Review Buku

Nasib Penyintas Perbudakan Seksual Di Era Perang Asia Timur Raya

Rahadi T. Wiratama dan Alfisyahriin Chusnaini

Pengantar

Perang merupakan manifestasi kekerasan sistemik yang berakar pada budaya patriarki. Patriarki sendiri kerap dipahami sebagai sistem sosial yang dicirikan oleh dominasi laki-laki atas perempuan, di mana hubungan kekuasaan disusun untuk mempertahankan otoritas dan kendali laki-laki di ranah publik dan privat. Hal ini sering diperkuat melalui norma budaya, lembaga keagamaan, sistem hukum, dan praktik sosial yang mengutamakan kepentingan laki-laki. Sistem kekuasaan semacam ini bertujuan untuk menundukkan otonomi perempuan.

Ideologi patriarki mendukung keyakinan bahwa laki-laki secara inheren lebih unggul daripada perempuan dan membenarkan (melegitimasi) penggunaan kekerasan sebagai sarana untuk mempertahankan kendali. Ideologi ini tertanam dalam norma dan nilai masyarakat yang mendefinisikan relasi gender yang tidak adil dan sering kali menggambarkan agresi terhadap perempuan sebagai ekspresi “alami” maskulinitas.

Berdasarkan catatan sejarah dan penelitian, jelas bahwa struktur patriarki berkontribusi signifikan terhadap berbagai bentuk kekerasan, khususnya terhadap perempuan. Masyarakat patriarki sering kali menganggap kekerasan seksual sebagai metode untuk mengendalikan tubuh perempuan.

Militerisme Jepang: Mesin Penindas Perempuan

Kisah di buku ini berlatarbelakang kekerasan seksual sistemik terhadap perempuan yang terjadi pada Perang Asia Timur Raya (1933 – 1945). Pelaku utamanya adalah militer Jepang yang pada periode itu menduduki sejumlah negeri di Asia. Terjadinya fenomena itu bermula dari militer jepang yang terjangkit penyakit kelamin saat negeri itu melakukan invansi ke Cina. Saat mengokupasi Cina, tentara Jepang memperlalukan rakyat setempat dengan kejam. Mereka membunuh dan memperkosa sebagian besar kaum perempuan Cina tanpa memandang usia. Akibatnya, penyakit kelamin menjangkiti militer Jepang.

Dengan latar semacam itu, militer Jepang akhirnya memutuskan untuk mendirikan rumah-rumah bordil untuk melayani hasrat seksual mereka. Pihak militer Jepang beralasan bahwa kebijakan itu dilakukan untuk mencegah praktik perkosaan terhadap perempuan. Pendirian rumah bordil, menurut pandangan mereka, juga dimaksudkan agar penyakit kelamin dapat diminimalisir dan dampaknya tidak eksesif (meluas).

Penting untuk dicatat bahwa kebijakan resmi pendirian rumah bordil tersebut merupakan gagasan yang sangat bermasalah secara etis. Dalam rencana tersebut sama sekali tidak memuat aspek hak-hak dan perlindungan hukum bagi kaum perempuan yang bekerja di sana.

Lebih dari itu, proses rekrutmen perempuan yang akan dipekerjaan di rumah bordil tersebut umumnya dilakukan dengan cara menipu. Mereka diiming-imingi bekerja atau disekolahkan untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan, untuk sebagian kasus, proses rekrutmen tersebut dilakukan dengan cara meculik dan membawa bawa paksa mereka ke rumah-rumah bordil yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Dilihat proses rekrutmennya terlihat dengan jelas bahwa penipuan itu disebabkan tak satupun perempuan yang ingin dipekerjakan di rumah bordil sebagai pemuas hasrat seksual.

Perbudakan Seksual

Para perempuan penghuni rumah bordil dilucuti hak-haknya dan direndahkan martabatnya sebagai ‘toilet umum’. Meskipun kesaksian setiap korban unik, mereka semua memiliki kesamaan: mereka mengalami kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang brutal. Mereka berulang kali dipukuli dan dipaksa melakukan layanan seksual dengan 10 pria pada hari-hari biasa dan hingga 40 pria pada hari-hari setelah pertempuran.

Makanan, air, perumahan yang layak, toilet, dan fasilitas mencuci yang cukup tidak disediakan bagi para mereka, dan tingkat perawatan medis dibatasi untuk mengobati penyakit menular seksual, sterilisasi, dan aborsi paksa. Penyiksaan digunakan terhadap perempuan yang mencoba melarikan diri atau menolak untuk mematuhi kemauan militer. Selain itu, ancaman juga ditujukan kepada keluarga gadis-gadis yang mencoba bunuh diri.

