Hizbullah Indonesia:

SAATNYA MELAWAN PRABOWO (9): Bertentangan Dengan Dunia, Wowok Mau Membawa Angkatan Bersenjata RI Mundur Ke Arah Kediktatoran Militer…

Sri-Bintang Pamungkas

Sesudah Perang Dunia ke Dua berakhir, hanya tercatat 3 orang militer yang memegang tampuk pemerintahan, yaitu Dwight D. Eisenhower dari AS, Charles de Gaulle dari Perancis dan Joseph Stalin dari Uni Soviet Rusia. Stalin memimpin Rusia dari 1924 sampai 1953. Sedang Inggris sebagai kelompok pemenang perang tetap mempertahankan Pemerintahan Sipil, meskipun selama dan sesudah perang dipimpin oleh PM. Winston Churchil, orang partai, yang pernah menjadi Perwira Tinggi. Pilihan terhadap Eisenhower dan de Gaulle tentulah dengan pertimbangan pasca perang dan akibatnya terhadap situasi di dalam negeri mereka

Soekarno dan Hatta tidak pernah memimpikan adanya pemerintahan militer, sebab perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Jepang seluruhnya dilakukan oleh orang-orang sipil; bahkan polisi dan tentara pun belum ada…
Baru menjelang kemerdekaan, dengan bantuan penguasa militer Jepang, terbentuklah Pembela Tanah Air (Peta) oleh para Pemuda dan Pelajar Indonesia.

Peta berhasil merebut senjata-senjata Jepang dan melakukan pemberontakan serta berhasil ikut dalam perang di Jakarta dan sekitarnya untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno-Hatta juga tidak pernah memikirkan adanya seorang Presiden RI dari kalangan militer  baik aktif maupun non-aktif. Negara-negara baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin juga menerapkan Sistim Pemerintahan Sipil, kecuali beberapa negara saja di Afrika. Memang begitulah cara Dunia menyelenggarakan Negara yang baik dan benar.

Memang pada 17 Oktober 1952, Kasad, Jenderal Nasution, bersama beberapa Pangdam, sempat mengarahkan moncong meriam-meriamnya ke arah Istana Merdeka, menuntut keikutsertaan TNI dalam Politik Kenegaraan. Tetapi berkat Bung Hatta persoalan itu bisa diselesaikan: ABRI memang harus ikut diajak bicara. Banyak orang mengira bahwa Peristiwa itu adalah awal dari munculnya Dwi-Fungsi ABRI yang kemudian diberlakukan di jaman Soeharto. Akan tetapi, ketika Soeharto secara terang-terangan “meng-Golkar-kan ABRI” melalui ABG (ABRI-Birokrat-Golkar), Nasution menolak dengan membentuk Petisi 50 bersama-sama para Purnawirawan ABRI lainnya. Bung Hatta diminta sebagai Pembina/Penasehat Petisi; dan Bang Ali Sadikin dipilih sebagai Pelaksana Hariannya.

Apa yang dilakukan Rezim Soeharto bukan sekedar Dwi-Fungsi, melainkan militerisasi dan militerisme. Pada awalnya dimaksud sebagai “pengaman” terhadap pentingnya “Stabilitas” dalam konsep Trilogi Pembangunannya (Pertumbuhan-Pemerataan-Stabilitas). Tetapi kemudian mbablas dengan maksud mempertahankan Kekuasaan terus-menerus. Direkrutlah orang-orang angkatan bersenjata dari Polri dan TNI untuk menduduki berbagai jabatan, termasuk di DPR/MPR, demi mengamankan dirinya dan kekuasaannya, termasuk mencurangi Pemilu-pemilu. Soeharto membagi-bagikan kekayaan Negara seperti HPH (Hak Pengusahaan Hutan) kepada para Jenderal. Kolonel-kolonel juga bisa mendapatkan jabatan Bupati; sedang Jenderal bisa menjadi Gubernur.

