Ketika Istana Mengolah Kepala Babi: Resep Ketidakpekaan di Tengah Ramadan

Paul MS d’Flo

(Pemerhati Kebijakan Publik, Mantan Aktifis Pers Kampus Mahasiswa 90an)

Bayangkan ini: sebuah istana megah, penuh dengan penasihat dan juru bicara yang digaji untuk berpikir sebelum berbicara. Tapi entah bagaimana, di dapur komunikasi istana, tersaji hidangan paling tidak layak sepanjang sejarah republik “kepala babi dimasak aja.”

Ya, inilah resep terbaru yang disajikan oleh Hasan Nasbi, juru bicara resmi presiden. Sebuah pernyataan yang begitu renyah dalam absurditas, begitu kaya akan rempah sinisme, dan begitu gurih dalam mengolok-olok akal sehat publik. Tidak ada garam kepekaan, tidak ada bumbu empati, hanya hidangan kebodohan yang disajikan dingin di tengah bulan Ramadan.

Di saat wartawan mendapat ancaman nyata sebuah kepala babi di depan kantor Tempo, simbol kekerasan yang sarat pesan gelap  istana justru menjadikannya lelucon dapur. Seolah-olah keselamatan masyarakat, khususnya mereka yang kritis, hanyalah lauk tambahan dalam menu kekuasaan.

Presiden dan Setengah Kata yang Penuh Makna

Tentu, setiap kata yang keluar dari istana bukan sekadar gumaman dapur. Ini bukan warung kopi tempat bercanda jorok tanpa konsekuensi. Ini adalah representasi kepala negara. Jika juru bicara mengatakan “kepala babi dimasak aja,” itu bukan sekadar ucapan pribadi. Itu adalah resonansi dari puncak kekuasaan. Maka, pertanyaan yang wajar muncul: setengah dan sebodoh itukah presiden?

Apakah seorang kepala negara bisa begitu tidak peduli hingga humasnya berbicara seenaknya, tanpa rasa hormat pada masyarakat yang sedang berpuasa, tanpa rasa tanggung jawab pada keamanan warganya sendiri? Ataukah ini sekadar wajah asli dari istana yang terlalu lama hidup dalam gelembung kekuasaan, sehingga mereka lupa bagaimana rasanya menjadi rakyat biasa?

Hasan Nasbi: Bayangan Lama di Rezim Baru

Hasan Nasbi sendiri bukan sosok baru. Ia bagian dari mesin politik lama, warisan era Jokowi yang ahli dalam memellintir logika publik, yang kini tampaknya masih punya sisa-sisa pengaruh  kuat di istana.

Kini ia hadir di era Prabowo, dengan gaya komunikasi yang sama, seolah olah menjelaskan tak ada transisi kekuasaan yang berarti, namun hanya sekadar keberlanjutan politik akomodasi, atau justru bagian dari skenario besar yang pernah disebut Profesor Conny Rahakundini  bahwa masa jabatan Prabowo hanyalah jembatan menuju dinasti baru akan digantikan Gibran ditengah jalan, dan apakah ia bagian dari skenario operasi besar itu?

Pernyataannya hasan yang sembrono bukan sekadar kesalahan komunikasi, tetapi mungkin sebuah tanda bahwa lingkar dalam  istana sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar “memasak kepala babi.”

Ironi di Tengah Bulan Suci

Di bulan yang mestinya penuh refleksi dan kesucian, istana justru memilih menghina akal sehat. Jika komunikasi kepresidenan saja bisa sebercanda ini, bagaimana dengan kebijakan yang menyangkut hidup orang banyak? Apakah nanti, jika ada ancaman lain terhadap kebebasan pers, istana hanya akan berkata, “Ah, itu biasa, disate saja”?

Mungkin, dalam logika istana hari ini, kepekaan adalah kemewahan yang tidak perlu. Dan bagi mereka yang berharap pada kepemimpinan yang lebih bijaksana, harapan itu mungkin hanya akan menjadi hidangan yang terus-menerus dimasak tapi tak pernah matang.