Ilustrasi AI | WAW
Ilustrasi AI | WAW

Hutan, Humor, dan Huru-Hara Birokrasi

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Di tengah riuhnya panggung politik dan kebijakan lingkungan, bayangkanlah sebuah adegan absurd di mana para kader PSI tiba-tiba berubah peran menjadi pemeran utama dalam drama kehutanan Indonesia. Tepat di saat kita dituntut untuk menyelamatkan bumi dari emisi karbon, ternyata yang disajikan justru sandiwara birokrasi yang penuh warna dan gelak tawa. Seolah alam pun ikut terkikik, “Tanpa musik, hidup akan menjadi kesalahan,” kata Nietzsche, dan hari ini, lagu sarkasme pun menggema di setiap sudut Kementerian Kehutanan.
Fenomena ini bermula dari keputusan yang mengundang tawa getir: penunjukan 11 kader PSI sebagai bagian dari struktur Tim FOLU Net Sink 2030. Di balik gaji puluhan juta dan jabatan yang tampak menggiurkan, terselip pertanyaan yang tak terjawab—apakah langkah ini merupakan inovasi reformasi birokrasi atau sekadar politik identitas di tengah gembar-gembor efisiensi? Dalam semangat efisiensi yang diusung oleh Presiden Prabowo, yang dikenal sebagai “Presiden Efisiensi” karena sikapnya yang tegas dalam memotong pemborosan, muncul ironi yang amat menggelitik. Bukankah seharusnya setiap kebijakan publik ditimbang dengan prinsip cost-benefit, bukan sekadar memenuhi peta kekuasaan partai?
Tak heran jika kritikus sekaliber Rocky Gerung menggelitik situasi ini dengan komentar khasnya. Menurutnya, “Politik identitas seringkali mengaburkan realitas kebijakan; penunjukan kader tanpa mempertimbangkan meritokrasi hanyalah sebuah sandiwara untuk menenangkan massa yang haus akan simbol-simbol perubahan.” Gerung, dengan gaya lugasnya yang selalu memotret ironi zaman ini, menyiratkan bahwa transformasi lingkungan tidak seharusnya dijadikan panggung pertunjukan politik. Bukankah seharusnya reformasi birokrasi membawa angin segar bagi negeri ini, bukan hanya sekadar perombakan wajah namun tetap mempertahankan substansi?
Ilustrasi AI WAW
Ilustrasi AI WAW
Dalam kerangka teori-teori akademik yang pernah kita pelajari—seperti analisis birokrasi Weberian yang menekankan pentingnya rasionalitas dan meritokrasi—penunjukan kader yang diduga didasarkan pada afiliasi politik seolah menjadi antidot bagi semangat efisiensi modern. Ironisnya, dalam upaya memaksimalkan potensi perubahan iklim, kita malah dihadapkan pada pertunjukan sandiwara yang mengingatkan kita pada lukisan surealis, di mana setiap goresan mengandung sindiran halus namun tajam.
Bahkan, dalam narasi ini terselip pelajaran mendalam dari para seniman dan filsuf. Raden Saleh pernah mengatakan bahwa “Lukisan alam yang indah tidak bisa disamakan dengan kanvas kebijakan yang diwarnai kepentingan politik.” Apakah kita sudah tersesat dalam kanvas yang berwarna-warni namun kehilangan esensi? Ataukah justru inilah cara baru untuk menyeimbangkan antara idealisme dan realita—dengan tertawa sekaligus menangis menyaksikan bagaimana kepentingan pribadi dan politik saling berpelukan di balik layar kehutanan?
Akhirnya, ketika dunia menuntut tindakan konkret demi mencapai target net sink karbon, kita malah disuguhi drama birokrasi yang menggelitik dan mengundang canda tawa pahit. Di balik tawa dan kritik satir ini, terselip sebuah panggilan agar kita kembali mengingat nilai-nilai dasar: integritas, keahlian, dan dedikasi yang sebenarnya dalam melayani negeri. Hanya dengan demikian, ideologi efisiensi yang diusung oleh Presiden Prabowo dapat benar-benar menyatu dengan semangat perubahan yang sesungguhnya.
Dalam pesta sandiwara politik ini, mari kita ingat pepatah bijak sang filsuf: “Kebijaksanaan sejati datang dari kemampuan melihat lelucon dalam setiap tragedi.” Mungkin, dalam tawa dan satire inilah kita menemukan kunci untuk membuka lembaran baru yang lebih berani dan nyata bagi Indonesia. Tabik.[]