Ilustrasi Ai | WAW
Ilustrasi Ai | WAW

Menikahkan Bule Tua Jago Bola Demi Masa Depan Sepak Bola Indonesia

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller

“Kita harus belajar hidup bersama sebagai saudara, atau binasa bersama sebagai orang dungu.” – Martin Luther King Jr.

Pernyataan terbaru dari Ahmad Dhani, musisi sekaligus anggota Komisi X DPR RI, terasa bak skenario film komedi. Bayangkan, di tengah gemerlap gedung parlemen, beliau mengusulkan agar kita menaturalisasi pesepak bola berusia senja—lalu menjodohkannya dengan perempuan Indonesia demi mencetak generasi striker masa depan. Tak berhenti di situ, ia juga meminta “mengurangi bule mata biru” demi alasan estetika semata. Sontak, netizen bereaksi, menuding idenya berbau rasisme dan merendahkan perempuan.
Saya teringat petuah Simone de Beauvoir: “One is not born, but rather becomes, a woman.” Di era modern ini, perempuan telah berjuang melampaui sekadar menjadi “pendamping” atau “inkubator generasi unggul.” Mereka adalah pemangku keputusan, pemimpin, inovator, bahkan—kalau di sepak bola—menjadi penggila bola yang fanatik. Lalu, tiba-tiba ada usulan nyeleneh yang menempatkan perempuan Indonesia sebagai semacam ‘bonus’ bagi pesepak bola berumur. Apakah itu bukan bentuk pelecehan dan seksisme?
Kita belum selesai soal seksisme, sudah dihadapkan pula pada aroma rasisme. “Kurangi pemain bule mata biru, rasnya kurang enak dilihat,” begitu kira-kira terjemahan lugas pernyataan Dhani. Seolah warna mata dan rambut adalah indikator keindonesiaan. Padahal, Siti Musdah Mulia, aktivis dan akademisi, sering menegaskan bahwa keberagaman adalah kekayaan budaya yang mesti dirawat. Mau rambut pirang, hitam, atau hijau neon, bukankah kita sama-sama manusia?
Tentu saja, komentar ini langsung mengundang keprihatinan banyak pihak. Andi Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, misalnya, bisa saja berpendapat bahwa ide menjodohkan pria asing demi mencetak “keturunan pesepak bola” tak hanya merendahkan perempuan sebagai obyek reproduksi, tapi juga menyiratkan ketidakpahaman soal hak-hak asasi manusia. Dalam kacamata psikologi, Carl Jung mungkin akan menganggap usulan ini lahir dari “kompleks superioritas semu”—sebuah dorongan untuk merasa lebih hebat dengan cara menyepelekan orang lain.
Yang lebih menggelitik, seluruh lelucon ini terjadi di Gedung DPR, tempat para “wakil rakyat” semestinya membahas isu-isu strategis, seperti pendidikan, kesehatan, atau penanganan stunting—bukan merancang program “nikahkan bule-bule uzur dengan perempuan lokal.” Belum lagi, kita perlu ingat: setiap detik yang dihabiskan anggota DPR di ruang rapat itu dibiayai oleh keringat pajak rakyat. Sementara kita berharap diskusi serius soal pembinaan atlet muda atau pembangunan infrastruktur olahraga, mereka malah asyik bermain imajinasi ala biro jodoh.
Lantas, di mana letak kontribusi mereka bagi bangsa? Noam Chomsky pernah mengungkapkan, “Kekuasaan akan selalu mencari cara mempertahankan dirinya, salah satunya dengan membuat isu yang mengalihkan perhatian.” Mungkinkah usulan “jodohkan pesepak bola tua” ini adalah pengalihan dari tugas mereka yang sebenarnya? Kita tak tahu pasti, tapi kita paham satu hal: kinerja anggota dewan harusnya berfokus pada kebutuhan rakyat, bukan sekadar memproduksi ‘suara berisik’ di rapat-rapat resmi.
