Ketika Komunikasi Krisis, Reputasi Tokoh pun Terkikis
CATATAN dari Cilandak Aendra MEDITA*)
DULU, ia rajin tampil di media, bicara lantang, membangun citra dengan penuh percaya diri. Bahkan siapkan kostum 5 kali ganti dalam sehari, katanya. Setiap kesempatan menjadi panggung untuk menunjukkan kepemimpinan, ketegasan, bahkan kedekatan dengan publik seakan bagian yang penting dan harus.
Tapi kini, saat angin berembus tak sedap lagi menguntungkan, tiba-tiba diam, mingkem, balem. Pernyataan resmi yang dikeluarkan terasa kaku, defensif, dan jauh dari karakter komunikatif yang dulu dibangun, hanya selembar kertas dengan diksi yang berapi-api.
Fenomena seperti ini bukan pertama kali terjadi. Banyak tokoh publik yang begitu vokal saat segalanya berjalan sesuai skenario, namun menjadi pendiam dan paling senyap saat menghadapi situasi sulit.
Padahal, di sinilah ujian sejati seorang pemimpin—bukan hanya berani berbicara di saat nyaman, tapi juga saat situasi menuntut keberanian untuk transparan. Kenapa begitu?
Krisis Komunikasi dan Dampaknya
Dalam dunia politik dan pemerintahan, komunikasi adalah segalanya. Konsistensi dalam berbicara menunjukkan karakter, sementara perubahan sikap yang drastis bisa menjadi boomerang. Ketika seorang tokoh yang biasa mencari media tiba-tiba menutup diri, publik pasti bertanya: ada apa?
Kami diskusi ini di PKKPI setiap waktu ada kasus atau peristiwa bangsa ini. Maklum di PKKPI ada jurnalis aktif, ada dosen yang kini makin paham dunia komunikasi yang saat ini terjadi, ada juga pengamat dan analis yang selalu memprediksi apapun kejadiannya. Di era keterbukaan informasi, menghindar dari komunikasi sama saja dengan memberi ruang bagi sebuah spekulasi. Alih-alih menjernihkan situasi, sikap ini justru membuat opini liar dan multi tafsir kaan berkembang. Ketika publik mulai bertanya-tanya, “Kenapa tidak bicara?” maka kepercayaan yang selama ini dibangun bisa perlahan runtuh. Bahkan jelas kecewa.
Dulu Lantang Bicara, Sekarang?
Seorang pemimpin sejati bukan hanya berani tampil ketika situasi nyaman, tapi juga ketika menghadapi pertanyaan sulit. Jika dulu bisa berbicara panjang lebar ingin ini itu, baik di medsos maupun undang media dan biacraa soal pencapaian, kenapa kini tak berani menjelaskan situasi yang berkembang saat ini?
Keberanian dalam komunikasi bukan sekadar soal berbicara, tapi soal mempertahankan kepercayaan. Saat seorang tokoh lebih memilih menghindar, publik akan melihatnya sebagai tanda kelemahan, bukan kehati-hatian.
Pemimpin yang Konsisten atau yang Menghindar?
Krisis komunikasi seperti ini sering kali menjadi titik balik bagi reputasi seorang tokoh. Apakah ia akan bangkit dengan komunikasi yang lebih terbuka dan bertanggung jawab, atau justru semakin menghilang dari sorotan?
Publik mungkin bisa lupa pada kesalahan, tapi mereka tak akan lupa pada ketidakkonsistenan. Dan dalam politik, kehilangan kepercayaan publik adalah awal dari hilangnya pengaruh.
Pertanyaannya, apakah tokoh ini masih memiliki keberanian untuk berbicara, atau justru memilih diam sampai semuanya terlambat? Sedang salah satu mantan ketua partai pernah di bui dan kini masih aktif bicara meski di X paling rajin menyikapi sejumlah hal dan konteks kekinian bangsa. Dan dia kini punya partai juga aktif terus bicara dan berani, cerdas. Siapa dua tokoh ini kita tahu sama-samalah…Tak usah saya jelaskan. Tabik…!
*) penulis adalah analis di PKKPI ( Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia) Konsutan PR dan pengamat sosial dan budaya di FSBI.
Cilandak, Jakarta Selatan, 12 Maret 2025