Lindungi Pengguna Ijasah Palsu UGM Lakukan Kejahatan Berencana Kontra Budaya Akademi dan Mutu

Damai Hari Lubis
Pengamat KUHAP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Menanggapi tuduhan publik (Rismon Hasiholan Sianipar)  Ijazah Jokowi 100 milyar persen adalah Palsu berdasarkan proses digitalisasi diantaranya adanya hasil temuan lembaran pengesahan skripsi Jokowi terdiri dari 2 zaman yang berbeda dan kertasnya masih bersih dan putih tidak ditandatangani dan cover skripsi Jokowi menggunakan percetakan melalui jenis software komputer yang lahir antara tahun 1992 dan 2007. Tentu saja software tipe 1992-2007 (time new roman) belum ada pada tahun 1985, saat Jokowi di wisuda, selain itu terdapat nama-nama di album Wisuda sebagai alumni di UGM yang tidak ditemukan ketika dilacak oleh Rismon”

Tanggapan Guru Besar Hukum Pidana mewakili Rektor UGM Profesor Ova

Terhadap tuduhan Ijazah Jokowi Palsu oleh Rismon ditanggapi oleh Guru Besar Hukum Pidana UGM, Marcus Priyo Gunarto,  yang menyatakan, bahwa tuduhan  terhadap Joko Widodo telah melakukan tindakan pemalsuan ijazah dan skripsi harus bisa dibuktikan oleh Rismon..

Padahal Risman sudah cukup tegas membuat dan lugas memaparkan data tentang tuduhannya dengan value kepakarannya, bahkan mengajak bertemu “reuni” diskusi mengupas seluruh peristiwa yang memalukan insan penghuni dan alumni dan warga bangsa yang ‘mencintai Kampus Biru’.

Sayang bantahan Marcus Sang Guru Besar Pidana UGM tidak menggunakan digitalistik melainkan sekedar omon-omon, dan dari bantahannya terdapat dua hal untuk mematahkan tuduhan Jokowi Ijazah Jokowi Palsu,

1. Ada dua tindakan kategori pemalsuan dalam tindak pidana, yakni bahwa membuat palsu dan memalsukan. Membuat palsu, artinya dokumen asli tidak pernah ada namun pelaku membuat surat atau akta dalam hal ini ijazah, seolah-olah itu ada dan asli padahal sebelumnya tidak pernah ada. “Itu namanya membuat palsu,” tegasnya Selanjutnya, soal tindakan memalsukan, dalam hal ini ijazah atau skripsi yang dulunya pernah ada, tetapi mungkin rusak atau hilang, kemudian membuat dokumen baru seolah-olah itu adalah asli. “Dua duanya adalah kejahatan, dan ada ancaman pidana.

Maka oleh Marcus terhadap perilaku tindak pidana Ini, “(Rismon) tidak jelas yang dituduhkan, memalsukan atau membuat palsu” namun judulnya adalah palsu, yang melanggar moral dan etika, dan seolah UGM atau negara tidak berkemampuan untuk membuat duplikasi andai benar ijazah seorang alumnus hilang atau rusak sesuai “rekayasa” Marcus, karena UGM yang sebenarnya  refleksi negara dalam bidang pendidikan, pastinya dapat membantu alumnus yang  kehilangan ijazah atau rusaknya ijazah, dengan mengeluarkan sertifikat atau ijazah melalui seizin dan sepengetahuan Dikti Kemendiknas (dulu Depdikbud/ PDK) sehingga berkekuatan hukum sama, sah dan mengikat untuk digunakan.

2. Soal bukti fisik skripsi atau ijazah menggunakan huruf time new roman atau memiliki kemiripan dengan font tersebut, kata Marcus, seharusnya Rismon tidak hanya melihat dari skripsi atau ijazah milik Joko Widodo semata namun membandingkan dengan skripsi dan ijazah dengan lulusan Fakultas Kehutanan UGM lainnya. Bahkan membandingkan skripsi yang diterbitkan di Fakultas Kehutanan di tahun-tahun sebelum Joko Widodo yang tentu status hukum objek ijasah pembandingnya pun pasti tidak ada kejelasan sama dengan milik Jokowi dengan catatan hukum dan hasil labkrimfor ilmiah, sepanjang ijazah pembanding berbeda dengan yang asli ijazah yang dikeluarkan oleh UGM, baik jenis kertasnya, pengetikan skripsi dan stempel, cover skripsi serta buku wisuda.

Teori Marcus Guru Besar UGM Omon-Omon mengenyampingkan kebenaran Substantif

Teori yang disampaikan oleh guru besar hukum pidana UGM secara birokrasi, merupakan representatif dari Rektor UGM dan indikasi narasinya adalah:

