Antara Mistik dan Revolusi: Ujung dari Ketidakadilan dan Keputusasaan Sosial
By Gde Siriana
Direktur Executive INFUS
Akhir-akhir ini menguat fenomena masyarakat mencari perlindungan dalam hal-hal mistis dan supranatural sebagai respons terhadap rasa putus asa, ketidakpastian, atau tekanan sosial-ekonomi.
Fenomena ini bisa disebut sebagai “reaksi eskapisme religius” atau “fenomena kompensasi spiritual”. Dalam sosiologi dan antropologi, fenomena ini bisa dikaitkan dengan konsep “magical thinking” (pola pikir magis), di mana individu mempercayai bahwa kekuatan supranatural dapat mempengaruhi kehidupan mereka.
Emile Durkheim juga menjelaskan bahwa ketika masyarakat mengalami tekanan atau dislokasi sosial, mereka cenderung meningkatkan ketergantungan pada aspek-aspek kepercayaan dan ritual.
Selain itu, dalam konteks psikologi sosial, fenomena ini bisa dilihat sebagai bentuk coping mechanism (mekanisme bertahan) terhadap situasi yang dianggap tidak bisa dikendalikan dengan cara rasional. Ketika rasionalitas dan ilmu pengetahuan tidak mampu memberikan solusi yang diharapkan, masyarakat beralih ke praktik yang dianggap bisa memberikan harapan, meskipun tidak berbasis logika.
Fenomena ini sering muncul dalam situasi krisis, misalnya saat terjadi kemiskinan ekstrem, bencana alam, atau instabilitas politik, yaitu ada ketidak adilan, pemimpin korup, dan ketidakpercayaan pada sistem yang mengatur kehidupan masyarakat dan negara, di mana masyarakat merasa tidak memiliki kontrol atas hidup mereka.
Fenomena ini bisa berakhir dengan:
– Stagnasi, semakin bergantung pada supranatural daripada solusi rasional, bahkan bisa berkembang menjadi kultus atau gerakan spiritual baru.
– Eksploitasi terhadap kepercayaan masyarakat, seperti munculnya dukun palsu, tokoh spiritual manipulatif, atau pemimpin sekte yang mencari keuntungan dari ketidakberdayaan orang lain
– Konflik sosial, terjadi benturan antara kelompok yang percaya pada supranatural dan kelompok yang berbasis pada pemikiran ilmiah. Ini bisa menciptakan ketegangan sosial yang berkepanjangan.
– Pemberontakan sosial. Ini bisa berbentuk gerakan protes, revolusi, atau bahkan tindakan radikal yang mencoba menggulingkan sistem yang dianggap gagal.
– Divided society dan fatalisme. Jika situasi dibiarkan tanpa solusi konkret, masyarakat bisa terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil dengan keyakinan dan solusi mereka sendiri, termasuk yang berbasis pada kepercayaan mistis atau supranatural. Mereka mungkin tidak lagi percaya bahwa perubahan bisa datang dari sistem, sehingga hanya pasrah (fatalisme) dan mengandalkan hal-hal yang bersifat irasional.
– Munculnya pemimpin karismatik atau tokoh “Penyelamat”. Dalam kondisi krisis dan ketidakpercayaan, masyarakat sering mencari figur alternatif yang dianggap bisa menyelamatkan mereka. Ini bisa berupa tokoh agama, pemimpin spiritual, atau pemimpin populis yang menawarkan solusi berbasis mistik atau ideologi tertentu. Kadang, fenomena ini bisa membawa harapan, tapi sering kali dimanfaatkan oleh tokoh yang hanya ingin berkuasa.
– Negara bisa jatuh ke dalam anarki atau menjadi negara gagal. Ini berarti hukum tidak lagi dihormati, masyarakat hidup dalam kekacauan, dan kelompok-kelompok kecil mulai membentuk sistem mereka sendiri.
– Reformasi dan perubahan sistem. Jika ada tekanan besar dari masyarakat, terutama dari kelompok yang masih rasional dan menginginkan perubahan, maka sistem bisa terdorong untuk berbenah. Ini bisa terjadi melalui reformasi politik, perubahan kepemimpinan, atau perombakan sistemik yang lebih transparan dan adil. Tapi, ini hanya bisa terjadi jika ada kesadaran kolektif dan dorongan kuat untuk kembali ke solusi berbasis rasionalitas dan keadilan.
Tangsel, 10 Maret 2025