Ketika Dwi Fungsi Versi Nasution dan Suharto Sudah Raib, Hendrajit: Jadi Sekarang Dwi Fungsi Versi Siapa?
JAKARTASATU.COM— Analis Geopolitik yang juga merupakan pengamat militer Hendrajit mengatakan arus kecaman dan kritik seputar RUU TNI terkait penempatan perwira aktif di pos-pos kementerian sipil, sebetulnya bukan perkara baru sejak era Suharto sampai era Prabowo. Justru karena itulah kalau mau ngeritik mesti jelas dulu sudut pandang yang mau diambilnya. Maupun penghayatannya atas perkara krusial hubungan sipil dan militer kita secara kesejarahannya.
“Sebab aspek krusial hubungan sipil dan tentara, bukan cuma soal Dwi Fungsi TNI. Lucunya, pro kontra terkait RUU TNI seakan semua sepakat bahwa setuju revisi RUU TNI untuk penempatan perwira aktif di pos-pos sipil berarti setuju dihidupkannya kembali Dwi Fungsi TNI,” kata analis Geopolitik Hendrajit saat dihubungi Jakartasatu.com, Jum’at 21/3/2025.
“Padahal, di era Presiden Suharto, Dwi Fungsi ABRI cuma retorika. Pak Harto memandang konsep original Dwi Fungsi ABRI itu idenya Jenderal Purn AH Nasution yang dipakai Pak Nas di era Bung Karno sebagai alat tawar antara TNI dan Bung Karno bagi bagi kekuasaan,” ungkap pengamat militer ini.
Hendrajit menilai dalam konsep Dwi Fungsi versi jendral Purn AH Nasution, asumsinya TNI sebagai entitas pertahanan yang tugas pokoknya untuk perang mempertahankan tanah air, juga harus disiapkan sebagai entitas sosial-politik. Konsekwensi strategisnya, para perwira aktif dalam institusi kemiliteran juga harus siap didudukkan di pos-pos sipil. Seperti sebagai utusan golongan di MPR, BUMN, bahkan personil kabinet pemerintahan.
Menurut Hendrajit dalam benak Letjend Purn AH Nasution dulu, konsep Dwi Fungsi ini merupakan jalan tengah. Daripada kudeta ketika kesal dengan kekacauan akibat ulah politisi parpol, mending perwira-perwira tentara ikutan aja di pos-pos sipil. Asumsinya, para perwira aktif yang masuk ke pos-pos sipil itu, bekerja atas arahan kepala staf angkatan masing-masing angkatan. Bukannya kepada presiden Sukarno.
“Tapi waktu itu Bung Karno setuju saja karena dalam perhitungan beliau, toh Pak Nas bukan simpul pusat tentara satu-satu nya. Selain Pak Nas, ada Achmad Yani, ada Pak Harto, ada Achmad Sukendro, ada juga M Yusuf. Belum lagi di Angkatan Laut dan Udara, bung Karno punya hubungan solid dengan para petingginya,” jelas Hendrajit.
“Jadi, konsepsi Dwi Fungsi versi Pak Nas yang ide dasarnya adalah TNI sebagai junta militer tidak kudeta tapi mengutus para anggota junta untk berkoalisi dengan politisi parpol maupun non-parpol, berarti tentara dirancang sebagai infrastruktur politik mengimbangi parpol,” sambungnya.
“Namun di era Pak Harto, konsepsi Dwi Fungsi versi Pak diinstal ulang dengan aplikasi baru. Meski resminya tetap pakai Dwi Fungsi ABRI, namun dengan menggunakan program baru. Otomatis aplikasi baru. Lantaran ide dasarnya diubah,” Hendrajit menandaskan.
Hendrajit menuturkan kalau AH Nasution menerapkan Dwi Fungsi ABRI dengan asumsi bahwa perwira aktif yang ditempatkan di pos-pos strategis sipil itu sejatinya utusan dari junta militer atau dewan jenderal, Soeharto yang pikirannya tidak njelimet dan cenderung praktis, langsung mengubah ide dasarnya. Perwira aktif yang dipasang di pos-pos sipil bukan dikirim lewat mekanisne dewan jenderal ala AH Nasution, tapi lewat mekanisme Golkar yang mana Soearto sejak 1971 menerapkan sistem perekrutan tiga jalur: ABRI, Birokrasi dan Golongan.
