Oplosan yang Bukan Oplosan
CATATAN Aendra MEDITA *)
JUJUR saja tulisan ini muncul terkait karena Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa BBM yang beredar saat ini tidak terkait dengan kasus tersebut. Apa yang terjadi kok seperti dibantah dan seakan di gulirkan bahwa jelas banyak kasusnya.
Di negeri ini begitu kaya akan drama dan kata-kata atau narasi manis, ada sebuah kisah tentang cairan emas hitam yang katanya murni. Namun, di suatu pagi yang penuh wangi bensin, terdengar kabar bahwa emas itu telah bercampur. Bukan dengan kilau yang lebih baik, tetapi dengan sesuatu yang samar—sebuah racikan yang tak seharusnya ada.
Orang-orang bertanya, “Apakah ini oplosan?”
Jawaban datang dengan senyum kecut, “Bukan, ini hanya perbedaan formulasi.”
Lalu seseorang yang paham berkata, “Jika dicampur dengan yang tak seharusnya, bukankah itu oplosan?” Hehehehe
Namun, suara-suara lain bergegas menyela, “Jangan cepat menyimpulkan. Ini masih dalam kajian mendalam.”
Kajian yang dalam itu tampaknya seperti sumur tanpa dasar. Mengalir bersama waktu, melebur dalam obrolan sudut-sudut kota, sambil rakyat kecil menghitung recehan yang tersisa untuk membeli setetes bahan bakar yang katanya tetap pretamax tak pernah antri.
Di balik meja panjang dan pendingin ruangan, mereka yang berwenang membolak-balik data. Layar-layar besar menampilkan angka dan grafik yang menyilaukan. Di sana, kebenaran tak selalu berwujud angka pasti—kadang ia hanya sekadar narasi yang bisa ditekuk dan diluruskan sesuai kebutuhan.
Sementara itu, di jalanan, mesin-mesin batuk. Kendaraan yang setia mengantar rakyat mencari nafkah mulai kehilangan tenaga. Bahkan mogok. Ada sesuatu yang ganjil, tapi siapa yang berani bersuara jika yang punya kuasa sudah berkata, “Ini bukan oplosan”?
Lalu negeri ini terus melaju, seperti kendaraan yang dicekoki bensin berkualitas abu-abu. Entah akan sampai ke tujuan, atau mogok di tengah jalan sejarah.
Ini bukan semiotika tentang bagaimana sebuah kebohongan bisa diubah menjadi kebenaran versi mereka yang berkuasa. Kritiknya tersirat dalam absurditas narasi yang mencoba menutup-nutupi sesuatu yang nyata. Kebenaran yang dicampur tak lagi murni.
Ketika sesuatu yang jelas-jelas oplosan dipoles dengan narasi agar tampak sah, yang terjadi bukan sekadar kebohongan, tapi pembiasaan manipulasi. Jika publik dibiarkan menerima “bukan oplosan” sebagai kebenaran baru, maka kepercayaan terhadap sistem akan terkikis sedikit demi sedikit.
Kasus ini bukan hanya soal bensin yang tercampur, tetapi juga simbol dari bagaimana kebenaran bisa dikaburkan atas nama kepentingan tertentu. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi pola yang terus berulang dalam banyak aspek—dari kebijakan, hukum, hingga keadilan sosial.
Pertanyaannya kini, apakah kita akan terus percaya pada narasi yang sudah dicampur-campur? Ataukah kita masih punya keberanian untuk bertanya dan menuntut kejujuran? Sebab kebenaran yang sudah dioplos, tak lagi bisa disebut kebenaran. Tabik..!!!
*)manusia biasa