“Kembalikan ABRI ke Barak!” Sebuah Kenangan, Sebuah Lelucon
Oleh: Paul MS d’ Flo
Dua puluh enam tahun lalu, jalanan Jakarta membara oleh suara lantang mahasiswa. Spanduk-spanduk lusuh tergantung di antara puing-puing ban terbakar, memuat slogan yang kala itu menjadi mantra perubahan: “Kembalikan ABRI ke Barak!”. Suara-suara yang dulu memekakkan telinga itu kini terdengar sayup, tertutup oleh sorakan tepuk tangan dan senyum getir mereka yang kini duduk manis di kursi empuk kekuasaan.
Ironis? Tidak. Ini tragis.
Undang-Undang TNI yang baru saja disahkan DPR, yang membuka kembali jalan bagi Dwifungsi TNI sebuah konsep yang mati-matian ditolak oleh para aktivis Reformasi 98 ternyata mendapat sambutan meriah dari sebagian mereka yang dulu berdiri paling depan menolak dominasi militer di sipil. Tapi kini, lihatlah! Mereka bertepuk tangan. Mereka berkomentar dengan nada yang jauh dari protes. Bahkan, ada yang dengan penuh semangat mengecam mahasiswa yang kini turun ke jalan menolak aturan ini sebuah refleksi menyedihkan dari bagaimana kekuasaan mampu mengubah prinsip menjadi sekadar ornamen masa lalu.
Reformasi, Perjuangan atau Sekadar Peragaan?
Kita dulu percaya bahwa reformasi adalah pencapaian besar. Sebuah tonggak sejarah. Namun, seperti yang dikatakan Vedi Hadiz dan Richard Robison, reformasi tak lebih dari ajang “ganti baju” bagi kaum oligarki lama. Mereka tidak benar-benar pergi, mereka hanya bermigrasi ke sistem baru dan kini merekalah yang bertanggung jawab atas kegelapan yang kita saksikan hari ini.
Dan siapa yang menjadi alat legitimasi mereka?
Ya, mereka yang dulu mengibarkan bendera aktivisme. Mereka yang dulu lantang meneriakkan perubahan, kini justru menjadi pembela sistem yang dulu mereka musuhi.
Kita dulu berpikir bahwa kekuasaan mengubah seseorang. Tapi sebenarnya, kekuasaan tidak mengubah siapa pun kekuasaan justru menunjukkan siapa mereka sebenarnya.
Dan bagi mantan aktivis yang kini berdiri di barisan para elite, kita akhirnya bisa melihat wajah mereka yang sesungguhnya.
Dulu Aktivis, Sekarang Apologis
Apakah ini bentuk evolusi pemikiran atau sekadar topeng yang akhirnya terbuka?
Mari kita sedikit berteori. Ada dua kemungkinan yang bisa menjelaskan mengapa para mantan aktivis ini kini berdiri di barisan yang berlawanan dari masa lalu mereka:
Mereka memang sejak awal hanyalah “kaum binaan” yang disusupkan ke dalam gerakan mahasiswa Reformasi 98 sebuah generasi Trojan Horse yang baru sekarang menunjukkan wajah aslinya. Jika ini benar, maka perjuangan Reformasi bisa dikatakan telah lama dikhianati dari dalam. Mereka berhasil menyusup, meneriakkan “Reformasi!”, hanya untuk menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan siapa sebenarnya majikan mereka.
Mereka hanya sedang menjalankan ritual menjilat dan memanjat sebuah tarian klasik para pengincar kekuasaan. Nilai-nilai idealisme yang dulu mereka suarakan kini tak lebih dari dagangan murahan untuk mengamankan posisi di lingkaran elite. Demi akses terhadap anggaran negara, fasilitas mewah, dan mungkin selembar surat keputusan di lembaga-lembaga tinggi, mereka rela membuang semua yang pernah mereka perjuangkan.
Mahasiswa Dulu vs Mahasiswa Sekarang
Dulu, mereka yang kini duduk nyaman di kursi kekuasaan memuja mahasiswa sebagai “garda terdepan demokrasi.” Tapi kini, saat mahasiswa turun ke jalan menolak Dwifungsi TNI, mereka justru menunjukan gestur mencibir.
“Ah, mahasiswa zaman sekarang nggak paham kondisi bangsa!” kata mereka yang dulu hoby mingguan turun ke jalan dan menuntut perubahan.
” demokrasi saat ini sudah kebablasan Negara ini butuh stabilitas, bukan kegaduhan!” kata mereka yang dulu sering nencetak stensilan jadwal demo meneriakkan kejatuhan Orde Baru .
Sungguh sebuah ironi yang sangat mahal. Dulu mereka idolakan gerakan mahasiswa, sekarang mereka benci gerakan yang sama hanya karena kepentingan mereka telah berubah.
Mengapa Ini Memalukan?
Sikap mereka bukan hanya memalukan, tapi juga menunjukkan kebusukan moral yang luar biasa.
Jika dulu mereka benar-benar berjuang demi demokrasi, lalu kenapa sekarang mereka diam atau bahkan mendukung kebijakan yang jelas-jelas mengembalikan nilai yang dulu mereka lawan dan perjuangkan ?
Jika dulu mereka benar-benar percaya bahwa “ABRI harus kembali ke barak”, lalu kenapa sekarang mereka tersenyum puas melihat Undang-Undang TNI disahkan?
Ataukah sejak awal mereka hanya sekadar ikut arus, dan kini ketika arus berbalik, mereka dengan senang hati berenang mengikuti gelombang baru yang lebih menguntungkan?
Kita yang Tertipu, atau Mereka yang Menipu?
Mungkin kita semua telah tertipu.
Mungkin kita mengira bahwa Reformasi adalah kemenangan rakyat, padahal ia hanyalah sebuah sandiwara panjang yang skripnya ditulis oleh para pemain bayangan.
Atau mungkin, justru mereka yang kini duduk di lingkar elit kursi kekuasaan adalah orang-orang yang telah lama menipu diri sendiri, berpura-pura menjadi pejuang demokrasi padahal mereka tak lebih dari pelayan kekuasaan sejak awal.
Yang jelas, hari ini mereka telah memilih. Mereka memilih untuk menjilat daripada melawan, memilih untuk mendukung daripada menolak, dan memilih untuk menjadi bagian dari yang dulu mereka musuhi.
Sementara itu, di luar sana, mahasiswa masih turun ke jalan. Seperti dulu. Seperti 26 tahun lalu.
Hanya saja, kali ini mereka tak lagi ditemani oleh para aktivis yang dulu mereka anggap sebagai pahlawan. Karena pahlawan-pahlawan itu kini telah menjual idealismenya demi kenyamanan dan fasilitas kekuasaan.
Maka, untuk mereka yang dulu meneriakkan “Kembalikan ABRI ke Barak!” tapi kini menyambut kembalinya Dwifungsi TNI dengan tepuk tangan, kami hanya ingin bertanya satu hal:
Apakah Anda sedang bercanda, atau memang sejak awal Anda adalah lelucon itu sendiri?