Ketika seorang kepala kantor komunikasi kepresidenan menanggapi teror kepala babi dengan santai, bahkan menyarankan untuk memasaknya, kita seperti menonton episode baru dari sinetron komedi absurd berjudul “Demokrasi ala Dapur Istana.” Tentu, kita boleh tertawa. Tapi, apakah kita benar-benar tertawa, atau ini tawa getir seorang pasien yang diberitahu bahwa operasinya akan dilakukan oleh seorang tukang kayu, bukan dokter bedah?
“Udah, dimasak aja,” kata Hasan Nasbi, seolah-olah kepala babi yang dikirim sebagai bentuk teror terhadap jurnalis hanyalah bahan untuk master chef edisi negara demokrasi rasa feodal. Ini bukan sekadar respons yang mencerminkan minimnya empati; ini adalah simbol dari betapa matangnya—atau justru busuknya—mentalitas pejabat dalam menghadapi kritik dan ancaman terhadap kebebasan pers.
Dari Istana ke Dapur Demokrasi
Jean Baudrillard pernah berkata, “We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning.” Kita disuguhi banyak pernyataan pejabat, tetapi semakin sedikit makna dan tanggung jawab di dalamnya. Pernyataan Hasan bukan sekadar lelucon tidak pada tempatnya; ini adalah refleksi dari bagaimana pejabat memandang kebebasan pers, yaitu sebagai hal remeh yang bisa dipermainkan di meja makan kekuasaan.
Jika kita melihat respons ini dalam konteks politik yang lebih luas, kita bisa bertanya-tanya: apakah ini merupakan dampak dari tren komunikasi pejabat yang semakin populis, semakin sarkastik, dan semakin tidak peka? Bukankah kita sudah sering mendengar kata-kata seperti “ndasmu” atau “kampungan” keluar dari mulut para penguasa, seolah-olah wibawa kepemimpinan kini hanya diukur dari seberapa lihai mereka menyindir rakyat sendiri?
“Ketika kata-kata kehilangan maknanya, rakyat akan kehilangan kebebasannya,” kata Confucius. Apakah kita masih bisa berharap kebebasan pers dihormati jika mereka yang duduk di kursi kekuasaan lebih memilih berseloroh ketimbang bertanggung jawab?
Pers Sebagai Menu Sampingan Kekuasaan
Seorang akademisi komunikasi, Jürgen Habermas, pernah menyatakan bahwa ruang publik yang sehat adalah ruang di mana diskusi rasional dapat terjadi tanpa intimidasi. Jika kepala babi adalah bentuk intimidasi, maka “udah, masak aja” adalah bentuk delegitimasi. Seolah-olah, setiap ancaman terhadap kebebasan pers hanyalah bahan baku bagi hidangan baru di meja penguasa.
Kita patut bertanya: apakah ini sinyal bahwa kekuasaan tidak lagi merasa perlu berpura-pura peduli? Apakah kita sudah memasuki era di mana pers tidak lagi dilihat sebagai pilar demokrasi, tetapi hanya sekadar lauk yang bisa dikunyah atau dibuang begitu saja?
Jurnalis dan Menu Bertahan Hidup
Tentu, kita bisa memahami logika pejabat yang merasa tidak perlu menanggapi teror ini dengan serius. Mengapa repot-repot? Lagipula, seperti yang dikatakan Hasan, “itu urusan Tempo dengan entah siapa.” Tapi, jika ancaman terhadap satu jurnalis dibiarkan, apakah ini tidak akan menjadi preseden bagi ancaman berikutnya?
“Pertama mereka datang untuk kaum sosialis, dan saya diam saja karena saya bukan sosialis. Lalu mereka datang untuk serikat pekerja, dan saya diam saja karena saya bukan buruh. Lalu mereka datang untuk saya, dan tidak ada lagi yang tersisa untuk membela saya.” Begitu kata Martin Niemöller dalam kritiknya terhadap sikap diam di tengah represi.
Jika hari ini kita membiarkan kepala babi sebagai lelucon, mungkin besok kita akan membiarkan kepala demokrasi sendiri ikut disantap.
Bon Appétit, Demokrasi!
Kita harus berhenti menganggap kebebasan pers sebagai hidangan yang bisa dimasak sesuai selera penguasa. Jika kita terus membiarkan para pejabat menggoreng isu-isu serius dengan minyak sarkasme, maka lambat laun demokrasi kita akan menjadi hidangan basi yang tidak lagi bisa dikunyah oleh rakyat.
Mungkin, sebelum kita benar-benar kehabisan harapan, ada baiknya kita tanyakan pada diri sendiri: jika hari ini kepala babi bisa dijadikan bahan masakan, kapan giliran kepala kita? Bon appétit, demokrasi! Tabik. []
Body Shaming Fajar Alfian: Ledakan Bom Waktu Sebuah Jejak Digital
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, StorytellerSeorang filsuf Yunani, Heraclitus, pernah berkata, "Tidak ada yang tetap, kecuali...
Adhie Massardi: "Kepala Babi Dimasak Saja" yang Disampaikan Hasan Nasbi Sikap Resmi Lembaga Kepresidenan
JAKARTASATU.COM-- Kantor Tempo menerima paket mencurigakan berisi kepala babi yang dikemas...
Usai Dikirim Paket Potongan Kepala Babi, Tempo Kembali Dikirim Paket Tikus Dipenggal
JAKARTASATU.COM-- Setelah paket potongan kepala babi, kantor redaksi Tempo mendapatkan kiriman kedua...
JAKARTASATU.COM- Komentar Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi soal “teror” kepala babi di Kantor Tempo dinilai tidak menunjukan empati dan dukungan bagi kebebasan pers....
"KAPAN MENDAPATKAN KEUTAMAAN LAYLATUL QODAR"
Para ulama sepakat menjelaskan Di 10 hari terakhir pada bulan ramadhan..
Dan Seringnya terjadi di malam ganjil.
Lailatul qadar terjadi sepanjang malam,...