Krisis Likuiditas BMT: Pelajaran dari Kasus Berulang, Resiko Tersembunyi Tanpa LPS

Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan

Banyaknya pesan yang masuk atas kejadian beberapa hari ini terkait koperasi, Saya harus menulis tentang fakta bodongnya likuiditas koperasi. Fenomena kesulitan koperasi/ yang sering ngeklaim Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dalam mengembalikan dana tabungan nasabah kembali menjadi sorotan. Setelah kasus BMT Mitra Umat Pekalongan yang mencuat persis satu tahun yang lalu dan belum selesai hingga hari ini, kini kejadian serupa terjadi di sejumlah BMT/ KSPPS (Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah) lain di Pekalongan menjelang lebaran 2025. Fakta ini menegaskan kembali adanya pola masalah yang berulang. Inti permasalahan ini terletak pada model bisnis BMT/ KSPPS yang sangat bergantung pada dana tabungan nasabah untuk disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan. Ketika terjadi kredit macet atau penarikan dana besar-besaran, BMT mengalami tekanan likuiditas yang sangat tinggi hingga akhirnya gagal memenuhi kewajiban kepada nasabah.

Secara konsep, BMT/ KSPPS beroperasi dalam bentuk koperasi berbasis syariah, yang berarti mereka tidak memiliki modal inti seperti bank. Bank diwajibkan oleh regulasi untuk memiliki modal yang berasal dari pemilik atau investor sebagai buffer dalam menjaga likuiditas. Sebaliknya, BMT/ KSPPS hanya mengandalkan dana dari nasabah— baik tabungan maupun simpanan berjangka—untuk kemudian diputar dalam bentuk pembiayaan kepada anggota lain.

Ketika banyak nasabah menarik dana secara bersamaan, misalnya menjelang Lebaran (tabungan hari raya) atau Idul Adha (tabungan kurban), BMT/ KSPPS harus mengembalikan uang tersebut meskipun dana yang dimiliki sedang tersangkut di pembiayaan yang belum jatuh tempo atau mengalami kredit macet. Tanpa adanya modal inti yang cukup sebagai penyangga likuiditas, BMT/ KSPPS cenderung kewalahan, bahkan berujung gagal bayar.

Salah satu kelemahan mendasar BMT/ KSPPS yang jarang dipahami oleh masyarakat adalah bahwa simpanan di BMT/ KSPPS tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Berbeda dengan bank yang memiliki perlindungan LPS hingga Rp. 2 miliar per nasabah jika terjadi kebangkrutan, tabungan di BMT/ KSPPS sepenuhnya bergantung pada kesehatan keuangan koperasi itu sendiri dan amanah tidaknya para pengurus dan pengelola. Jika terjadi masalah likuiditas atau bahkan kolaps, nasabah berisiko kehilangan seluruh simpanannya.

Banyak nasabah yang tergiur dengan iming-iming bagi hasil tinggi di BMT/ KSPPS tanpa memahami risiko. Padahal, dengan tidak adanya jaminan dari LPS, keamanan dana nasabah sangat bergantung pada keberlanjutan operasional BMT tersebut. Jika pengelolaan keuangan tidak hati-hati atau ada unsur moral hazard dalam manajemennya (culas dan rampok), dana nasabah bisa terancam hilang.

Selain ketergantungan penuh pada dana nasabah, masalah utama lainnya adalah kualitas pembiayaan yang dilakukan oleh BMT/ KSPPS. Dalam banyak kasus, BMT/ KSPPS menghadapi kredit macet dalam jumlah besar karena lemahnya manajemen risiko dalam menyalurkan pembiayaan. Tidak sedikit BMT/ KSPPS yang memberikan pembiayaan kepada anggota tanpa analisis kelayakan usaha yang memadai, sehingga potensi gagal bayar sangat tinggi.

Ketika banyak pembiayaan yang bermasalah, aliran dana ke BMT/ KSPPS terganggu, membuat mereka kesulitan mengembalikan simpanan nasabah yang ingin menarik dana. Di sinilah perbedaan mencolok antara BMT dan bank: bank memiliki mekanisme mitigasi risiko yang lebih kuat, termasuk cadangan modal, diversifikasi investasi, serta akses ke sumber dana lain seperti pasar keuangan atau fasilitas pinjaman dari Bank Indonesia.

