Ilustrasi AI | WAW
Ilustrasi AI | WAW

Tragedi Sekuriti Kantor Pajak: Gerbang Pertama Citra Perusahaan, Gerbang Terakhir Akal Sehat

Oleh Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
“If you are going through hell, keep going,” saran Winston Churchill. Kecuali, tentu saja, jika kita harus melewati gerbang sekuriti (satpam) yang salah.
Satpam adalah wajah pertama sebuah institusi. Mereka adalah sosok yang menyambut tamu dengan senyum atau justru dengan beragam pertanyaan yang membuat tamu kebingungan. “Saya berkunjung ke sebuah kantor, atau masuk ke sebuah ring tinju debat warung kopi?”
Lihatlah opini public mengenai sosok satpam BCA, yang kini diibaratkan nyaris memiliki pelatihan pelayanan yang lebih baik dari pramugari Emirates. Tegas tapi ramah. Gesit tapi santun. Bahkan jika mereka sedikit lebih karismatik, bisa-bisa CEO bank pun kalah populer.
Sebaliknya, kini tengah viral tentang satpam kantor pajak yang baru-baru ini melontarkan candaan yang membakar warga sosmed. Bukan karena profesionalisme, tapi karena selorohnya yang sukses menyalakan api hujatan — bukan menyemaikan kesadaran pulik untuk patuh pajak, melainkan justru untuk menuliskan keluhan, cemoohan dan hujatan negatif di media sosial.
Cortex dan Candaan yang Salah Tangkap
Padahal kasusnya sangat simpel. Seorang wajib pajak mengeluhkan aplikasi Coretax yang katanya dibangun oleh dirjen pajak dengan biaya yang mahal tapi hasilnya kurang maksimal bahkan merepotkan. Dus, sebagai warga negara yang bayar pajak (dan merasa ikut membiayai pembuatan aplikasi tersebut), keluhan ini wajar. Sialnya, sang satpam —-mungkin terinspirasi oleh gaya stand-up comedy—- menanggapinya dengan bercanda.
“Memang uang kamu yang dipakai buat bikin Coretax?”
Ketika si wajib pajak menjawab, “Kan itu uang rakyat,” sang satpam malah membalas, “Memang kamu bayar pajak?”
Lalu… BOOM. Kekesalan ini diunggah di sebuah platform social media dan segera Viral. Sontak reputasi kantor pajak yang boleh jadi memang sudah dianggap tidak bagus semakin ambyar. Mungkin juga kasus ini akan membuat Departemen Humas Pajak kalang kabut.
Di era digital, kecepatan jari lebih cepat dari klarifikasi. Sebelum instansi bisa berkata “Itu hanya miskomunikasi,” opini publik sudah lebih tajam dari pisau Guillotine. Dalam satu hari saja, keluhan soal candaan satpam perihal Coretax ini bergerak menjadi ancaman krisis bagi reputasi institusi pajak.
Satpam, Satire, dan Saringan Mulut
Sejarah telah membuktikan bahwa satpam yang baik bisa menjadi aset perusahaan. Satpam yang buruk? Bisa lebih merusak reputasi daripada laporan keuangan yang bocor.
Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Hell is other people.” Bagi beberapa wajib pajak, hell adalah candaan satpam yang salah waktu. Plato mengajarkan pentingnya phronesis—kebijaksanaan praktis. Dalam kasus ini, mungkin yang lebih penting adalah phronesis dalam bercanda.
Ada tiga pelajaran penting di sini: Pertama, satpam bukan komika. Jadi jika ingin bercanda, pastikan ada yang tertawa selain diri sendiri. Kedua, satpam adalah duta citra perusahaan. Satu kalimat blunder bisa merusak branding yang telah dibangun bertahun-tahun. Apalagi di era media social ini, semua orang bisa menjadi jurnalis. Kalimat satpam bukan lagi sekadar obrolan di pos, tapi headline potensial yang bisa mematikan reputasi.
Bukan Sekadar Penjaga Pintu, Tapi Penjaga Reputasi
Jika satpam bank bisa membuat nasabah nyaman, satpam kantor pajak seharusnya bisa membuat wajib pajak merasa dihargai—bukan diuji kesabarannya. Jadi, sudah semestinya institusi pajak menjadikan satpam sebagai wajah ramah perusahaan, bukan sekadar “gerbang terakhir akal sehat.” Lagipula, dalam urusan pajak, rakyat sudah cukup pusing dengan angka. Jangan tambah beban dengan humor yang tak lucu. Atau seperti kata Albert Einstein, “Two things are infinite: the universe and human stupidity; and I’m not sure about the universe.” Tabik []