IST
IST

Bahas RUU TNI di Hotel Mewah, Akal Sehat Terancam Punah?

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Plato pernah berkata, “Orang baik tidak perlu aturan untuk bertindak secara bertanggung jawab, sedangkan orang jahat akan selalu menemukan celah dalam aturan.” Mungkin filsuf Yunani itu tak pernah membayangkan bahwa ribuan tahun setelahnya, sebuah rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) di negeri jauh yang katanya demokratis justru lebih mirip simposium para dewa—diadakan di hotel bintang lima pada akhir pekan, saat high season, dalam sebuah gelaran yang lebih menyerupai kongres elite dibandingkan forum rakyat.
“Hemat pangkal kaya,” kata orang tua kita. Tapi mungkin, dalam dunia politik, pepatah itu mengalami mutasi menjadi “boros pangkal nyaman.” Sebab, alih-alih diadakan di Gedung DPR—yang jelas-jelas sudah dibangun dengan uang rakyat—para pengampu kebijakan memilih lokasi yang lebih empuk, lebih sejuk, dan tentunya lebih jauh dari aroma nasi bungkus kantin parlemen. Jaraknya memang tak seberapa dari Senayan, tetapi esensinya jauh ke dalam relung logika yang semakin menipis.
Seorang filsuf lain, George Orwell, pernah menulis dalam Animal Farm bahwa “semua binatang diciptakan setara, tetapi beberapa lebih setara dari yang lain.” Dalam konteks ini, mungkin rakyat berhak tahu: apa yang membuat pembahasan RUU TNI ini begitu spesial hingga harus dibahas dalam kemewahan? Apakah karena topiknya begitu berat, sehingga perlu kasur empuk dan minibar untuk menenangkan pikiran? Atau karena memang harus dilakukan dalam suasana yang cukup jauh dari kebisingan, termasuk bisingnya pertanyaan-pertanyaan kritis dari rakyat?
Di dunia yang katanya transparan, pertemuan ini justru dilakukan secara tertutup. “Keterbukaan adalah awal dari kepercayaan,” kata politikus Amerika, George Shultz. Tapi rupanya, di sini, kepercayaan justru diuji dengan cara yang aneh: semakin tertutup, semakin kita diminta untuk percaya. Padahal, jika rapat ini memang untuk kepentingan rakyat, mengapa takut ditonton rakyat? Apakah rakyat dianggap tidak cukup dewasa untuk mengerti atau justru terlalu cerdas untuk dikelabui?
Kita juga belum lupa bagaimana kritik terhadap RUU ini langsung dijawab dengan ejekan. “Orang yang mencurigai RUU TNI itu otaknya kampungan,” kata seorang pejabat tinggi. Luar biasa! Tidak ada argumen, hanya ada penghinaan. Aristoteles pernah berkata, “Tanda pertama dari kebijaksanaan adalah mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya.” Namun, di negeri ini, tanda pertama dari kebijakan sering kali adalah merendahkan yang bertanya.
Tentu, kita tidak sedang menuduh bahwa Dwi Fungsi TNI akan kembali secara terang-terangan. Tidak ada yang ingin mengulang sejarah. Tetapi sejarah punya selera humor yang unik—ia kerap kembali dengan wajah berbeda, dalam kemasan yang lebih modern, lebih halus, lebih bisa diterima, tetapi pada dasarnya sama. Jika benar kekuasaan sipil tetap dijaga, maka mengapa repot-repot membahas RUU ini dalam kemewahan dan kerahasiaan? Bukankah demokrasi mengajarkan bahwa semakin besar sebuah keputusan, semakin besar pula keterlibatan publik?
“Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut,” ujar Lord Acton. Hari ini, kita melihat bagaimana kebijakan semakin jauh dari akal sehat, sementara logika rakyat yang tajam justru dianggap pengganggu. Mungkin benar Dwi Fungsi TNI tak akan kembali dalam bentuk yang sama, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa demokrasi kita tak sedang disulap menjadi boneka dalam skenario baru yang lebih halus, lebih canggih, tetapi sama mematikannya?
Pada akhirnya, kita hanya bisa bertanya dengan nada getir: jika negara ini masih berniat mengajak rakyat berbicara, mengapa suara mereka semakin jarang didengar? Jika memang tak ada yang perlu disembunyikan, mengapa keterbukaan begitu dihindari? Atau jangan-jangan, seperti kata Oscar Wilde, “Politik adalah seni untuk membuat rakyat percaya bahwa mereka memiliki suara dalam keputusan yang sebenarnya sudah ditentukan.” Tabik. []