Publik pun bertanya, “Apakah kami menyesal memilih mereka?” Sebagian akan menjawab dengan senyuman getir, sebagian lagi menertawakannya sebagai dagelan. Tentu tak semua anggota dewan bersikap sama, tetapi pernyataan satu orang bisa mencoreng citra keseluruhan. Jean-Paul Sartre menegaskan, “Kita adalah hasil dari pilihan kita sendiri.” Jika rakyat memilih wakil-wakil dengan gagasan setengah matang, ya, beginilah jadinya.
Harus diakui, dalam era teknologi yang serba cepat, jejak digital sulit terhapus. Teriakan “Stop rasis!” dan “Jangan lecehkan perempuan!” bergema di media sosial. Masyarakat, yang sudah melek informasi, tidak segan-segan mengutip kembali ucapan para pejabat, lalu mengkritiknya habis-habisan. Kekecewaan itu wajar, karena mereka merasa suaranya disia-siakan. Pajak yang ditarik dari keringat rakyat malah berujung membiayai usulan nyeleneh dan rapat-rapat penuh kelakar tak bermutu.
“Pemerintah yang baik adalah yang menggunakan kekuasaan untuk melindungi, bukan merendahkan,” begitu kira-kira ucapan R.A. Kartini di masa silam yang menuntut penghargaan terhadap martabat manusia.
Jadi, ketika Ahmad Dhani menawarkan “jalan pintas” membangun generasi sepak bola dengan mengekspor cinta dan rahim perempuan Indonesia, kita patut bertanya: di mana kajian ilmiah yang menunjukkan efektivitas ide ini? Di mana data statistik yang mendukung? Bagaimana konsep pembinaan atlet usia dini, gizi, kurikulum olahraga di sekolah—bukankah itu yang lebih penting ketimbang mematchmaking pesepak bola tua dengan perempuan lokal?
Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa tugas wakil rakyat bukanlah menjadi ‘agen perkawinan internasional’. Kita berhak menuntut pertanggungjawaban moral dan intelektual dari setiap kata yang keluar di ruang sidang. Jangan sampai suara kita dipakai untuk melegitimasi wacana yang justru melukai rasa keadilan dan kemanusiaan.
“Hiduplah seperti kamu akan mati besok. Belajarlah seperti kamu akan hidup selamanya,” kata Mahatma Gandhi. Namun, tampaknya ada sebagian orang di kursi parlemen yang belajar terlalu sedikit dan berbicara terlalu banyak.
Semoga ke depan, panggung politik kita tidak hanya dipenuhi suara nyaring yang lebih pantas disebut lawakan daripada gagasan. Tentu kita masih punya harapan: di luar sana, banyak wakil rakyat yang bekerja keras, menggodok regulasi, turun ke dapil, dan benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat. Hanya saja, nyanyian sumbang satu-dua orang kerap menutupi orkestrasi indah yang lain.
Mari kita doakan semoga Ahmad Dhani dan kolega segera mendapat “pencerahan” bahwa rasisme bukan solusi, bahwa perempuan bukan barang pajangan, dan bahwa menghamburkan pajak rakyat untuk ide-ide yang minim faedah jelas tidak elok. Sebab, kalau bukan sekarang kita bersuara, kapan lagi? Dan kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi?
“Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai hak asasi manusia, menghormati perbedaan, dan memuliakan peran perempuan,” itulah inspirasi yang diwariskan oleh Bung Karno dan R.A. Kartini kepada kita.
Jadi, menyesalkah rakyat yang telah memberikan suaranya? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi satu hal pasti: kita akan terus menuntut agar setiap wakil rakyat memahami tanggung jawabnya, bukan sekadar melempar lelucon yang merendahkan. Karena sepak bola adalah olahraga rakyat yang semestinya menghibur, menyatukan, dan membanggakan—bukan jadi panggung dagelan yang menari di atas dana pajak kita semua. Tabik.