Pengembalian Dwi Fungsi ABRI dalam RUU TNI dan Implikasinya Terhadap Visi Reformasi 1998 dan Kedudukan Civil Society
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
I. PENGANTAR
Mengkhianati visi reformasi dan mengancam kedudukan civil society. Inilah di antara kekhawatiran berbagai elemen masyarakat terhadap rencana revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam keterangan tertulis, Selasa (9/5/2023), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, menilai sejumlah usulan perubahan pasal berpotensi membahayakan kehidupan demokrasi hingga pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah air (detiknews.com, 10/5/2023).
Sejumlah pasal revisi yang memicu polemik antara lain; Pasal 3 ayat 1 tentang perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara sekaligus pencabutan kewenangan presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Pasal 7 ayat 2 dan 3 menginginkan perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Selain itu, Pasal 47 tentang perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Pasal 65 ayat 2 untuk memperkuat impunitas anggota militer pelaku tindak pidana umum. Juga Pasal 66 ayat 1 tentang perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan) (detiknews.com, 9/5/2023).
Bayang-bayang rezim kian otoriter sangat mungkin terjadi bila agenda revisi ini berlanjut. Meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara akan menjadikan militer menghadapi masyarakat jika dinilai mengancam keamanan negara. Pun sama saja memberikan cek kosong bagi militer masuk dalam menjaga keamanan dalam negeri. Hal ini berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan mengembalikan format militer seperti di masa rezim otoriter orde baru.
Alih-alih berkontribusi dalam penyelesaian problematika bangsa, revisi UU TNI bukanlah hal urgen untuk dilakukan saat ini. Justru sejumlah substansi usulan perubahan berpotensi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal Indonesia mengaku sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan.
II. PERMASALAHAN
Untuk menyelisik di balik usulan revisi UU TNI, penulis mengajukan rumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa ada upaya untuk mengembalikan dwifungsi ABRI dengan membuka peluang TNI aktif untuk menduduki jabatan strategis di lembaga negara/pemerintah?
2. Bagaimana dampak TNI aktif yang menduduki posisi jabatan strategis di kelembagaan negara/pemerintah terhadap kedudukan civil society sebagai penyokong demokrasi?
3. Bagaimana pola terbaik mendudukkan posisi TNI dalam penyelenggaraan negara sehingga kedudukan civil society tetap kuat?
III. PEMBAHASAN
A. Intervensi Militer dalam Politik Akibat Lemahnya Tingkat Institusionalisasi Negara
Salah satu perubahan dalam revisi UU TNI yang dibahas oleh Markas Besar (Mabes) TNI yaitu prajurit aktif dapat lebih banyak menjabat di kementerian/lembaga. Pasal 47 ayat 2 UU TNI menyebutkan, prajurit aktif TNI bisa menduduki jabatan di sepuluh kementerian dan lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.
Sementara dalam usulan revisi, prajurit aktif TNI bisa duduk di 18 kementerian/lembaga. Tambahan delapan kementerian/lembaga itu adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung. Pun menduduki jabatan di kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksda Julius Widjojono menjelaskan latar belakang usulan revisi. Pertama, banyak prajurit aktif berwawasan kepentingan nasional serta keahlian yang dibutuhkan oleh kementerian/lembaga. Kedua, berbagai pembinaan fisik prajurit sejak muda membuat tenaganya masih bisa dimanfaatkan kementerian/lembaga.
Ketiga, spektrum ancaman negara tidak sekadar militer tetapi juga nirmiliter. Contoh, banyak prajurit TNI diterjunkan menangani pandemi Covid-19. Keempat, prajurit TNI sejak awal dilatih untuk cepat tanggap dan memiliki kedisiplinan organisasi yang baik. Menurutnya, revisi ini tidak dinilai sebagai dwifungsi seperti zaman Orba tetapi hubungan sipil-militer yang lebih maju.
Namun Pengamat Militer dan Pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi justru menilai revisi Pasal 47 Ayat 2 UU TNI bertentangan dengan amanat reformasi dan merupakan klausul karet. Menurutnya, meski Mabes TNI meyakinkan tak akan mengembalikan dwifungsi, tapi tak ada garansinya di masa depan. Pun bakal membentuk persepsi hanya militer yang dapat diandalkan perannya mengelola pemerintahan dan negara. Selain itu, tidak menyelesaikan masalah mendasar tentang pembenahan dalam pembinaan personel di tubuh TNI dan pembangunan pertahanan negara ini (cnnindonesia.com, 10/5/2023).
