Waspada! Perampasan Kedaulatan Tanah Rakyat Oleh Oligarki Menggunakan PP No. 18 Tahun 2021

Oleh: Ahmad Khozinudin,  S.H.
Advokat

Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat TA-MOR-PTR)

Maraknya kasus perampasan tanah rakyat, puncaknya saat terjadi perampasan tanah di wilayah laut dengan modus terbitnya 263 Sertifikat Hak Bangungan (SHGB) dan 17 Sertifikat Hak Milik (SHM) di Perairan Laut Tangerang Utara, adalah konfirmasi NKRI sedang dalam kondisi darurat kedaulatan.

Kasus perampasan tanah rakyat Indonesia yang dijalankan oleh mafia tanah, saat ini telah memasuki tahapan kegiatan perampasan tanah yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif, memanfaatkan sarana hukum dan kebijakan. Bahkan mendapatkan layanan dari oknum aparat dan pejabat penyelenggara negara, yang kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan bagi kedaulatan Negara dan ketahanan nasional.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun, dan pendaftaran tanah, telah dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk melakukan praktik perampasan tanah melalui 2 (dua) modus utama, yaitu:

Pertama, mendelegitimasi bukti kepemilikan tanah rakyat melalui Pasal 96 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021, bukti kepemilikan tanah adat seperti Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, dan Verponding Indonesia dinyatakan tidak berlaku sebagai alat pembuktian hak atas tanah, hanya sebagai petunjuk dalam pendaftaran tanah.

Masyarakat diberikan batas waktu hingga Desember 2025 untuk meningkatkan bukti tersebut menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM). Jika tidak, tanah mereka rentan dirampas oleh mafia tanah yang berkolusi dengan Pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Kedua, melakukan rekayasa ‘Tanah Musnah’ untuk mendapatkan hak Reklamasi, dengan memanfaatkan ketentuan Pasal 66 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021.

Kasus terbitnya 263 SHGB dan 17 SHM di Perairan Laut Tangerang Utara adalah contoh kongkrit bagaimana mafia tanah memanfaatkan celah regulasi pertanahan melalui Pasal 66 PP No. 18 tahun 2021 untuk merampas tanah di wilayah laut NKRI.

Alhamdulillah, upaya ini gagal karena masyarakat bersuara keras setelah terbongkarnya kasus pagar laut. Namun, bukan berarti persoalan sudah selesai.

Perlu untuk diketahui, terhitung sejak tanggal 1 Januari 2026, maka bukti kepemilikan tanah adat seperti Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, dan Verponding Indonesia dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 96 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 yang dipertegas melalui Pasal 76A Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 16 Tahun 2021 tentang perubahan ketiga Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Artinya, sejak tanggal 1 Januari 2026 Mafia Tanah akan lebih leluasa merampas tanah rakyat, karena bukti kepemilikan tanah adat milik rakyat akan efektif dinyatakan tidak berlaku.

Persoalan ini harus menjadi perhatian segenap elemen anak bangsa. Jangan sampai, kasus perampasan tanah oleh Oligarki yang sudah marak saat ini, akan bertambah membabi buta setelah ketentuan bukti kepemilikan tanah adat efektif dinyatakan tidak berlaku.

Kasus perampasan tanah rakyat Banten oleh Oligarki PIK-2, harus dijadikan sebagai sarana evaluasi yang menyeluruh terhadap kebijakan hukum pertanahan nasional. Untuk tahap awal, Presiden Prabowo Subianto harus segera menerbitkan PP yang menganulir keberlakuan PP No. 18 tahun 2021.

Jika tidak, maka sudah dapat dipastikan kedepannya rakyat Indonesia akan menjadi penumpang gelap di negeri sendiri. Mereka akan terusir, kehilangan hak atas tanah yang selama ini mereka kelola dan miliki. [].