Praktik semacam itu dalam bahasa Jepang populer dengan sebutan _ianfu_. Istilah ini merupakan eufemisme yang secara harfiah berarti “wanita yang menghibur”. Apa yang sesungguhnya terjadi selama Perang Dunia II di Asia adalah bahwa militer Jepang telah memaksa ratusan ribu perempuan di Asia menjadi budak seks.

Diperkirakan sekitar 200 ribu hingga 400 ribu perempuan telah diperkerjakan sebagai budak seks oleh tentara Jepang di berbagai negeri yang diduduki mereka. Sebagian dari para budak seks ini juga berasal dari negara di luar Asia yang kebetulan tidak sempat mengungsi ke luar negeri saat militer Jepang melancarkan invasi. Mereka antara lain berasal dari Australia, Burma, Tiongkok, Belanda, Filipina, Jepang, Korea, Indonesia, Timor Timur, Nugini, dan beberapa negara lain.

Di era pasca Perang Dunia II pemerintah Jepang menyangkal keberadaan rumah-rumah bordil tersebut serta menolak meminta maaf dan membayar ganti rugi. Penyangkalan ini dilatarbelakangi oleh motif para penguasa Jepang pasca PD II untuk mempertahankan “reputasi” Jepang di mata publik internasional.

Belakangan, setelah berbagai catatan dokumen dan hasil riset tentang perilaku brutal militer Jepang terhadap perempuan semasa PD II semakin terkuak, pemerintah Jepang mulai menyatakan permintaan maaf dan upaya untuk memberikan kompensasi pada tahun 1990-an. Namun, permintaan maaf dari pejabat Jepang dikritik sebagai tidak tulus, dan beberapa pejabat di pemerintah Jepang masih terus menyangkal keberadaan _ianfu_.

Kisah Mardiyem Menuntut Hak

Di Indonesia sendiri, sejarah mengenai ianfu masih sangat samar terdengar. Hal ini antara lain karena minimnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap para penyintas ianfu. Seperti tenggelam dalam waktu, para penyintas yang masih hidup hingga saat ini tetap terus memperjuangkan hak-haknya dan menuntut pemerintah Jepang untuk bertanggung jawab atas kejahatan masa lalunya. Sementara, sebagian besar dari mereka sudah lebih dulu berpulang, mengingat usia mereka yang sudah lebih dari 90 tahun.

Mardiyem (1929 – 2016), tokoh utama dalam buku ini, merupakan representasi dari penyintas ianfu. Narasi yang tercakup di dalamnya menyebutkan bahwa Mardiyem yang kerap dipanggil Momoye—nama Jepang yang ia peroleh—ditipu oleh seorang agen dari bangsanya sendiri dengan janji untuk bekerja di grup sandiwara. Namun, perjalanan hidupnya akhirnya mengantarkan ia dan teman-temannya menjadi bagian dari sistem perbudakan seksual. Sama seperti rekan-rekannya di Asia, Mardiyem juga kerap menjadi korban kekerasan seksual.

Selama empat dekade, praktik keji ianfu tetap terselubung rapat. Keburukan ini baru mulai terungkap pada tahun 1991, ketika Kim Hak Soon, seorang penyintas asal Korea Selatan, dengan berani mengungkapkan kekejaman tersebut. Pengakuannya menjadi titik awal perjuangan para korban. Setelah itu, muncul keberanian dari korban lainnya, seperti Rosa Hanson dari Filipina pada tahun 1992, Tumiah dari Indonesia pada tahun 1992, dan Mardiyem yang mulai menyuarakan pengalamannya pada tahun 1993.

Suara para penyintas akhirnya bergema di Asia. Satu demi satu memori kekerasan seksual yang dialami oleh para penyintas terungkap ke publik. Oleh karena itu, berbagai kalangan mulai melakukan penyelidikan tentang kejahatan seksual yang dilakukan oleh milter Jepang beberapa dasawarsa yang lalu saat negeri itu menduduki Asia semasa Perang Dunia II.

Seperti halnya Mardiyem, pada era itu perempuan-perempuan yang disekap di berbagai rumah bordil diperlakukan secara keji. Penyiksaan fisik dan mental berupa pukulan tendangan terhadap para perempuan penghuni tangsi militer  yang enggan melayani hasrat seksual tentara Jepang. Hak dan martabat mereka sebagai perempuan telah dirampas secara paksa dan semena-mena.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mardiyem di buku ini bahwa ia dipaksa melakukan aborsi akibat kehamilan di rumah bordil. Mardiyem sendiri dipaksa melayani 5 – 10 serdadu Jepang setiap hari. Saat itu Mardiyem dan beberapa perempuan muda lainnya ditempatkan di sebuah rumah bordil di daerah Telawang, salah satu bagian dari Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Selepas Perang Dunia II Mardiyem menemukan dirinya sebagai perempuan hampa dan tanpa harapan. Cita-citanya sebagai perempuan yang berharap kelak akan menjadi seorang penyanyi telah dirusak secara brutal oleh keganasan ideologi militerisme Jepang. Namun demikian, semangat Mardiyem untuk memperjuangkan hak-haknya dan menuntut kompensasi kepada pemerintah Jepang pasca PD II terus dilakukannya.