BMT/ KSPPS, di sisi lain, sangat terbatas dalam mencari sumber dana alternatif jika terjadi krisis likuiditas. Biasanya ngemis ke Bank untuk menutup likuiditas. Saat bank tidak acc, hancur sudah.

Masalah ini semakin parah ketika terjadi penarikan dana besar-besaran dalam waktu singkat, seperti saat menjelang Lebaran atau Idul Adha, di mana nasabah berbondong-bondong menarik tabungan mereka yang telah dikumpulkan untuk kebutuhan hari raya atau kurban. BMT/ KSPPS yang tidak memiliki cadangan likuiditas memadai akan mengalami tekanan besar dan berpotensi gagal memenuhi permintaan tersebut.

Jika satu atau beberapa BMT/ KSPPS mengalami gagal bayar dalam waktu yang berdekatan, kepanikan dapat menyebar ke BMT/ KSPPS lain, memicu efek domino yang bisa berujung pada krisis kepercayaan terhadap koperasi secara keseluruhan. Hal ini semakin diperparah oleh fakta bahwa BMT/ KSPPS sering kali beroperasi di lingkungan komunitas yang saling terhubung, sehingga kabar buruk dengan cepat akan menyebar dan mempengaruhi keputusan para nasabah di BMT/ KSPPS lain.

Pelajaran dari kasus berulang ini adalah pentingnya literasi keuangan bagi masyarakat sebelum menaruh dana mereka di BMT atau lembaga keuangan berbasis koperasi lainnya. Banyak nasabah yang menganggap BMT/ KSPPS sama amannya dengan bank tanpa menyadari bahwa sistem perlindungannya sangat jauh berbeda.

(1) Jangan hanya melihat iming-iming bagi hasil tinggi, tetapi pahami bahwa dana di BMT/ KSPPS tidak dijamin oleh pemerintah seperti di bank. Jika terjadi masalah keuangan, dana bisa jadi sulit kembali dan berlarut larut. (2) Pastikan BMT/ KSPPS memiliki laporan keuangan yang transparan, diaudit secara berkala, dan memiliki rasio keuangan yang sehat. (3) Jangan menaruh seluruh tabungan di BMT/ KSPPS, terutama untuk kebutuhan jangka panjang. Diversifikasi dana ke lembaga keuangan lain yang lebih stabil. (4) Ingat, BMT/ KSPPS hanya mengandalkan dana nasabah untuk diputar kembali, berbeda dengan bank yang memiliki modal sendiri. Ini membuat BMT/ KSPPS lebih rentan terhadap risiko likuiditas. (5) Beberapa oknum mendirikan BMT/ KSPPS dengan skema yang tidak sehat, mengandalkan dana nasabah baru untuk membayar yang lama, mirip dengan skema ponzi dan ceruk money laundry. Pastikan BMT/ KSPPS yang dipilih beroperasi dengan prinsip syariah yang benar dan memiliki pengawasan yang baik dari pemerintah.

Fenomena BMT/ KSPPS yang mengalami kesulitan mengembalikan dana nasabah jika tidak ada perbaikan sistemik dari pemerintah, kasus serupa akan terus berulang bagai bom waktu. Regulasi yang tegas diperlukan untuk memastikan BMT memiliki cadangan likuiditas yang cukup. Pengawasan pemerintah harus lebih diperketat terhadap pembiayaan yang diberikan, pemerintah jangan abai atau bahkan menghindar dari tanggung jawab serta harus ada mekanisme perlindungan yang jelas dan pasti bagi nasabah. Pemerintah harus hadir ketika masalah koperasi bermunculan, jangan berlindung di balik kata kewenangan dan nomenklatur, itu basi dan hanya ingin lari dari tanggung jawab.

Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih cerdas dalam memahami risiko menabung di lembaga keuangan non-bank seperti BMT/ KSPPS. Jangan hanya tergiur dengan janji keuntungan besar tanpa memahami resiko dan kelemahannya. Dengan kesadaran yang lebih baik, nasabah dapat menghindari risiko kehilangan dana akibat kegagalan BMT/ KSPPS dalam mengelola likuiditasnya.