahwa tantangan yang dihadapi industri TPT begitu nyata. Apabila pemerintah tidak segera turun tangan dengan strategi yang komprehensif, maka gelombang PHK berikutnya hanya tinggal menunggu waktu. Dan apabila kondisi ini terus berlanjut, kepercayaan masyarakat terhadap janji politik—termasuk janji Prabowo-Gibran—akan semakin tergerus.
Sektor TPT sejatinya masih memiliki potensi besar, baik dari sisi ekspor maupun pasar domestik. Namun, potensi itu hanya dapat diaktualisasikan jika pemerintah benar-benar fokus pada perbaikan fundamental dan keberpihakan nyata terhadap industri serta para pekerja. Sudah saatnya kita menuntut realisasi janji, bukan sekadar menonton perluasan “lapangan kerja” di lingkar kekuasaan. Tabik.