Kadang Heroic Messaging yang mereka mencitrakan diri sebagai penyelamat rakyat. Juga mereka menampilkan diri sebagai “orang biasa” yang berjuang untuk menghadapi kekuatan besar yang korup. Ada juga manuver narasi di media sosial kuat. Mampu memanfaatkan media sosial untuk membentuk tren dan membangun reputasi positif dan  menciptakan kampanye yang tampak organik, tetapi sebenarnya dirancang secara profesional.
Simbolisme dan Gaya Populis
Mengenakan pakaian sederhana, berjalan kaki ke kantor, atau naik kendaraan umum, atau naik sepeda dan  makan di warung rakyat—semua ini adalah bagian dari strategi komunikasi untuk membangun seolah kedekatan  dengan rakyat yang kuat. Disini akhirnya dunia melihatnya.
Apa ini disebut sebagai Pemimpin cerdas atau oportunis?
Di berbagai belahan dunia, fenomena politikus momentum menjadi perdebatan. Ada yang memuji mereka sebagai pemimpin yang adaptif dan responsif, tetapi banyak pula yang mengkritik mereka sebagai politisi oportunis yang hanya mengejar popularitas.
Beberapa contoh politikus momentum yang mendapat perhatian dunia: Donald Trump – muncul dengan narasi anti-elit, tetapi tanpa kebijakan yang benar-benar membangun. Ada Boris Johnson – Menjadi ikon Brexit dengan retorika kuat, tetapi banyak kebijakannya yang tidak solid. dan ada beberapa politisi di Indonesia – Sering muncul di media saat ada isu panas, tetapi menghilang setelah pemilu berakhir.
Kritik terbesar terhadap politikus momentum adalah bahwa mereka lebih peduli pada panggung dan citra daripada kerja nyata. Mereka bisa menciptakan gelombang besar, tetapi sering kali tidak meninggalkan dampak yang berarti setelah badai berlalu.
Pandangan Pakar komunikasi politik melihat ini pandangan kritis terhadap fenomena politikus momentum yang menurut Noam Chomsky ada banyak politisi menggunakan strategi manipulasi media untuk menggiring opini publik tanpa benar-benar membawa perubahan. Bisa jadi itu benar dan lenih kenyataan. Sedang Pippa Norris ahli Teori Populisme Digital Melihat bahwa media sosial memungkinkan politikus momentum meloncat ke puncak kekuasaan tanpa perlu melewati proses politik yang panjang. 
Di era digital, politik bukan lagi soal kinerja, tetapi soal bagaimana seseorang dikemas dan dijual ke publik.
Pertanyaan lanjutnya akankah mereka bertahan?
Politikus momentum bisa bertahan selama mereka terus menemukan gelombang yang tepat untuk ditunggangi. Namun, sejarah membuktikan bahwa politisi yang hanya mengandalkan momentum sering kali cepat redup. Karena dalam politik umumnya yang bertahan adalah mereka yang membangun legacy, bukan sekadar sensasi.
Rakyat kini semakin cerdas dalam menilai pemimpin. Dan melihat mereka benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, atau hanya datang saat kamera menyala dan menghilang ketika panggung sepi?
Maka, pertanyaan yang harus kita ajukan bukan hanya “Siapa yang sedang populer?”, tetapi “Siapa yang benar-benar bekerja untuk rakyat kita saat ini?” Atau hanya sebagai pemimpin yang jadi penunggang gelombang?
Tabik…!!!
*) analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) 
Catatan dari Cilandak Jakarta Selatan, 13 Maret 2025