Di sini Bung Karno dan Pak Harto, punya skema berbeda dalam merespons manuver politik tentara. Bung Karno, mengikuti permainan pak Nas yang menerapkan Dwi Fungsi ABRI sebagai versi lunak dan moderat dari manuver politik ala junta militer.
“Namun di tengah jalan, faksi militer pak Nas dinetralisir dengan memberi angin pada pak Yani dan pak Harto sebagai kekuatan penyeimbang. Begitupun skema Dwi Fungsi ABRI versi pak Nas ini bisa bertahan hingga 1965. TNI bermain politik menghadapi Bung Karno sebagai junta militer, namun sebagai junta militer tidak bertumpu pada Nasution sebagai simpul tunggal. Melainkan bertumpu pada banyak simpul pusat,” katanya Hendrajit.
Makanya lanjut dia, menghadapi Bung Karno, apalagi ketika Yani jadi KSAD dan Harto jadi Pangkostrad, praktis tentara malah larut mengikuti irama permainan Bung Karno. Lantaran Dewan Jendral alias junta militer yang bertumpu banyak simpul itu, posisi tawar tentara lemah menghadapi Bung Karno. TNI baru kompak ketika menghadapi PKI atau komunisme.
‘Nah saat pak Harto berkuasa, beda lagi cara menjinakkan tentara. Di sini profil pak Harto penting dicermati atas dua hal. Secara pendidikan militer, pak Harto didikan PETA yang dilatih Jepang. Jadi filosofinya beda dengan pak Nas yang didikan militer Belanda,” tukas Hendrajit.
Maka ketika AH Nasution meluaskan lingkup aktivitas tentara selain instrumen pertahanan juga instrumen politik, ide dasarnya militer yang berpolitik itu bersifat kolektif bukannya perseorangan. Maka Dewan Jenderal atau junta adalah mekanisme buat mewujudkan skema tentara berpolitik lewat payung Dwi Fungsi ala AH Nasution.
“Di era pak Harto, skema pak Nas diubah. Lewat mekanisme ABG Golkar, tentara yang ditempatkan ke pos-pos politik bukan oleh junta militer melainkan dalam kapasitas pribadi atas penugasan langsung dari pak Harto. Perwira militer aktif yang kemudian memegang jabatan perwira teritorial yang dibawah komando kepala staf sospol TNI, berarti sudah lolos masuk dalam lingkar inti kekuasaan Suharto,” tutur Hendrajit.
“Dengan itu, mekanisme junta militer yang diperlunak ala Dwi Fungsi era Sukarno dengan banyak simpul, Pak Harto justru menghapus mekanisme junta militer dengan mekanisme 3 jalur ABG lewat Golkar,” tambahnya.
Hendrajit menegaskan justru lewat mekanisme 3 jalur ABG yang mana perwira militer aktif yang dikaryakan ke pos-pos sipil bersifat individual, sontak para jendral di lingkar inti Seoharto mulai sadar, sekarang tentara berpolitik tidak lewat jalur junta lagi. Tapi simpul lingkaran hanya bertumpu satu pusat: Pak Harto.
Skema Di Era Reformasi
Di era reformasi, skema AH Nasution maupun Soeharto dihapus. Tentara tidak boleh berpolitik atau jabatan sipil ketika masih aktif. Tentara sebagai entitas politik dihilangkan. Bahkan seturut amandemen 4 kali UUD 1945, tentara sebagai wakil utusan golongan di DPR/MPR dihapus.
“Lantas, bagaimana menjelaskan fenomena adanya perwira aktif sekitar 101 orang ada di BUMN dan 4000an yang menurut data pakar militer slamet Selamat Ginting tersebar di pelbagai pos-pos sipil? Ini harusnya yang penting diulas,” Hendrajit menandaskan.
“Ketika skema Dwifungsi ABRI ala pak Nas dan skema Pak Harto sudah hilang dari peredaran, lalu pertanyaan pentingnya adalah, atas dasar skema seperti apa yang membingkai adanya fenomena 4000an perwira aktif TNI menyebar di pos-pos sipil?,” sambungnya.
“Pastinya naif, kalau setiap keterlibatan perwira aktif di pos sipil cuma dimaknai sebagai bangkitnya lagi Dwi Fungsi Tentara. Dwi Fungsi yang bersimpulkan ke mana?,” pungkas Hendrajit. (Yoss)