Wajar bila revisi UU TNI dipandang sebagai kemunduran reformasi tahun 1998 yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara. Militer memang dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk perang. Tidak didesain untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Penempatan militer di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara bukan hanya salah, juga akan memperlemah profesionalisme militer itu sendiri.
Lebih jauh, upaya perluasan ruang bagi perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tak lebih sebagai langkah legalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya anggota TNI aktif saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bahkan di Badan Usaha Milik Negara. Ombudsman RI mencatat setidaknya 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Juga ada perwira TNI aktif sebagai kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan pejabat Gubernur Provinsi Aceh.
Lantas, mengapa ada intervensi militer dalam politik di Indonesia? Samuel P. Huntington dalam buku “Political Order in Changing Society,” mengemukakan hal itu akibat lemahnya tingkat institusionalisasi suatu negara yang membuat celah bagi berbagai kekuatan sosial/militer melakukan intervensi.
Adapun Gavin Kennedy dalam bukunya “The Military and the Third World,” menyebut intervensi militer di ranah politik sipil dipengaruhi oleh legitimasi. Menurutnya, krisis legitimasi memperbesar peluang bagi militer aktif untuk masuk ke ranah politik, sebagai akibat ketidakmampuan para elite menyelesaikan permasalahan politik domestik.
Dalam buku “Ini Bukan Kudeta: Reformasi Militer Indonesia, Mesir, Thailand, dan Korea Selatan,” Salim Haji Said berpendapat bahwa keterlibatan politik militer di Indonesia disebabkan masyarakat yang terpecah-pecah (fragmented society). Yaitu masyarakat yang terdiri berbagai kelompok dan golongan, yang justru gagal percaya satu sama lain dan tidak bersepakat dalam mengelola permasalahan negara.
Menengok ke belakang, pada masa demokrasi parlementer tahun 1950-an, rata-rata usia kabinet hanya berjalan delapan bulan, hingga berbagai program pemerintahan tidak berjalan. Berbagai konflik juga melemahkan legitimasi kepemimpinan sipil negara saat itu, hingga A.H. Nasution menggagas untuk memberdayakan tentara di luar tugas bidang pertahanan.
Gagasan itu mendapat legitimasi dari Soekarno, dengan memasukkan TNI dalam kelompok Angkatan Karya di dalam tubuh Golongan Karya. Lemahnya dominasi sipil diperparah dengan peristiwa gagalnya kudeta G30S PKI. Kondisi pemerintahan sipil yang kacau-balau pasca kudeta membuat TNI bertahan sebagai satu-satunya kekuatan politik yang dominan. Inilah cikal-bakal pemerintahan Orba di bawah kepemimpinan militer dan langgeng hingga 32 tahun lamanya.
Demikian upaya memperluas ruang bagi TNI aktif menduduki jabatan strategis di kementerian/lembaga. Kami kira tak berlebihan bila banyak kalangan khawatir bahwa revisi UU TNI bakal membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI sebagaimana di era rezim otoritarian Orba. Inikah yang diinginkan?
B. Dampak TNI Aktif Menduduki Jabatan Strategis di Lembaga Negara/Pemerintah terhadap Kedudukan Civil Society
Di masa Orba ketika dwifungsi ABRI dijalankan, peran ganda tersebut menyebabkan tentara menjelma menjadi alat politik penguasa demi melanggengkan kekuasaan dan mengontrol masyarakat. Terwujudlah jalur ABG (ABRI, Birokrasi, Golkar).
Lebih jauh, tentara menjadi penopang kekuasaan Orba dalam menjalankan pemerintahan otoritarian. Fungsi tentara menjadi sangat politis, yaitu memastikan bagaimana Golkar menang dalam setiap Pemilu, lalu menjadi pengawas dan pengontrol warga negara dengan segala macam batasan. Sejatinya konsep dwifungsi adalah alat bagi pelanggengan kekuasaan orde baru.
