RESIPROKAL TARIF OLEH TRUMP
By Memet Hakim
Pengamat Sosial
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi menerapkan kebijakan tarif baru yang dikenakan pada negara-negara mitra dagangnya, hari Rabu tanggal 2 April 2024 mengumumkan tarif 10% pada semua impor tetapi bahkan tarif yang lebih tinggi pada lusinan mitra dagang termasuk China, India, Indonesia dan Uni Eropa (USA TODAY, 3 April 2025). Tujuan utamanya untuk memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan dengan memberlakukan tarif yang lebih tinggi. Ini akibat logis akibat adanya deficit perdagangan di AS sampai sebesar $1.2 trillion goods trade deficit hampir Rp 20.000 trilyun.
Dalam daftar tarif yang diumumkan Trump, Indonesia dikenai tarif sebesar 32%, Vietnam : 46 %. Thailand : 36 %, Tiongkok : 34 %, Malaysia : 24 %, Singapura : 10 %. Dengan kebijakan tarif perdangan untuk Indonesia 32 % apa dampak bagi rakyat Indonesia?
Menanggapi kasus ini Presiden Prabowo telah melakukan 3 strategi yakni 1. Memperluas Mitra Dagang dan Diplomasi Ekonomi, 2. Percepatan Hilirisasi dan Kemandirian Ekonomi, 3. Memperkuat Konsumsi Domestik dan Ketahanan Rakyat.
Dampak resiprokal tarif ini untuk Indonesia tentu saja merugikan eksportir Indonesia yang nilainya pada tahun 2022 sebesar US$ 28,2 miliar atau sekitar Rp 465 trilyun (9.7 % dari total nilai ekspor RI ke manca negara). Jadi mengingat nilainya kecil, secara nasional tidak terlalu banyak berpengaruh, akan tetapi bagi eksportir yang mayoritas dikirim ke AS, tentu dampaknya besar.
Daftar 10 besar barang yang diekspor ke AS adalah 1. Mesin dan Perlengkapan Elektrik, 2. Pakaian dan Aksesorinya (Rajutan), 3. Alas Kaki, 4. Pakaian dan Aksesorinya (Bukan Rajutan), 5. Lemak dan Minyak Hewani/Nabati, 6. Karet dan Barang dari Karet, 7. Perabotan dan Alat Penerangan, 8. Ikan dan Udang, 9. Mesin dan Peralatan Mekanis, 10. Olahan dari Daging dan Ikan. Jadi Langkah pemerintah dalam mengantisipasi kebijakan Trump ini sudah tepat.
Dampak lain adalah harga barang impor di Amerika bertambah tinggi, begitu juga harga barang yang diimpor dari Amerika, akan tetapi pajak masuk ke kas negara AS lebih besar. Pasar ke Amerika Utara (Kanada) dan Selatan rasanya belum banyak dimanfaatkan, pasar China, India, Pakistan, Turki dan Arab rasanya tidak kalah menarik. Pasar Eropa juga cukup baik, akan tetapi tidak untuk minyak sawit. Minyak sawit di DN saja masih kurang, karena digunakan untuk bahan bakar.
Untik memperkuat ketahanan rakyat di Indonesia, hasil pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan harus digenjot dengan Gerakan intensifikasi dan subsidi pupuk. Dengan demikian produktivitas meningkat dan akhirnya pendapatan Masyarakat bertambah, kas negara bertambah, peredaran uang di daerah bertambah serta semakin lancar. Gerakan ini dapat menghasilkan uang tambahan ribuan trilyun yang beredar di daerah, artinya memperkuat ketahanan ekonomi.
Cabut UU Minerba dan Cipta Kerja yang sangat merugikan negara dan rakyat, lebih dari 1.500 trilyun seharusnyanya uang masuk ke kas negara dan banyak kesempatan kerja buat rakyat Indonesia malah diberikan pada bangsa lain.
Kebijakan lain yang diperlukan adalah 1. Tingkatkan ekspor semaksimal mungkin dan kurangi impor, agar terjadi surplus secara signifikan, 2. Batasi pengiriman uang ke LN dan buka keran uang masuk ke DN, agar uang yang beredar semakin banyak, artinya roda ekonomi semakin lancar, 3. Perkuat kurs Rp tanpa mencetak uang baru.
Dibidang perbankan, Kurangi alokasi pinjaman non produktif, seperti cicilan mobil, rumah, barang-barang konsumtif dan perbesar alokasi pinjaman untuk aktifitas produktif khususnya dilevel menengah bawah. Stop dahulu pinjaman untuk rumah mewah yang harganya diatas 1 milyar misalnya. Misalnya tingkatkan nilai maksimum KUR dan berikan grace periode. Turunkan bunga bank untuk pinjaman usaha produktif.
Jika kebijakan diatas dilaksanakan resiprokal tarif dari Trump, tidak akan berdampak serius, tetapi Indonesia tetap harus waspada karena sewaktu-waktu AS dapat secara ekstrim merubah kebijakannya lagi, AS sudah bangkrut. Berdasarkan data yang terbaru per Januari 2023 utang AS sudah menembus US$ 31 triliun atau sekitar Rp 461.000 triliun (kurs Rp 14.900/US$) pada tahun lalu. Angka ini setara dengan 137% dari total PDB AS (OCBC, 28 Agt 2024).
AS harus menghadapi bencana alam yang menelan kerugian sebesar berkisar 60-130 miliar dollar AS atau sekitar Rp 979 triliun hingga Rp 2.121 triliun (CBS News, 10/1/2025) dan perang melawan para pejuang kemerdekan di Palestina untuk membantu penjajah Israel sebesar US$17,9 miliar atau Rp280 triliun dan terus membengkak.
Nah Indonesia seharusnya tidak lagi menggantungkan diri pada AS dibidang ekonomi, jadi keputusan pemerintah masuk BRICS adalah sudah tepat. AS merupakan negara penjajah bagsa lain, seharusnya Indonesia bisa menjaga jarak.
Bandung, 4 April 202