1. Bahwa rektor UGM sebagai pejabat publik penyelenggara negara dan ilmuwati, Prof. Dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Ph.D. lebih memilih debat kusir melalui Guru Besar Hukum Pidana UGM (Marcus) dibanding melalui metode diskusi ilmiah (akademik), padahal UGM adalah sebuah tempat sumber ilmu pengetahuan (science center);
2. Prof Ova melalui Marcus menghadapi tuduhan UGM “sarang mafia ijasah Palsu” jika merujuk teori konspiratif, dan ambigu terhadap peran edukatif atau fungsi perguruan tinggi, karena tanggapan UGM terbukti subjektif dalam proses temuan mencari kebenaran materil tidak gunakan proses upaya hukum (litigasi). Sebaliknya pihak rektor lebih tendensi berposisi sekedar minta bukti kepada para penuduh Jokowi Ijazah palsu?  Padahal representatif dari publik sudah menyampaikan fakta dan data melalui pakar tekhnologi Informasi dan telematika, sesuai fungsi profesionalitas dan akuntabilitas bahkan publik juga membuktikan fakta yang terungkap di persidangan perkara pidana di PN. Surakarta dan Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bahwa disaksikan oleh para pengunjung sidang dan insan pers, ‘Jokowi tidak dapat membuktikan memiliki ijasah asli S 1’ dari Fakultas Kehutanan UGM.

Oleh karenanya terhadap segala gejala-gejala fenomena daripada perkembangan atas tuduhan publik dan bantahan tuduhan oleh pihak (representatif)  UGM justru asumsi publik semakin bertambah kuat terhadap TUDUHAH JOKOWI MENGGUNAKAN IJAZAH PALSU  walau sekeras apapun penilaian dan penolakan dari UGM jika ternyata sekedar subjektif atau kontra ilmu pengetahuan (unscientific).

UGM dipastikan memahami sample terhadap cover skripsi dapat dibuktikan secara data ilmiah, bahwa kemampuan software komputer pada tahun 1985 mustahil keberadaannya dapat menyerupai kemampuan hasil tekhnologi /dengan jenis software 1992 sesuai data kelahiran teknologi dibidang tehnik komputer, bahwa tipe font Times New Roman dan Renard adalah contoh sebagai font default di Microsoft Word antara tahun 1992 dan 2007. Artinya belum ada pada tahuan 1985 namun sudah digunakan oleh Jokowi dan beberapa oknum yang mengaku temannya yang menurut kajian Iptek kuat diduga juga sama-sama palsu (atau perilaku /kejahatan) namun dilindungi atau mendapat pembenaran oleh orang yang tidak bertanggungjawab di rektorat UGM dan melibatkan para oknum civitas akademika bahkan bekas orang tertinggi di UGM.

Dan tentunya demi misteri terungkap jelas dan dapat dipertanggungjawabkan seluruh pelaku (pleger, medepleger) Ijasah Palsu pada kurun font times new roman yang default oleh perangkat microsoft word 1992-2007, perlu diinvestigasi oleh publik apakah Ijasah Palsu yang dituduh publik, adalah untuk digunakan mendaftarkan diri di KPU D Surakarta pada tahun 2005 pada jelang kontestasi pilkada Solo ?

Alhasil, semakin mencurigakan, maka apa sebab pertimbangan UGM melalui Guru Besar HUkum Pidana malah serius mengajak perbandingan gunakan kasat mata terhadap skripsi dan ijazah? Menolak diskusi ilmiah, atau memberlakukan asas keterbukaan informasi publik Jo. good governance vide UU. KIP dan Undang-Undang Anti KKN atau demi kebenaran, kepastian dan keadilan, serta citra dan historis UGM termasuk menghindarkan sarkastik ‘pelacur intelektual,’ maka guru besar pidana ideal lakukan upaya hukum demi mencari kebenaran substantif (mareriele waarheid). Sekaligus UGM menolak tuduhan melakukan konspirasi politik sehingga civitas akademika yang mengetahui hal perbuatan tercela di kehidupan perguruan tinggi (kaum intelektual) ternyata memiliki watak yang moral hazard, karena UGM dituduh menjadi sarang mafia ijasah palsu, karena mengeluarkan atau setidak-tidaknya membenarkan data palsu yang dilakukan oleh pihak internal atau eksternal dari Civitas Perguruan Tinggi (UGM) atau siapapun pelakunya sekalipun Jokowi yang publik kenal sebagai sosok eks presiden  pembohong besar (big liar atau King of lip service).

Sehingga UGM disfungsi dari tempat yang sebenarnya bermukim para insan cerdas, proses menemukan serta menggali ilmu pengetahuan (science/knowledge) dan tempat lahirnya banyak kaum intelektual. Karena UGM seolah menolak akan adanya temuan objektivitas hasil proses digital forensik (laboratorium), justru lebih mengutamakan dengan perbandingan melalui pandangan mata, terhadap beberapa barang yang kesemuanya justru bukan produk UGM (palsu atau melegitimasi ijazah yang palsu menjadi ASPAL).

Maka berdasarkan naluri seorang advokat, patut diduga diantara pejabat penyelenggara negara di luar dan internal UGM dan pejabat publik aktif dan non aktif atau eks pejabat internal di UGM keras diduga telah melakukan teori konspirasi melindungi praktik penggunaan Ijazah palsu, namun kini para orang pandai di UGM ingin membersihkan jejak kotor mereka dengan logika terbalik, yaitu berusaha menutupi aurat malu milik tokoh UGM dan Jokowi, namun konsepnya keliru, justru mereka semakin menyingkap pakaian dari tubuh mereka, yakni dengan menolak atau kontraproduktif terhadap metode pembuktian ilmiah. Sehingga dari fenomena yang ada budaya UGM sungguh memalukan, kontra dengan budaya akademik dan budaya mutu.