Ini Kebodohan yang Sistematik, Malu Juga kita di Mata Dunia
Kepala Bappenas Rachmat Pambudy menilai program Makan Bergizi Gratis lebih mendesak dari lapangan kerja demi atasi krisis gizi.
Hmmm…Di negeri yang kaya sumber daya, rakyatnya masih berjuang sekadar untuk makan. Sementara di ruang-ruang ber-AC, pejabat tinggi dengan enteng berkata, “Gizi lebih penting daripada lapangan kerja.”
Pernyataan itu seperti tamparan bagi jutaan orang yang setiap hari bertaruh nyawa di jalanan, di pabrik, di ladang—berusaha mencari nafkah agar bisa makan, bukan sekadar mendengar ceramah tentang gizi. Tahun yang dijanjikan selama 10 tahun lalu 10 juta tenaga Kerja hanya wacana dna tak etecapai hanya 3 juta juga kurang. Pada periode ini dibawah Presiden Prabowo menjajikan 19 Juta. Eh…kepala Bapenasnya menilai program Makan Bergizi Gratis lebih mendesak dari lapangan kerja demi atasi krisis gizi.
Di pasar, seorang ibu menghitung receh, menimbang apakah cukup untuk sekilo beras atau sebutir telur. Di rumah-rumah kontrakan, para buruh yang baru di-PHK menatap anak-anak mereka yang masih berharap makan malam.
Di pinggir jalan, para pedagang kecil terusir, sementara di rapat-rapat besar, kebijakan dibuat oleh mereka yang tak pernah tahu arti lapar. Dunia menyaksikan.
Negara lain membangun kesejahteraan dengan menciptakan lapangan kerja, memastikan rakyatnya mampu membeli makanan bergizi. Sementara di sini, pejabat sibuk beretorika, seolah-olah rakyat bisa makan hanya dengan kata-kata. Ini bukan sekadar kebijakan yang keliru. Ini kebodohan yang sistematis. Dan yang lebih menyakitkan, ini adalah aib yang membuat kita malu di hadapan dunia.