Oleh karena itu, kembalinya tentara di posisi-posisi sipil berpotensi merusak tatanan civil society. Civil Society sering didefinisikan berbeda oleh para ilmuwan. Setidaknya definisi berikut mewakili keberadaannya. Civicus mengartikannya sebagai arena di luar keluarga, negara, dan pasar, yang diciptakan oleh tindakan individu dan kolektif, organisasi, dan lembaga untuk memajukan kepentingan bersama.
Sementara menurut John Locke, civil society hadir untuk melindungi kebebasan dan hak milik warga negara. Sehingga civil society tidaklah absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang dapat dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh hak secara adil dan proposional.
Dengan demikian, sebagaimana praktik dwifungsi ABRI di masa Orba, usulan revisi UU TNI yang menghendaki perluasan TNI aktif menduduki jabatan strategis di lembaga negara/pemerintah, akan berdampak terhadap kedudukan civil society. Dampak negatifnya yaitu:
Pertama, masyarakat sipil akan berubah menjadi masyarakat pretorian di mana militer memungkinkan untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan pemimpin sipil. Pretorian terjadi menurut Amos Perlmutter dalam “The Political Roles and Military Rulers,” sebagai akibat lemahnya pelembagaan dan struktur negara, ketidakmampuan pengaruh masyarakat kelas menengah, dan pertentangan antarkelompok.
Kedua, rezim cenderung otoriter (represif). Saat militer memiliki banyak ruang dalam jabatan politik, jadilah ia sebagai alat politik/kekuasaan. Pun menjadi tameng bagi kelompok masyarakat yang dinilai membangkang terhadap penguasa. Rezim seolah memiliki senjata untuk menghadapi rakyat hingga cenderung bertindak sewenang-wenang. Kekerasan menjadi cara penyelesaian konflik.
Ketiga, kebebasan rakyat terbelenggu. Aroma represifitas yang muncul di balik dominasi politik militer membuat masyarakat enggan (takut) bersuara kritis. Padahal kritik rakyat dibutuhkan demi keseimbangan jalannya roda pemerintahan.
Keempat, dikotomi sipil-militer menguat. Alih-alih terjadi hubungan sipil-militer lebih maju sebagaimana harapan Mabes TNI saat mengusulkan revisi UU TNI, upaya ini justru menegaskan dikotomi keduanya. Militer menjadi kelas tersendiri sebagai pemegang kekuasaan, sementara sipil (masyarakat) juga sebagai kelompok tersendiri.
Kelima, pelanggengan kekuasaan otoriter. Militer digunakan oleh penguasa agar kekuasaan berlangsung status quo. Cara apa pun akan dilakukan demi tujuan ini.
Keenam, menghambat proses demokratisasi hingga berpotensi mengantar pada kematian demokrasi. Bila tatanan civil society yang dianggap sebagai penyokong sistem politik demokrasi terganggu, ini akan berpengaruh pada eksistensi demokrasi. How democracies die (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt: 2018) akan mendapatkan jawabannya. Demokrasi mati justru dibunuh oleh penguasa yang keterpilihannya diklaim dilakukan pula secara demokratis.
Demikian dampak negatif yang mungkin terjadi bila TNI aktif menduduki banyak jabatan strategis terhadap kedudukan civil society. Alih-alih memperkuat posisi negara demokrasi dengan basis civil society, justru mengancam eksistensinya.
C. Pola Terbaik Mendudukkan Posisi TNI dalam Penyelenggaraan Negara agar Kedudukan Civil Society Kuat
Dua tahun pasca-reformasi, kewenangan legal militer di bidang politik akhirnya ditanggalkan. Reformasi merupakan sebuah proses mengembalikan legitimasi kekuatan rakyat sipil dalam pemerintahan. Reformasi juga berhasil menyatukan berbagai golongan masyarakat yang sebelumnya fragmented, menjadi senasib sepenanggungan. Di Indonesia, reformasi merupakan momentum kembalinya supremasi sipil serta menjadi titik tolak kembalinya TNI menjadi tentara profesional.