Untuk berbagi kisahnya Mardiyem melakukan beberapa kunjungan ke Jepang. Upayanya untuk mencari keadilan akhirnya membawanya bertemu dengan dengan sejumlah penyintas yang berasal dari berbagai negara di Asia di Tokyo dalam International Forum on War Compensation for The Asia Pacific Region, di Tokyo yang berlangsung pada tahun 1995 melalui undangan LBH Yogyakarta. Untuk pertama kalinya, sejak setengah abad menghirup udara bebas menyusul kekalahan Jepang di tahun 1945, ia dapat bertemu langsung dengan sesama penyintas dan berbagi pengalaman getir

Dalam rangkaian kunjungannya, ia berbicara tentang pengalamannya di berbagai kampus Jepang. Menarik dan sekaligus mengharukan bahwa banyak mahasiswa yang ia temui merupakan anak atau cucu dari tentara Jepang di era Perang Dunia II yang terlibat dalam sistem perbudakan seksual. Ekspresi penyesalan dan permintaan maaf muncul dari para mahasiswa atas tindakan ayah atau kakek mereka atas tindakan militer Jepang di masa lalu.

Lebih dari itu, Mardiyem juga menerima pengakuan dan simpati dari sebagian masyarakat Jepang, terutama dari kalangan generasi muda pasca perang. Namun, perjalanan Mardiyem dan para penyintas perbudakan seksual untuk memperjuangkan keadilan dalam bentuk kompensai tidak berlangsung mulus.

Meski beberapa pejabat tinggi Jepang telah meminta maaf atas tindak kejahatan seksual yang dilakukan pihak militer, namun permintaan itu hanya dinyatakan secara pribadi. Ini berarti bahwa pemerintah Jepang sengaja menghindar dari kewajiban/tanggung jawab internasionalnya untuk membayar ganti rugi atas penderitaan fisik dan mental para penyintas.

Pemerintah Jepang menyuap lembaga swasta bernama Asian Women’s Fund (AWF) yang bertujuan untuk memberikan ganti rugi uang tunai kepada Ianfu yang menuai kontroversi karena sumber dananya bukan dari pemerintah Jepang melainkan dari pengusaha dan masyarakat Jepang yang sama sekali tidak mengetahui masalah ianfu. Pembentukan AWF dinilai berdasarkan tindakan pemerintah Jepang yang keluar dari tanggung jawab perang dan membuat para eks jugun ianfu menolak pembayaran ganti rugi dari kelompok AWF.

Di Indonesia, pemerintah yang menerima dana AWF ternyata tidak secara langsung memberikan kepada para penyintas. Dana tersebut oleh Kementerian Sosial RI digunakan untuk membangun panti-panti sosial. Oleh karenanya, muncul penentangan dari  para mantan ianfu. Pemerintah Indonesia dinilai tidak  secara tuntas menyelesaikan permasalahan ini dan cenderung bersikap pasif.

Sebagaimana digambarkan dalam buku ini, Mardiyem bersama sekitar 400 ribu penyintas kini berangsur dimakan usia. Tidak mengherankan jika semakin sulit menemukan sosok mereka saat ini. Kalaupun para penyintas masih hidup rata-rata usianya di atas 90 tahun. Sisa-sisa para penyintas hingga hari ini masih menanti pertanggungjawaban pemerintah Jepang. Wajah militerisme Jepang di era Perang Dunia II yang berakar pada budaya patriarki itu telah menyisakan tragedi kemanusiaan yang mengakibatkan ratusan ribu perempuan di Asia menjadi korban perbudakan seksual. ***

[] Rahadi T. Wiratama, Redaktur Prisma dan Senior Research Fellow LP3ES
[] Alfisyahriin Chusnaini, Publishing Staff LP3ES

Data Buku

[] Judul: Momoye, Mereka Memanggilku
[] Penulis: Eka Hindra dan Koichi Kimura
[] Pengantar: Kim Young So
[] Penerbit: Dramaturgi
[] Kota Penerbit: Pemalang, Jawa Tengah
[] Cetakan ke 2
[] Tahun: 2023
[] Tebal: 311 halaman
[] ISBN: 978-623-968311-4-6