xcom@ifagenthong
xcom@ifagenthong

Body Shaming Fajar Alfian: Ledakan Bom Waktu Sebuah Jejak Digital 

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Seorang filsuf Yunani, Heraclitus, pernah berkata, “Tidak ada yang tetap, kecuali perubahan.” Namun, Heraclitus tentu hidup di zaman ketika internet belum lahir dan orang-orang tidak menyimpan dosa digital di server-server yang lebih awet daripada kenangan mantan. Sayang sekali, Fajar Alfian baru menyadari bahwa jejak digital tidak seperti shuttlecock yang bisa di-smash dan lenyap dari lapangan.
Di era ketika kicauan di X lebih tajam dari kok bulutangkis dan lebih cepat viral daripada shuttlecock yang dipukul Kevin Sanjaya, nama Fajar Alfian tiba-tiba mencuat bukan karena prestasi di lapangan, melainkan jejak digitalnya yang menyeretnya ke pusaran kontroversi. Konon, komentar yang ia tulis setahun lalu kini menjelma menjadi peluru yang ditembakkan ke arahnya. “Ibu sehat?” dan “ibu juga kalo pinter pasang gigi dulu bu”—dua kalimat yang kini menjadi bukti bahwa satu ketikan iseng bisa menjadi tsunami reputasi yang menghantam dengan dahsyat.
Seperti Mantan, Susah Dihapus
Profesor Henry Jenkins, pakar komunikasi dari MIT, pernah mengatakan bahwa “kita hidup dalam era partisipasi, di mana setiap orang adalah produsen sekaligus konsumen konten.” Nahasnya, dalam era ini, menjadi produsen konten tidak semudah menjadi konsumen. Konsumen bisa dengan santai menikmati skandal demi skandal, sementara sang produsen (baca: korban viral) harus menanggung dampaknya.
Banyak orang berpikir bahwa media sosial hanyalah tempat curhat dan bercanda, tetapi kenyataannya, ini adalah sebuah pengadilan virtual yang tak mengenal kadaluarsa. Cuitan Fajar setahun lalu kini menjadi bukti bahwa di dunia digital, tidak ada yang benar-benar usang—bahkan aib lama bisa diungkit kembali seolah-olah baru terjadi kemarin. Seperti kata ahli PR legendaris Edward Bernays, “Dalam komunikasi, persepsi lebih kuat daripada kenyataan.” Dan dalam kasus ini, persepsi netizen lebih menyeramkan daripada skor 29-30 di gim penentuan.
Dari Smash ke Damage Control
Dalam politik, kita mengenal adagium dari Winston Churchill, “Sejarah akan bersikap baik padaku karena aku berniat menulisnya sendiri.” Sayangnya, di era digital, sejarah kita ditulis oleh netizen yang bahkan kita tidak kenal. Pelajaran dari kasus ini? Jangan pernah berpikir bahwa unggahan lama sudah aman. Apa yang kita anggap candaan hari ini bisa menjadi bahan bakar pembakaran massal di linimasa esok hari.
Namun, seperti bulutangkis yang selalu punya second set, setiap krisis juga punya jalan keluar. Di sinilah ilmu crisis management diuji. Strategi merespons dengan cepat, meminta maaf secara tulus, dan memperbaiki citra diri adalah langkah-langkah yang harus diambil. Dalam kata-kata Maya Angelou, “Orang mungkin akan melupakan apa yang kau katakan dan lakukan, tapi mereka tidak akan melupakan bagaimana kau membuat mereka merasa.”
Main di Lapangan Digital = Main di Final Olimpiade
Dunia digital adalah lapangan yang tak kenal ampun. Jika dalam bulutangkis ada Hawk-Eye untuk memeriksa keputusan wasit, di media sosial, Hawk-Eye itu adalah netizen yang siap mencari kesalahan sekecil apapun. Jadi, sebelum mengetik sesuatu, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah ini layak muncul di trending topic setahun dari sekarang?” Jika jawabannya tidak, lebih baik diam dan fokus latihan.
Fajar mungkin bisa menangkap pelajaran ini dari sudut yang lebih positif—bahwa di era sekarang, skill bermain media sosial hampir sama pentingnya dengan skill bermain di lapangan. Sebab, dalam dunia ini, yang tersisa bukan hanya trofi, tapi juga rekam jejak digital yang akan terus membayangi seumur hidup. Tabik []