“Digitalisasi dan Runtuhnya Kesadaran” (bagian 2)
DI dalam kelas, seorang guru bercerita tentang perjuangan pahlawan nasional. Tapi murid-murid lebih tertarik membahas challenge TikTok terbaru.
Ini bukan skenario fiksi. Ini potret nyata generasi yang tumbuh di tengah budaya digital instan, di mana rasa ingin tahu tak lagi datang dari keinginan belajar, melainkan dari algoritma yang mendikte tren sesaat.
Fenomena ini bukan sekadar perubahan zaman, tapi gejala serius: kematian rasa ingin tahu. Generasi muda kini lebih fasih menyebut nama-nama selebgram ketimbang pahlawan sejarah. Mereka bisa menirukan gaya YouTuber, tapi gagal memahami makna kemerdekaan.
Apa yang terjadi?
Gadget, Sekolah, dan Daya Fokus yang Menurun Menurut data UNESCO dan UNICEF, sejak pandemi, ketergantungan pelajar terhadap gawai meningkat drastis. Awalnya untuk keperluan pembelajaran daring.
Namun seiring waktu, batas antara belajar dan hiburan mengabur. Siswa mengakses lebih banyak media sosial ketimbang bahan pelajaran. Buku jadi barang asing. Tugas sekolah kalah bersaing dengan notifikasi.
Akibatnya, banyak guru mengeluh. Siswa sulit fokus lebih dari 10 menit. Diskusi kelas menjadi pasif. Daya nalar merosot. Anak-anak belajar bukan karena ingin tahu, tapi karena takut nilai jelek.
Sementara itu, rasa ingin tahu mereka justru diarahkan oleh algoritma: apa yang viral, itulah yang menarik. Bukan apa yang bernilai. Pendidikan Tak Lagi Membentuk Manusia Bertanya Di masa lalu, pertanyaan adalah kunci pembelajaran. Sekolah adalah tempat untuk berpikir, berdialog, dan membentuk karakter.
Tapi kini, ruang tanya di sekolah digeser oleh tuntutan angka, sistem ranking, dan kurikulum kaku yang tak mampu beradaptasi dengan dunia digital.
Akibatnya, sekolah gagal bersaing dengan dunia luar yang jauh lebih interaktif.
Pelajaran terasa membosankan dibandingkan drama Korea, game online, atau konten prank.
Tiga Dampak Utama yang Mengkhawatirkan:
1. Rasa ingin tahu menjadi dangkal dan transaksional. Anak bertanya bukan untuk memahami, tapi untuk ujian.
2. Literasi menurun drastis. Banyak siswa kesulitan membaca bacaan panjang karena terbiasa dengan visual singkat.
3. Moralitas terganggu. Tanpa pendidikan karakter yang kuat, anak muda mudah terpengaruh tren negatif di dunia digital.
Mencari Solusi: Sekolah Harus Menjadi Ruang Kesadaran Digital Sekolah tidak boleh menjadi museum pengetahuan yang ditinggalkan zaman.
Harus ada revolusi:
• Kurikulum literasi digital kritis: Ajarkan siswa untuk memahami, bukan hanya mengonsumsi.
• Integrasi teknologi dengan pengawasan nilai: Gunakan teknologi bukan sekadar alat bantu, tapi sebagai media dialog etika dan logika.
• Waktu offline wajib di sekolah: Berikan waktu bebas gadget untuk memulihkan otak dari kecanduan layar.
• Guru sebagai fasilitator rasa ingin tahu: Guru bukan hanya penyampai materi, tapi penyalur pertanyaan.
Jangan Biarkan Anak Kita Jadi Produk Algoritma Generasi muda bukan hanya masa depan bangsa, tapi cermin kita hari ini. Jika mereka kehilangan rasa ingin tahu, berarti kita gagal sebagai pendidik, pemimpin, dan orang tua.
Teknologi harus menjadi alat, bukan tuan. Rasa ingin tahu adalah anugerah manusia, dan tugas kita menjaga agar tidak mati dibunuh oleh scroll tanpa henti. (bersambung..)
AME/Jakartasatu.com