MASIH soal pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi soal Teror Kepala Babi di Kantor Tempo. Ini Pernyataan kontroversial Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, itu atas insiden teror kepala babi di kantor Tempo sehingga memicu gelombang kritik dari berbagai pihak.
Alih-alih menunjukkan empati dan menegaskan komitmen pemerintah terhadap kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi, Hasan justru mengeluarkan komentar yang menyepelekan teror tersebut. Pernyataannya yang menyarankan untuk “memasak kepala babi” bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga berpotensi menjadi upaya pengalihan isu. Apa Anda makan Babi?
Ketika Pejabat Tak Berempati Dalam konteks ancaman terhadap jurnalis, respons pemerintah seharusnya tegas: mengecam teror, menjamin keamanan media, dan mendorong pengusutan kasus secara transparan. Jangan mengaburkan dan bikin sesuatu itu jadi absurd.
Sikap Hasan Nasbi justru bertolak belakang. Pernyataannya mengesankan bahwa ancaman terhadap pers bukanlah sesuatu yang serius, bahkan cenderung menjadi bahan candaan. Hal ini sangat berbahaya.
Jika pejabat komunikasi kepresidenan saja tidak memiliki kepekaan terhadap ancaman kebebasan pers, bagaimana publik bisa berharap bahwa pemerintah benar-benar berkomitmen melindungi jurnalisme kritis?
Pernyataan seperti ini bukan sekadar blunder komunikasi, melainkan refleksi dari sikap pemerintah terhadap demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Blunder atau Pengalihan Isu?
Ada dua kemungkinan dalam melihat sikap Hasan Nasbi: pertama, ia memang melakukan blunder komunikasi akibat ketidakpekaan dan ketidakmampuan membaca situasi. Kedua, ia sengaja membuat pernyataan kontroversial untuk mengalihkan perhatian publik dari substansi utama, yaitu ancaman terhadap kebebasan pers.
Strategi pengalihan isu seperti ini bukan hal baru dalam politik. Ketika sebuah kasus berpotensi menyeret pemerintah ke dalam pusaran kontroversi, sering kali muncul pernyataan atau tindakan yang cukup provokatif untuk menggeser fokus masyarakat.
Alih-alih membahas siapa pelaku di balik teror kepala babi dan kemudian Tempo dikirim Tikus ini bagaimana negara merespons ancaman terhadap Tempo, perhatian publik justru diarahkan pada kontroversi pernyataan Hasan Nasbi.
Jika ini benar-benar pengalihan isu, maka kita sedang berhadapan dengan strategi komunikasi yang berbahaya. Publik dibiarkan terpecah pada debat mengenai pernyataan Hasan, sementara substansi utama—yakni kebebasan pers yang terancam—bisa jadi semakin tenggelam.
Evaluasi Pejabat yang Tak Patut Dalam demokrasi yang sehat, pejabat publik harus bertanggung jawab atas ucapannya.
Jika seorang Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan tidak mampu menyampaikan pesan yang sesuai dengan semangat demokrasi, maka layak bagi Presiden untuk mengevaluasi posisinya.
Kasus ini bukan pertama kalinya Hasan Nasbi terlibat dalam kontroversi komunikasi. Sebelumnya, ia juga menghapus cuitannya tentang RUU TNI setelah menuai kritik. Pola ini menunjukkan bahwa ia tidak cukup cakap dalam mengelola komunikasi yang menjadi tugas utamanya.
Solidaritas terhadap Tempo dan kebebasan pers harus menjadi agenda utama. Negara tidak boleh diam dalam menghadapi teror terhadap media.
Jika pejabat komunikasi kepresidenan saja gagal memahami urgensi ini, maka wajar jika muncul tuntutan agar Presiden mempertimbangkan kembali apakah ia masih layak untuk mengemban tanggung jawab ini.
Teror terhadap jurnalis adalah ancaman nyata bagi demokrasi. Negara harus menunjukkan sikap tegas, bukan malah menghadirkan pejabat yang justru memperkeruh keadaan.
*) Wartawan dan analis di Pusat Kajian Komunikai Politik Indonesia (PKKPI)
Kemana 4 Ajudan Terbaik Presiden Prabowo?, Pengamat Militer : Ada Apa Ini Sesungguhnya?
JAKARTASATU.COM-- Pengamat Politik dan Militer Selamat Ginting mengatakan dalam pengamatannya ada hal...
Demo Mahasiswa Jangan Dikecam, Hendrajit: Tungku Perapian Yang Tak Boleh Padam
JAKARTASATU.COM-- Maraknya demonstrasi mahasiswa menolak Revisi Undang-undang TNI meskipun pemerintah dan DPR telah resmi...
Tantangan Pustakawan di Era AI
Oleh: Rokhmat Widodo, Pemerhati Literasi dan Kader Muhammadiyah Kudus
Dina adalah seorang pustakawan yang telah mengabdi selama lebih dari 15 tahun...
JAKARTASATU.COM - Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis dengan mengalihkan kepemilikan saham mayoritas dari 13 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke PT Biro Klasifikasi...
Kajian Politik Merah Putih: Reformasi 98 Lahirkan Generasi Penjilat Kekuasaan
JAKARTASATU.COM-- Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, baru-baru ini menyampaikan pandangannya yang tajam tentang...