Foto: dok. ist

JAKARTASATU.COM– Eks Menteri Pendidikan Anies Rasyid Baswedan mengatakan bahwa AI bukan sekadar datang mengetuk pintu ruang kelas tetapi sudah mulai melangkah masuk. Kita pun kata Anies tidak bisa berpaling.

Anies mengatakan itu karena zaman yang terus maju. “Gelombang teknologi tak bisa dibendung,” kata dia di akun X-nya, belum lama ini.

“Kita pun tak boleh tertinggal. Dunia bergerak cepat, dan sekolah tak boleh berjalan lambat,” tambahnya.

Anak-anak Indonesia kata Anies, berhak atas masa depan yang sejajar. Mereka berhak atas literasi digital, atas kecakapan teknologi terkini.

“Tetapi mereka juga berhak tumbuh sebagai manusia seutuhnya: berpikir jernih, berperasaan halus, dan berkarakter kuat,” katanya.

“Sekolah bukan pabrik jawaban. Ia adalah taman akal dan budi. Di sanalah anak-anak belajar mengenal tanya, bukan hanya menjawab; belajar mendengar, bukan hanya bicara; belajar berpikir mendalam, bukan sekadar mengulang fakta,” tambahnya.

Albert Einstein pernah mengingatkan: “The human spirit must prevail over technology.” Pesan ini kata Anies sederhana tapi dalam.

“Jangan sampai teknologi yang kita bangun justru menghapus sisi kemanusiaan yang menjadi inti dari pendidikan itu sendiri,” kata dia.

AI bisa menulis esai, menjawab soal, merangkum buku. Tapi kata dia, jika tak hati-hati, ia bisa membuat anak-anak kita tumbuh tanpa fondasi.

“Tak cakap berpikir kritis, tak mandiri dalam mengambil keputusan. Semua menunggu petunjuk mesin,” ia mengingatkan.

Isaac Asimov mengingatkan, “Science gathers knowledge faster than society gathers wisdom.” Dunia penuh inovasi, tapi mempertanyakan apakah kita cukup bijak menggunakannya.

“Apakah kita tahu kapan harus melaju, dan kapan harus menepi? Sering kita tertatih menjalaninya,” kata dia.

“Karena itu, kita butuh aturan dan panduan. Bukan untuk membatasi zaman, tapi untuk menjaga arah. Perlu diskusi jujur: sejauh mana AI boleh hadir di kelas? Apa batas wajar penggunaannya? Dan apa yang justru harus dijaga tetap dilakukan manusia?” imbuhnya.

Larangan total bukanlah jalan. Tapi kebebasan tanpa batas pun bukan jawaban. Kuncinya kata Anies keseimbangan.

“Dan seperti zaman yang bergerak, keseimbangan ini pun akan terus berubah. Kita harus siap menyesuaikan, tanpa kehilangan nilai,” kata dia.

Kita perlu ruang dialog intensif, kata dia. Antara guru, orangtua, murid, pakar, dan negara. Hal itu teknologi jadi alat bantu, bukan alat kendali. Agar pendidikan itu tetap mencerdaskan manusia, bukan menggantikan manusia.

“Masa depan harus kita sambut dengan optimisme. Tapi jangan lepas kendali. Pendidikan harus tetap berpijak pada manusia, bukan mesin. Sebab teknologi hanya hebat, jika ia tetap tahu tempat. Mari kita diskusikan,” tandasnya. (RIS)