Hizbullah Indonesia:
SAATNYA MELAWAN PRABOWO (11): Pajak Gawat Darurat: 150 Juta Rakyat Menjerit, Sementara Ribuan Cina Membangun PIK&PIK di Seluruh Negeri…
Sri-Bintang Pamungkas
Baru-baru ini Bank Dunia menyatakan, bahwa Penerimaan Negara dari Pajak dibanding dengan Pendapatan Nasionalnya, yaitu tax ratio yang besarnya kurang dari 10 persen, adalah yang terburuk di Asia. Angka sebesar itu juga bisa diartikan sebagai terburuk di Dunia, mengingat Indonesia sudah merdeka 80 tahun, lebih lama dibanding dengan negara-negara baru lainnya di Asia dan Afrika. Angka tax ratio itu seharusnya minimal dua kali lipat! Selain itu, Bank Dunia juga menyampaikan potensi pajak yang hilang selama 5 tahun terakhir mencapai 1000 trilyun Rupiah.
Saya menjadi teringat pada akhir 2018, ketika 3 orang dari Kantor Pajak Pusat mendatangi rumah saya untuk memeriksa setoran Pajak Penghasilan saya selama 5 tahun terakhir. Untung catatan saya berupa potongan pajak atas penerimaan honorarium mengajar dari Universitas Indonesia, serta Fotokopi PPh 21, cukup lengkap.
Tapi mereka tidak puas, sehingga memerlukan datang lagi beberapa kali ke rumah, membuat perhitungan kembali dalam SPT PPh 21, termasuk menanyakan bagaimana saya bisa membangun rumah pada 1990, serta menerbitkan buku-buku saya… Terakhir saya sempat dipanggil ke Kantor Pusat di Jalan Gatot Subroto untuk menandatangani pernyataan; saya pun memberikan hadiah 2 buku saya masing-masing terbitan 2013 dan 2014. Saya berlega hati karena dianggap taat pajak dan tidak menunggak pajak.
Terpikir oleh saya, Orang-orang Pajak itu datang karena kritik-kritik saya kepada Wiwik dianggap sebagai mengganggu. Pada 2016, pihak Kepolisian gagal membawa saya ke pengadilan dalam Peristiwa 212, sekalipun sempat menahan saya di Polda Metro Jaya selama hampir 4 bulan… Juga terpikir oleh saya, bahwa Orang-orang Pajak anakbuah Menteri Keuangan Sri Mulyani ini mestinya menggeruduk rumah James Riady yang bisa membangun sebuah kota Meikarta, untuk memeriksa pembayaran pajaknya, baik PPN, PPh Pribadi maupun PPh Badan, daripada memeriksa saya…; tapi itu tidak dilakukan.
Di Amerika Serikat, dan negara-negara maju lain, orang macam James Riady dan para Cina Konglomerat Oligarki macam itu, selalu menjadi perburuan IRS (Internal Revenue Service; semacam Dirjen Pajak, tapi sebuah Badan Independen). Mereka yang biasa menjadi Pengemplang Pajak, macam Al Capone, ditangkap oleh Polisi IRS. Bahkan, kantor Donald Trump belum lama ini, sebelum dia terpilih menjadi Presiden, juga sempat diperiksa oleh Agen-agen IRS.
Kenapa Pajak menjadi penting?! Apa sebenarnya Pajak itu..?! Guru saya di Amerika Serikat, dalam matakuliah Public Finance menyebut Ibnu Khaldun adakah Ekonom dari masa Keemasan Islam, yang juga merupakan Bapak Perpajakan. Profesor saya itu menyebut-nyebut the Muqqadimah, buku karangan Ibnu Khaldun, yang kiranya nenjadi sumber asal-muasal Konsep Perpajakan di Dunia sekarang ini.
Saya sendiri belum pernah membaca the Muqqadimah, melainkan dari berbagai tulisan para ekonom, terpikir oleh saya bahwa itu diawali oleh perintah membayar Zakat dan Sadakah di masa Rasul Muhammad. Membayar Zakat dan Sadakah (juga Infak; kemudian disingkat ZIS) diwajibkan untuk membantu mereka yang membutuhkan, seperti anak-anak yatim, mereka yang miskin, yang telantar, mereka yang kehabisan sangu dan harta, serta peminta-minta… Di sinilah muncul Konsep Pemerataan Pendapatan dalam Perekonomian, di samping Pertumbuhan.