Oleh karena itu, agar visi reformasi tidak terkhianati serta kedudukan civil society tetap kuat, dibutuhkan pola terbaik demi mendudukkan posisi TNI dalam penyelenggaraan negara yaitu:
Pertama, menguatkan profesionalitas TNI berdasarkan peran, fungsi, dan tugas TNI. TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan serta menjalankan tugas berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Adapun fungsi TNI ialah sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai; penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; penindak setiap bentuk ancaman dan pemulih kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
Sementara tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Kedua, bila supremasi sipil dipandang perlu diwujudkan, munculnya politikus-politikus sipil tangguh dan berintegritas kepribadian yang tinggi menjadi keniscayaan. Tegaknya supremasi sipil akan terjadi jika sipil betul-betul siap dan memiliki kemampuan, sehingga kekuasaan militer di pentas politik dapat dikurangi secara bertahap hingga supremasi sipil akhirnya dapat ditegakkan.
Sebaliknya, bila organisasi sipil (termasuk partai politik) lemah dan hanya mengandalkan kekuatan figur atau tokoh, sejauh itu pulalah jauhnya jarak bagi tegaknya supremasi sipil tadi. Jika kuat dan mapannya organisasi sipil dipandang sebagai syarat atau kewajiban, sedangkan tegaknya supremasi sipil adalah hak yang dinilai sipil sebagai miliknya, maka sanggupkah sipil memenuhi syarat atau kewajiban tadi, di luar sekadar menuntut haknya?
Ketiga, bila menginginkan supremasi sipil, perlu diingat bahwa ujung tombaknya adalah masyarakat itu sendiri. Walau hingga saat ini TNI merupakan institusi yang mendapat kepercayaan masyarakat, namun masyarakat harus sadar bahwa kepercayaan politik yang lebih dominan tetap harus berada di kalangan sipil. Dengan memberikan kepercayaan yang dominan kepada kepemimpinan politik sipil, masyarakat secara tidak langsung memberikan jalan bagi TNI dan eksponennya untuk tetap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai pelindung kedaulatan negara, sekaligus tidak menggugah ambisi personel militer aktif untuk engage dalam politik kekuasaan.
Demikian pola yang mendudukkan relasi militer-sipil dalam penyelenggaraan negara. Diharapkan TNI mampu profesional sesuai fungsi dan tugas yang diemban. Di sisi lain, kedudukan civil society pun terus menguat.
IV. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis mengajukan kesimpulan sebagai berikut:
1. Upaya mengembalikan dwifungsi ABRI dengan membuka peluang TNI aktif untuk menduduki jabatan strategis merupakan wujud intervensi militer. Dimungkinkan akibat dari lemahnya tingkat institusionalisasi negara, krisis legitimasi karena ketidakmampuan para elite menyelesaikan permasalahan politik, serta masyarakat terpecah-pecah yang gagal saling percaya dan tidak bersepakat dalam mengelola permasalahan negara.
2. Dampak TNI aktif menduduki jabatan strategis di lembaga negara/pemerintah terhadap kedudukan civil society antara lain; masyarakat sipil berubah menjadi masyarakat pretorian, rezim cenderung otoriter (represif), kebebasan rakyat terbelenggu, dikotomi sipil-militer menguat, pelanggengan kekuasaan otoriter, serta menghambat proses demokratisasi hingga berpotensi mengantar pada kematian demokrasi.
3. Pola terbaik mendudukkan posisi TNI dalam penyelenggaraan negara agar kedudukan civil society kuat yaitu; menguatkan profesionalitas TNI berdasarkan peran, fungsi, dan tugas TNI. Kemudian bila supremasi sipil dipandang perlu diwujudkan, munculnya politikus-politikus sipil tangguh dan berintegritas kepribadian tinggi menjadi keniscayaan. Dan perlu diingat bahwa ujung tombak supremasi sipil adalah masyarakat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Huntington, Samuel P., 1968, Political Order in Changing Societies, New Heaven, CT: Yale University Press.
Kennedy, Gavin, 1975, The Military and The Third World, New York, Scribner.
Perlmutter, Amos, 1981, The Political Roles and Military Rulers, London, Routledge.
Said, Salim Haji, 2018, Ini Bukan Kudeta: Reformasi Militer Indonesia, Mesir, Thailand, dan Korea Selatan, Bandung, Mizan.
Tabik…!
Ditulis 2023