Jokowi ke Prabowo Politik Api Dalam Sekam Dan Keterpojokan

Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Proses jangka pendek atau pintas akan menjadi agenda prioritas oleh konseptor pelaku kejahatan atau pola pikir seorang dengan karakter kriminil, oleh sebab beberapa faktor kesempatan bahkan tekanan untuk meraih kekuasaan atau keuntungan dan termasuk pertimbangan kondisi keselamatan dirinya serta kesadaran dampak perilakunya yang ekstrim menyimpang dari ketentuan hukum (rules).

Menurut Teori kriminologi strain, yang dikembangkan oleh Robert K. Merton pada tahun 1938, dikatakan bahwa individu cenderung terlibat dalam perilaku kriminal ketika mereka menghadapi ketidakseimbangan antara tujuan sosial yang diinginkan dan sumber daya yang tersedia untuk mencapainya.

Lalu dinyatakan oleh Teori kriminologi strain, bahwa ketika individu merasa frustrasi oleh disfungsi antara tujuan budaya dan sarana yang tersedia, mereka cenderung mencari jalan pintas atau tindakan yang melanggar hukum untuk mencapai tujuan tersebut.

Namun menurut teori sosisologi dan kriminologi atau Teori Psikogenesis (Psikogenesis dan Psikiatris) ada aspek yang menekankan terkait sebab tingkah laku yang menyimpang dari seseorang dilihat dari aspek psikologis atau kejiwaan, antara lain faktor kepribadian, intelegensi (kecerdasaan) dan fantasi sebagai konflik batin, emosi dan motifasi seseorang.

Sedangkan menurut Ibn Khaldun, seorang pemimpin yang kuat dan disepakati masyarakat dapat mencegah munculnya perbuatan aniaya dan penentangan.

Oleh karenanya terhadap teori-teori ilmiah yang ada, dihubungkan dengan faktor kondisi psikologis, mentalitas seorang Jokowi, yang tranparansi eksis terkait faktor intelegensi nya yang sederhana dengan kapasitas yang mudah diukur, hobi berbohong dengan asal sembarang janji sehingga mudah dibuktikan kebohonganya oleh publik, menyepelekan sistim hukum (norma dan adab) yang seharusnya sebagai sosok role model, fantasinya yang berlebihan tidak akurat, sehingga jauh untuk dikatakan ilmiah, karena minim acuan data terhadap metode pelaksaan diskresi ekonomi, pelaksanan sistim politik dan hukum, yang terakumulasi banyak perilaku kebijakan (diskresi) yang melewati batas, namun Jokowi selalu berupaya menolak pertanggungjawaban dengan pola fliying fictim, melempar kesalahan kepada bawahannya di kabinet.

Sehingga akumulatif perilaku kepemimpinan (attitude leadership) Jokowi amat merugikan pada sektor perekonomian negara, selain disebabkan metode politik dan hukum karena dalam praktik kenegaraannya banyak melakukan overlapping dengan sistim hukum meliputi perilaku disobedient, obstruksi dan nepotism. Sehingga dari sisi adab dan moralitas dan aspek psikologis, terdapat indikasi sesuai track record telah menunjukan Jokowi memiliki faktor kepribadian yang menyimpang, karena banyak sisi yang menunjukan sifat kebalikan idealnya sosok pemimpin, termasuk nampak daripada gejala-gejala yang nyaris mengarah abnormalitas karena Jokowi lebih berkècenderungan melakukan hal yang amoral.

Kemudian jika disanding pendapat teori yang ada disebutkan dalam artikel ini, terhadap keberadaan faktor psikologis tujuan fungsi sosial (politik) dari Jokowi dengan kapasita atau value intelegensi nya yang terbatas namun hobi berbohong serta berfantasi (bangun IKN di Kalimantan, dan utang yang menumpuk tidak karuan karena faktor korupsi), dalam praktik.kekuasannya suka hantam kromo melanggar konstitusi, flying victim (jahat), serta faktor lingkungan (masih berkumpul dengan eks anggota kabinet Jokowi), dan punya gagasan putranya menduduki puncak kekuasaan (RI.1) yang nampak dipaksakan alias terburu- buru melalui praktik nepotisme saat pencalonan Gibran menuju kursi RI. 2.