Di dalam setiap negara di Barat, diberlakukan Sistim Perpajakan yang tidak lain dan tidak bukan adalah dalam kerangka pembentukan Sistim Administrasi ZIS. Tentulah seharusnya Negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam menjadi yang termaju dalam menyelenggarakan Sistim Perpajakan yang Islami, tidak hanya ditujukan demi pemerataan tapi juga pertumbuhan. Yang aneh, Indonesia sendiri menerapkan Sistim Perpajakan berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh Universitas Harvard, Amerika Serikat. Sekarang saatnya untuk melakukan koreksi terhadap Undang-undang Perpajakan itu…
Masalah perpajakan diserahkan kepada Menteri Keuangan. Dalam prakteknya selama ini, bahkan sejak kemerdekaan, fungsi Pemerataan dan Pertumbuhan ini tidak berjalan… bahkan semakin memburuk: ada 100an Konglomerat terkaya yang kekayaannya melebihi kekayaan sebagian besar penduduk Indonesia. Termasuk 150 juta mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan 3 USD per hari… Ini adalah potret ketidakadilan akibat perampokan kekayaan Rakyat oleh para Pembayar Pajak yang tidak membayar Pajak sebagaimana mestinya!
Jabatan Menteri Keuangan sudah dipegang oleh Sri Mulyani selama 20 tahun lebih. Menteri yang mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ini membagi Pendapatan dari Pajak menjadi Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan; tanpa menyisihkan dana yang khusus untuk memelihara Fakir Miskin dan Anak-anak Telantar, sebagaimana perintah Konstitusi. Belanja Rutin itu sebagian besar habis untuk Konsumsi Administrasi Negara, sedang Belanja Pembangunan diutamakan untuk Investasi. Kedua macam Belanja tersebut perimbangannya harus dibuat seharmonis mungkin, karena Belanja Rutin itu nilai pembentukan modalnya kecil; sedang Belanja Pembangunan lebih banyak menghasilkan pabrik-pabrik dan industri dengan berbagai produknya, dengan lapangan kerjanya, dan Pendaptan Nasional. Dengan demikian Pajak yang dihasilkan oleh Belanja Pembangunan jauh lebih besar dibanding dengan yang dihasilkan oleh Belanja Rutin.
Hasil Pendapatan Pajak ini setiap tahun anggaran harus semakin besar dan meningkat, setiap kali harus melebihi pertumbuhan jumlah penduduk. Semakin banyak pabrik yang harus didirikan, semakin banyak sumur minyak yang harus dibor, semakin banyak mineral yang harus digali, semakin banyak jalan raya dan rumah yang harus dibangun, dan seterusnya. Juga peningkatan pembangunan tersebut harus melebihi pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang dituntut masyarakat: yang semula hanya puas tamat SMP, sekarang ingin tamat SMA atau menjadi Sarjana.
Sri Mulyani dan Menteri-menteri Keuangan kita sebelumnya tidak mampu berbuat seperti itu. Penerimaan Negara dari Pajak dibanding dengan Pendapatan Nasional hampir stagnan di bawah 10%. Ini tidak cukup untuk melawan jumlah penduduk dan mereka yang miskin. Sri Mulyani gagal… juga menteri-menteri sebelumnya.
Sri Mulyani seharusnya berani mengenakan Pajak Kekayaan dan Pajak Penghasilan Progresif kepada ribuan Konglomerat kaya-raya itu. Jangan biarkan, manusia-manusia macam A Gwan dan Salim bisa seenaknya membikin Negara Cina di PIK&PIK dengan kekayaan hasil menggelapkan dan merampok pajak. Pajak yang seharusnya dibayarkan itu adalah hak si miskin untuk bisa hidup lebih sejahtera.
Sri Mulyani seharusnya mundur. Jangan biarkan Sri Mulyani merusak perekonomian Indonesia. Jangan biarkan pula Wowok merajalela merusak NKRI dengan mempertahankan Si Sri… Kementerian Keuangan harus direstrukturisasi. Harus dibentuk Badan Negara Penerimaan ZIS dan Pajak untuk menggantikan Dirjen Pajak; mereka yang sudah membayar ZIS dengan benar tidak perlu membayar Pajak. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga harus diganti dengan Pajak Penjualan (PPn), karena PPN justru membikin kecilnya Pendapatan Nasional. Juga perlu dibentuk Badan Perbendaharaan Negara. Badan ini menerima hasil ZIS dan Pajak dari Badan Penerimaan ZIS dan Pajak. Badan Perbendaharaan Negara ini bisa menerbitkan berbagai macam Surat Utang Negara (SUN). Menteri Keuangan harus meminta Belanja Negara dari Badan Perbendaharaan Negara berdasarkan APBN yang disetujui DPR.
Danantara yang dibikin Wowok tidak bisa dan tidak boleh menggantikan Kementerian Keuangan dan Bank Sentral. Bank Sentral bekerja seperti apa yang diamanatkan oleh Perundang-undangan. Danantara harus dikembalikan pada jalan yang lurus sesuai dengan hakekat dari lembaga keuangan primer (Primary Financial Institution), antara lain, yaitu Sovereign Wealth Fund pada umumnya di Dunia. Pengambilan Aset BUMN-BUMN Bank dan Cabang-cabang Produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah sebuah Perampokan Aset Rakyat; Aset-aset mana harus dikembalikan sesuai dengan amanat perundang-undangan yang ada sebelumnya.
Jakarta, 4 April 2025
@SBP