Pendekatan Keamanan dengan cara-cara militer juga dilakukan Soeharto. Polisi dan TNI pun dikerahkan untuk melarang unjukrasa, pernyataan pendapat dan lain-lain, karena “segala bentuk oposisi dilarang”. Maka dibunuhlah aktivis buruh wanita Marsinah dari Sidoarjo dan wartawan Udin dari Semarang. Demikian pula terjadilah banyak peristiwa pembunuhan terhadap rakyat, seperti Peristiwa Malari, Tanjung Priok, Talangsari, Diponegoro 58, Trisakti dan Semanggi. Soeharto juga mendorong Anggota ABRI untuk sekolah di Sekolah-sekolah Tinggi agar bisa menduduki jabatan-jabatan dengan keahlian tinggi yang selama ini merupakan lahannya orang-orang sipil. Untuk mudahnya, orang menyebutnya Dwi-Fungsi ABRI.

Sesungguhnya ABRI dipersenjatai tidak untuk menghadapi rakyat dengan kekerasan senjata, apalagi membunuh. Itulah yang ada di dalam Perjanjian Luhur 22 Juni 1945 sebagai Piagam Jakarta yang kemudian diangkat menjadi Pembukaan UUD 1945: Bahwa didirikannya Pemerintah Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Republik Indonesia…

Oleh sebab itu Polri diberi tugas menjaga Keamanan dan Ketertiban; dan TNI Mempertahankan Negara. Mereka dijauhkan dari kontak senjata dengan masyarakat; kecuali kepada para penjahat dan kriminal. Dalam berbagai operasi umum, Polisi dilarang membawa senjata pembunuh, melainkan pentungan. Sedang TNI berfungsi sebagai kombatan, terutama dalam menghadapi musuh dari luar, untuk melindungi dan mempertahankan Kedaulatan Negara, Rakyat, Wilayah dan Kekayaan Negara.

Sebagai tentara di bawah Orde Baru dan menantu Soeharto, Wowok mempunyai pengalaman sejarah personal yang mengerikan: Membunuh, Menyiksa, Menghilangkan dan Menculik para Aktivis. Meskipun sudah dihukum dengan pemecatan dari TNI, tapi masih saja terlihat sifat dan perilakunya yang menggunakan kekerasan dan cara-cara militer untuk mewujudkan keinginan dan kemauannya. Belum habis rakyat dari teror Judi, Narkoba, Pemerasan, Pembunuhan dan lain-lain oleh Polri selama 10 tahun pemerintahan Negara Kepolisian di bawah Rezim Wiwik; sekarang harus menghadapi Pemerintahan Militer di bawah Rezim Wowok. Dalam situasi negara sedang rusak-rusakan selama 20 tahun terakhir, kita pun harus menghadapi musuh-musuh Asing di Dalam Negeri dan Luar Negeri…

Di Dalam Negeri, kita menghadapi para Oligarki Konglomerat Cina yang sudah merampok tanah Rakyat, Wilayah dan Kekayaan RI di depan mata dan hidung kita. Demikian pula harus dibangun kewaspadaan tinggi (high alert) terhadap musuh-musuh dari Luar Negeri, baik RRC yang jelas-jelas sudah mengirimkan jutaan opsir-opsirnya ke dalam wilayah RI maupun AS beserta koalisi Baratnya yang selalu mengincar Kedaulatan RI. Maka seharusnya Wowok meningkatkan Kekuatan ABRI untuk menghadapi musuh-musuh Republik tersebut dengan tindakan nyata dan cara-cara profesional… Tidak untuk melindungi para Oligarki Konglomerat Cina dan bermitra dengan para Kolonialis Asing…

Dan apabila Wowok tidak ingin kejatuhan Soeharto terulang kembali, maka militerismenya itu tidak untuk menghadapi Rakyat dan Masyarakat Sipil pada umumnya. Sebuah Peringatan bagi Rezim Wowok untuk tidak mengulangi Dwi-Fungsi ABRI serta Militerisasi dan Militerisme Orde Baru… Negara-negara di Dunia sudah lama mewaspadai risiko memilih presiden dari kalangan angkatan bersenjata… Tetapi Republik Proklamasi 1945 sudah kecolongan beberapa kali, akibat dari para Pengkhianat Domestik…

Jakarta, 23 Maret 2025
@SBP