Maka, berdasarkan data empirik politik keuasaan dan hasrat Jokowi namun tidak lagi memiliki kekuasaan yang kuat (teori ibnu Chaldun), maka bisa saja Jokowi yang sedang terhimpit pertanggungjawaban moral, dan beberapa diantaranya cukup tendensius menyangkut peristiwa hukum Ijazah palsu dan Fufu Fufa, unlawful killing KM 50, tewasnya 894 Petugas KPPS, Kematian penonton di stadion Kanjuruhan Malang, Jatim, pembangunan IKN yang mubazir, termasuk PSN PIK 2 yang sedang terus dikejar (moral pressure) publik menuju proses upaya hukum. Maka kondisi mentalitas psikologis Jokowi saat ini amat mengkhawatirkan, dapat beresiko pada kepemimpinan nasional negara.saat ini, walau kekuatan jauh memudar serta melemah, namun Jokowi yang dikenal berwatak nekad (irrasional), dengan segala “kelicikannya” saat menuju dan saat berkuasa, masih terdapat sisa kekuatan politik dan hukum yang dapat diandalkannya untuk menggoyang republik, karena sebelum suksesi, Jokowi sudah mempersiapkan strategi menyisakan jejak kekuasaannya melalui para figur penting yang “pernah terpapar atau terjerat leher”, khususnya dibidang ekonomi dan hukum (SEKTORAL POSISI PENTING TERKAIT PEREKONOMIAN  KEUANGAN NEGARA, BUMN, SERTA KEMENTRIAN DALAM NEGERI, BAHKAN SUDAH MIMIKRI DIPERCAYA DALAM POSISI DANANTARA? DÀN LAIN LAIN SERTA DI BIDANG PENINDAKAN HUKUM POLRI, KPK, KEJAKSAAN TERMASUK KPK DAN MK SERTA MA).

Kesimpulan dari prediktif politik satus quo (yang ada), terhadap gejala-gejala peristiwa politik belakangan ini, termasuk aksi besar-besaran penolakan terhadap RUU TNI, maka perspektif nya ‘bisa jadi’ merupakan proses daripada intrik intrik politik penjatuhan pusat kekuasaan kontemporeri, sebuah fenomena deskripsi menuju percepatan kembali meraih kesempatan berkuasa dengan segala fantasi, disertai obsesi bakal menjadi stake holder, selain karena faktor terdesak (psikologis) sehingga butuh perlindungan hukum dan  moralitas (sering dihina dinakan) dan latar belakang etos, yakni gemar atau hobi melanggar konstitusi, dengan ilustrasi data empirik, pernah membiarkan wacana  (ingin) tetap berkuasa selama 3 periode, maka figur yang mesti extra hati diwaspadai bangsa dan kepimpinan nasional kontemporer, salah satu diantaranya adalah Jokowi and the gank.

Untuk mempertahankan kekuatan dan kekuasaan   pemerintahan sah negara dari pola ego (yang) diduga berasal dari pola sentralistik, terlebih andai jelas tokohnya (dibelakang layar) adalah Jokowi atau tak terlepas dari kepentingan seorang Jokowi, apapun isu politiknya maka kewajiban itu tidak hanya datang dari pihak penguasa penyelenggara Pemerintahan Negara RI saat ini Presiden Prabowo Subianto, namun seluruh rakyat bangsa Lintas SARA harus turut menjaga kedaulatan negara sampai habis selesai masa jabatan sesuai konstitusi, maka dengan tanda-tanda susunan menteri dalam konteks ‘diskursus politik’ antara dua kekuatan (dompleng dan original), tentu high risk bakal lahir konflik agenda kepemimpinan didalam Kabinet Merah Putih (KMP), terlebih oleh sebab faktor fantasi dari sosok individu yang memiliki obsesi berlebihan, untuk itu sebagai politik antisipasi, apakah Presiden Prabowo butuh segera merombak isi KMP dengan para sosok yang refresh namun profesional dan diketahui kredibilitas dan loyalitasnya serta akuntabel, namun tentunya Prabowo selaku Presiden RI yang lebih memahami kondisi materil atau keadaan yang sebenar-benarnya negara saat ini?