Aparat Menyerang Posko Medis Demo Penolakan Pengesahan UU TNI di Malang: Apakah Demonstrasi Lebih Brutal dari Perang?
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Blaise Pascal pernah berujar, “Keadilan tanpa kekuatan adalah ketidakberdayaan; kekuatan tanpa keadilan adalah tirani.” Seandainya Pascal hidup di Indonesia hari ini, ia mungkin akan menulis ulang kutipannya menjadi: “Demonstrasi tanpa kekerasan adalah utopia; demonstrasi dengan kekerasan adalah tradisi.”
Mendadak demontrasi penolakan pengesahan UU TNI di Malang masuk headline dan viral. Demo penolakan pengesahan UU TNI yang sejatinya jadi ajang menyuarakan kritik, malah menjelma jadi gladiator modern di mana semua yang bernafas berpotensi jadi sasaran. Tak peduli apakah Anda demonstran, pengamat netral, pembagi takjil, atau—lebih ironis lagi— awak media dan tenaga medis.
Ya, tenaga medis. Golongan yang dalam peperangan sekali pun harus dihormati, kini justru dipukuli dalam demo. Padahal Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 sudah dengan gamblang menyatakan bahwa “Medical units and transports shall be respected and protected at all times and shall not be the object of attack.” Tapi rupanya, ini Indonesia, Bung! Negara di mana hukum internasional hanyalah aksesoris seminar, dan pasal-pasal perlindungan hanya seindah hiasan dinding di kantor pemerintahan.
Pakar hukum humaniter, Jean Pictet, pernah menekankan bahwa dalam perang, netralitas medis adalah prinsip sakral yang tak boleh diganggu gugat. Sayangnya, teori ini tampaknya tak masuk kurikulum pelatihan aparat. Buktinya, posko medis yang seharusnya jadi tempat aman malah jadi ajang latihan pukul bagi mereka yang seharusnya melindungi. Mayoritas korban? Perempuan. Ironis? Tentu. Mengejutkan? Tidak.
