
JAKARTASATU.COM – Komitmen Indonesia dalam melindungi hak-hak pekerja migran semakin diperkuat dengan peluncuran serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas mengenai perekrutan yang adil dan pengawasan yang responsif gender. Langkah ini diinisiasi oleh Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) dengan dukungan dari Uni Eropa (UE), Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Jaringan Buruh Migran (JBM), dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Melalui lokakarya multipihak yang diselenggarakan di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta (17/3), pemerintah dan mitra terkait menegaskan pentingnya tata kelola migrasi kerja yang lebih inklusif dan berbasis hak asasi manusia.
Perlindungan bagi Pekerja Migran Perempuan
Pekerja migran Indonesia, khususnya perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga, manufaktur, dan keperawatan, masih menghadapi berbagai risiko ketidakadilan dalam proses perekrutan dan selama masa kerja mereka. Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Abdul Kadir Karding, menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan standar perekrutan yang adil dan responsif gender guna memastikan hak dan kesejahteraan pekerja migran.
“Keempat provinsi percontohan—Jawa Timur, Lampung, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur—akan menjadi model dalam penyelenggaraan layanan berkualitas yang berbasis hak asasi manusia dan sesuai dengan standar ketenagakerjaan internasional,” ujar Karding dalam sambutannya.
Langkah ini bertujuan untuk menekan risiko perdagangan manusia, kerja paksa, serta kekerasan terhadap pekerja migran perempuan di seluruh tahapan migrasi. Dalam kesempatan tersebut, Menteri Abdul Kadir Karding menyerahkan instrumen uji tuntas ILO untuk perekrutan yang adil dan responsif gender kepada Ketua Asosiasi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) sebagai simbol komitmen bersama.
Kolaborasi Multipihak untuk Tata Kelola yang Lebih Baik
Ketua APINDO, Shinta Widjaja Kamdani, menegaskan bahwa penerapan kode etik bagi P3MI bukan sekadar kepatuhan terhadap regulasi, melainkan tanggung jawab moral dan sosial. Ia menyoroti bahwa perusahaan yang menerapkan praktik perekrutan yang adil dapat meningkatkan kredibilitas dan keberlanjutan bisnis mereka di tingkat nasional maupun global.
“Pembentukan Komite Pekerja Migran APINDO mencerminkan komitmen kami untuk meningkatkan kepatuhan standar ketenagakerjaan P3MI melalui perekrutan yang adil dan responsif gender,” ujar Shinta.
Selain itu, hasil kajian yang dipaparkan oleh Savitri Wisnuwardhani, Ketua Tim Sekretaris Nasional JBM, menunjukkan bahwa 67 persen pekerja migran Indonesia, yang mayoritas adalah perempuan, belum mendapat perlindungan hukum yang memadai di negara tujuan. Hal ini menyebabkan mereka rentan terhadap praktik rekrutmen yang eksploitatif, termasuk jeratan utang, penahanan dokumen, serta pungutan biaya yang tidak wajar.
Dukungan Internasional untuk Perekrutan yang Adil
Dukungan internasional juga datang dari Uni Eropa dan ILO. Denis Chaibi, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, menekankan bahwa perempuan dan anak-anak sering kali menghadapi risiko lebih besar dalam migrasi kerja. Oleh karena itu, UE berkomitmen untuk memastikan praktik perekrutan yang adil dan etis guna melindungi hak-hak pekerja migran.
Sementara itu, Simrin C. Singh, Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste, mengapresiasi komitmen pemerintah Indonesia dalam menerapkan standar ketenagakerjaan internasional melalui program PROTECT. Program ini bertujuan untuk memastikan pemenuhan hak-hak ketenagakerjaan serta mencegah perdagangan manusia, penyelundupan migran, dan kekerasan terhadap pekerja migran perempuan.
“Upaya ini merupakan bagian dari keadilan sosial yang menjadi fokus utama Indonesia, sejalan dengan Prinsip Umum dan Pedoman Operasional ILO untuk Perekrutan yang Adil serta Definisi Biaya Perekrutan dan Biaya Terkait,” kata Simrin.
Menuju Migrasi Kerja Lebih Aman dan Berkelanjutan
Serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas dan penguatan tata kelola migrasi tenaga kerja yang diluncurkan ini menandai langkah konkret Indonesia dalam melindungi pekerja migran, terutama perempuan. Dengan keterlibatan multipihak—pemerintah, organisasi internasional, asosiasi pengusaha, dan masyarakat sipil—Indonesia berharap dapat menciptakan sistem perekrutan yang lebih transparan, adil, dan bertanggung jawab.
Namun, tantangan tetap ada. Keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada implementasi kebijakan di tingkat daerah dan kesiapan semua pihak dalam mengadopsi standar ketenagakerjaan yang lebih baik. Di tengah derasnya arus migrasi tenaga kerja global, langkah maju ini menjadi penegasan bahwa Indonesia tidak hanya berkomitmen untuk melindungi pekerja migrannya, tetapi juga memastikan mereka mendapat perlakuan yang adil dan bermartabat di mana pun mereka bekerja. |WAW-JAKSAT