JAKARTASATU.COM – Di tengah kenaikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024, kondisi demokrasi justru mengalami penurunan yang mengkhawatirkan. Fakta ini terungkap dalam Workshop ‘Kebijakan Publik dan Demokrasi’ yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Indonesia Corruption Watch (ICW) di Sekretariat AJI Jakarta, Minggu (23/3). Acara ini menghadirkan puluhan jurnalis dari berbagai media serta dua narasumber utama: Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Amir Arief, serta aktivis hak-hak perempuan dan ahli politik, Siti Musdah Mulia.
Kenaikan Indeks Persepsi Korupsi yang Menipu?
Amir Arief mengungkapkan bahwa IPK Indonesia pada 2024 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, dari 34 menjadi 37. Namun, ia menegaskan bahwa kenaikan ini bukanlah indikasi membaiknya kondisi antikorupsi di Indonesia, melainkan karena penambahan satu indikator dalam penghitungan IPK, yaitu World Economic Forum Executive Opinion Survey (WEF EOS).
“Kalau kita berbangga indeks persepsi korupsi kita naik, jangan bangga dulu. Kondisi antikorupsi tidak membaik sebenarnya di tahun 2024,” ujar Amir. Ia menjelaskan bahwa indikator yang berkaitan dengan ekonomi memang mengalami peningkatan, tetapi indikator demokrasi justru mengalami kemunduran.
Salah satu indikator yang mengalami penurunan signifikan adalah Varieties of Democracy Project, yang nilainya turun dari 25 pada 2023 menjadi 22 pada 2024. “Kesehatan demokrasi kita malah turun di tahun 2024. Tapi kita terbantunya oleh World Economic Forum,” tambah Amir.

Politik Identitas dan Kemunduran Demokrasi
Sementara itu, Siti Musdah Mulia menyoroti pengaruh politik identitas yang semakin marak di Indonesia. Menurutnya, politik identitas menjadi faktor utama yang menghambat perkembangan demokrasi di Tanah Air.
“Politik identitas adalah cara paling murah dan mudah untuk melakukan mobilisasi massa dalam kontestasi politik,” ungkap Musdah. Ia menjelaskan bahwa politik identitas efektif dalam menggugah emosional individu dan masyarakat, menciptakan momentum bagi kelompok Islamis atau Islam formalis, serta terus dimanfaatkan selama daya kritis masyarakat masih rendah.
Meski demikian, Musdah menegaskan bahwa politik identitas tidak selalu berbahaya. “Namun, ia menjadi ancaman ketika digunakan untuk menempatkan satu identitas dalam posisi superior, sementara identitas lain dianggap subordinat,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa politik identitas yang digunakan tanpa kritik dapat menciptakan jurang pemisah antarkelompok dalam masyarakat.
Musdah juga menyoroti dampak pragmatisme politik yang mengaburkan batas antara agama dan negara. Ia mengingatkan bahwa politik identitas sering kali digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek, sementara negara dijadikan tameng pembela agama demi kekuasaan semata. Akibatnya, intoleransi dan persekusi di ruang publik semakin meningkat.
“Politik identitas juga akan menghambat demokrasi. Sebab, politik identitas hanya akan tumbuh di negara yang tidak inklusif dan toleran,” pungkasnya.
Tantangan Demokrasi dan Masa Depan Antikorupsi
Workshop ini menggarisbawahi tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam menjaga kualitas demokrasi dan pemberantasan korupsi. Meski IPK menunjukkan kenaikan secara angka, kenyataan di lapangan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Penurunan indeks demokrasi, maraknya politik identitas, serta rendahnya daya kritis masyarakat menjadi tantangan utama bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Dalam konteks ini, peran media dan masyarakat sipil menjadi sangat krusial dalam mendorong transparansi, menumbuhkan daya kritis, serta memperkuat penegakan hukum guna menghindari jebakan pragmatisme politik yang merugikan demokrasi. Tanpa langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kondisi demokrasi, peningkatan Indeks Persepsi Korupsi yang terjadi saat ini bisa jadi hanya sebatas ilusi statistik tanpa perbaikan nyata di lapangan.|WAW-JAKSAT